Membaca Gelisah Para Penulis Terhadap Karya Felix K. Nesi: Sebuah Pertanggungjawaban

img

Senang dan optimis adalah perasaan yang muncul ketika mengetahui bahwa BEM IFTK Ledalero, Maumere, meminta kami menjadi juri lomba kritik sastra yang mereka adakan. Perasaan senang muncul terutama karena BEM IFTK Ledalero punya kesadaran bahwa kritik sastra adalah salah satu bagian penting dari keseluruhan medan produksi karya sastra di NTT dan Indonesia umumnya. Meski demikian, pada kenyataannya, kerja-kerja kritik sastra dalam berbagai bentuk publikasi tak lagi mudah ditemukan. Ia seperti wilayah lengang yang mulai ditinggalkan. Karena itu, lomba ini jadi sesuatu yang membawa optimisme baru, bahwa masih ada kemungkinan ditemukan potensi-potensi kritikus sastra di masa depan yang jeli, tajam, dan reparatif dalam membaca sebuah karya.

Pada dasarnya fungsi sebuah kritik adalah menelaah secara kritis unsur intrinsik maupun ekstrinsik suatu produk kesusastraan. Sebuah kritik sastra berupaya menyajikan pembacaan dan pemahaman tertentu atas sebuah karya sastra sehingga ia bisa dimaknai lebih dalam dan atau luas oleh pembaca. Selain itu, sebuah kritik juga berfungsi mereparasi sebuah karya sastra lewat identifikasi atas kelemahan, kekuatan, dan peluang-peluang untuk dikembangkan dalam penciptaan-penciptaan baru, alih wahana, maupun respons kreatif lainnya. Dengan demikian, sebuah kritik perlu membedah sebuah karya dengan pisau bedah (teori) tertentu untuk mencari jejaring gagasan, motif, struktur naratif, bentuk dan perangkat-perangkat artistik lainnya yang membangun serta menghidupkan sebuah karya sastra. 

Lomba kritik sastra yang diadakan oleh BEM IFTK Ledalero ini diikuti oleh 49 peserta dari dua puluh enam sekolah tinggi dan universitas di Indonesia. Keragaman dan luasnya persebaran partisipan ini turut jadi catatan yang menarik. Ini tidak hanya menunjukkan antusiasme para mahasiswa di seluruh Indonesia tetapi juga memperlihatkan suatu potensi keterhubungan antar mahasiswa dalam membangun diskursus bersama tentang suatu hal. Jika dulu kita kerap ‘dipisahkan’ oleh term-term seperti ‘media lokal vs media nasional’, ‘isu lokal vs isu nasional’, ‘pusat vs daerah’, rupanya hari-hari ini siapapun bisa membangun diskursus yang berpijak pada isu dan potensi lokal dengan proyeksi global atau sebaliknya. Peluang ini tentu harus dimanfaatkan oleh para mahasiswa dan akademisi untuk turut berkontribusi dalam menawarkan pemikiran serta pengetahuan lokal supaya bisa diperbincangkan dalam konteks global sebagai upaya dekolonisasi pengetahuan yang dalam kurun waktu sangat lama berkiblat ke Barat (Jawasentrisme dan atau Eurosentrisme). 

Empat cerita pendek Felix K. Nesi dipilih sebagai karya yang dikritik, antara lain Kutukan Perempuan Celaka (2017), Bapak (2019), Menulis Wajah Rinus (2020), dan Kapten Hanya Ingin ke Dili (2022). Dari ke-49 kritik yang dinilai, dewan juri memilih empat karya terbaik. Pemilihan ini didasarkan pada lima kriteria penilaian yang diberikan oleh panitia, antara lain kedalaman pembacaan/pemahaman, kekuatan analisis, kreativitas penulisan, kejelasan ekspresi, dan kaidah berbahasa. Kriteria ini kemudian ditambahkan dengan pembacaan kritis-reparatif dewan juri terhadap karya-karya yang berpartisipasi. 

Sebelum menyampaikan catatan khusus terhadap karya-karya pilihan dewan juri, ada beberapa catatan penting yang perlu disampaikan sebagai amatan menyeluruh dan kecenderungan umum yang ditemukan dari karya-karya yang masuk. 

Pertama, berkaitan dengan syarat minimal yang diajukan oleh panitia lomba. Ada cukup banyak karya yang sudah gugur sejak awal karena tidak memenuhi kriteria awal penjurian: jumlah kata, jenis huruf, ukuran huruf dan spasi, penggunaan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar, serta keutuhan tulisan (beberapa karya bahkan tidak memiliki judul). Ini tentu fatal dan sulit sekali ditoleransi. Penulis sepertinya tidak memanfaatkan sebaik mungkin ruang (batas kata) dengan baik.

Kedua, mengenai penggunaan teori sebagai pisau analisis dalam kritik sastra. Mayoritas karya yang masuk tidak secara eksplisit menjelaskan dan konsisten pada satu teori atau pisau analisis dalam menelaah cerpen-cerpen Felix. Umumnya, para penulis kritik hanya menyebutkan term-term tertentu (misalnya feminisme, sosiologi sastra, pascakolonialisme, pendidikan kritis, hiperealitas) sebagai perspektif yang mereka pakai dalam mengkritik tetapi term-term itu tidak dijelaskan lebih dalam dan tepat untuk kemudian dijadikan parameter analisis sebuah karya. Dalam kasus yang lain, ada kritik yang secara tumpang tindih menggunakan lebih dari satu pisau analisis dalam membaca satu karya. Alhasil, kritik yang dihasilkan menjadi tidak fokus dan hanya tampil sebagai ‘galeri teori’ tanpa sebuah aplikasi nyata pada satu ekstrem, dan bualan reflektif serta opini seadanya (bahkan tak memenuhi kriteria resensi) di ekstrem yang lain.

Kecenderungan lain yang juga disayangkan adalah kegagalan para penulis kritik memahami pisau bedah yang digunakan dalam mengkritik suatu karya tertentu. Tidak jarang penggunaan pisau bedah tidak sesuai dengan pembacaan penulis kritik terhadap karya sastra. Untuk ke depan, panitia hendaknya membuat semacam struktur metode penulisan tertentu, atau menempatkan teori secara proporsional sebagai kriteria awal yang dinilai dalam lomba kritik sastra. 

Ketiga, mayoritas kritik tidak menempatkan subjek kritik secara tepat. Felix Nesi sebagai pengarang (author) kerap diganti seenaknya dengan judul-judul karya sebagai subjek yang hendak dikritik. Akibatnya, kritik menjadi tidak tepat sasaran dan melebar kemana-mana. Dalam kasus lain, unsur yang ingin dikritik pun bermacam-macam. Dalam satu karya dengan rentang 1000-1500 kata, tidak elok dan tepat jika semua unsur intrinsik dijadikan sasaran kritik, atau lima unsur ekstrinsik sekaligus coba ditelaah. 

Dari 49 karya yang masuk, dibaca, dan dinilai, dewan juri memilih empat karya terbaik dengan pertimbangan berikut ini.

Kritik terbaik keempat berjudul Perempuan Dikutuk: Analisis Naratif Cerpen Kutukan Perempuan Celaka. Kelemahan utama dari kritik ini adalah dia tidak menjelaskan secara proporsional unsur yang dikritik dan teori yang dipakai untuk mengkritik karya yang dibacanya. Meski begitu, secara isi, kritik ini menyingkap gugatan yang kuat terhadap kehadiran tokoh perempuan dalam cerpen ini, yang digunakan untuk menyoal perkara-perkara patriarki serta diskriminasi gender dan seksualitas tanpa upaya yang memadai untuk menghadirkan wacana alternatif atas isu yang disinggung dalam karya sastra tersebut. 

Narasi yang berpusat pada sudut pandang orang pertama mendapuk narator sebagai pihak yang tidak maha tahu, tetapi berlagak tahu. Contohnya, ihwal Neeta yang digambarkan bak ninja Hatori saat memperjuangkan pamornya sebagai lonte. … Demikian Neeta versi narator. Diri Neeta sendiri bungkam—atau lebih tepatnya: dibungkam. Neeta tidak diberi ruang untuk menjelaskan latar belakangnya, baik dalam monolog sang protagonis maupun melalui perspektifnya sendiri.

Kutipan di atas menjadi salah satu contoh bagaimana kritikus menggugat narator dalam cerita tetapi juga keberpihakan etis serta politis penulis (author) dalam menggugat wacana patriarki dan kenyataan diskriminasi gender dan seksualitas sebagai kekuatan (fenomena) yang dominan. Kritik ini amat potensial karena dia memberi pemahaman baru dan gugatan: karya sastra mungkin tidak selalu mampu dan bertanggung jawab memberi wacana alternatif untuk suatu soal. Namun, minimal dia tidak perlu menebalkan stereotip dan melakukan reproduksi wacana dominan tersebut. Pengarang punya kebebasan berekspresi tetapi apakah dia bisa dengan cerdas dan kreatif menggunakan sekian banyak perangkat artistik untuk tidak sekali lagi melakukan kekerasan simbolik yang kontraproduktif pada isu, penyintas, dan menjadi reparatif bagi diskursus yang sedang berlangsung?

Kritik terbaik ketiga berjudul Memandang Timor Lewat Mata Ain Iba (Wacana Poskolonialisme dalam Cerpen Kapten Hanya Ingin ke Dili karya Felix Nesi). Kekuatan kritik ini terletak pada bangunan teori yang dijadikan parameter penilaian dan aplikasinya yang cukup dipertanggungjawabkan. Kritik ini mengidentifikasi gagasan-gagasan pascakolonial yang direpresentasikan dalam cerpen Kapten Hanya Ingin ke Dili. Pembacaanya cukup segar dengan ide-ide yang jarang disadari, sebagaimana diskursus pascakolonial yang boleh dibilang sepi dibahas di forum-forum akademi IFTK Ledalero. Kritik ini juga secara cukup konsisten menempatkan judul karya sebagai subjek yang hendak dikritik. 

Meski begitu, kritik ini kemudian terjebak pada upaya menerapkan semua teori pascakolonial dalam pembacaannya. Alhasil, kritik ini menjadi tidak fokus. Teori-teori tidak mendapat penjelasan secara proporsional. Sementara referensi material yang coba dikritik tidak mampu dijelaskan secara memadai. Kritik ini juga berusaha ditulis dalam format yang cukup formal-akademis. Ia memiliki struktur yang baik tetapi masih belum cukup kuat untuk disebut sebagai kritik yang bergaya akademik. 

Kritik terbaik kedua berjudul Kapten Hanya  Ingin ke Dili: Membunuh Mitos tentang Pahlawan. Hampir sama dengan kritik terbaik ketiga, kritik ini menyingkap gagasan pascakolonial di balik cerpen Kapten Hanya Ingin ke Dili. Dibandingkan dengan kritik sebelumnya, kritik ini memiliki analisis yang lebih kuat dan membuka pemahaman baru tentang representasi heroisme, matriks kolonial yang memisahkan Timur dan Barat seturut teori orientalisme, dan membongkar beberapa hal lazim yang selama ini dianggap baik dan benar tetapi sebenarnya merupakan jebakan kesadaran palsu yang ditanamkan penjajah kepada daerah jajahan. 

Adegan pembunuhan yang dilakukan seorang perempuan terhadap orang kulit putih, juga ada dalam beberapa cerpen Felix. Pada cerpen yang lain, ada tokoh Mane, gadis pengiris tuak.  Dari kecelakan yang menimpa perwira Belanda di sebuah lopo memicu beredarnya kabar bahwa Mane telah menjadi sakti dan mampu membunuh dewa berkulit putih itu dalam satu loncatan. Pada masa dimana masyarakat memandang orang kulit putih sebagai dewa yang tak bisa dibunuh, kematian mereka oleh perempuan menjadi titik balik. 

Lewat analisis perbandingan, kritik ini sebenarnya ingin menggambarkan upaya-upaya pembalikan citra Barat dan Timur, Laki-laki dan Perempuan, Kulit Putih dan Kulit Berwarna yang selama ini dikonstruksi oleh dominasi pengetahuan Barat. Kritik ini memunculkan gagasan bahwa tokoh-tokoh dalam cerpen Felix Nesi memainkan agensi penting dalam menghancurkan paradigma tentang penguasa, gender, ras, dan hal-hal diskriminatif lainnya yang dikonstruksi oleh paradigm Barat.

Hal lain yang menarik dari kritik ini adalah ia ditulis dengan gaya ilmiah populer dengan pendekatan naratif dan bahasa yang cukup ringan. Kesalahan paling besar dalam kritik ini adalah sekali lagi tumpang tindih menempatkan karya sastra dan Felix sebagai subjek kritik, terutama pada sub bagian terakhir tulisan. 

Kritik terbaik pertama boleh dibilang punya kualitas jauh di atas ketiga kritik sebelumnya. Kritik berjudul Sebuah Pekerjaan Berat yang Belum Tuntas Digarap (Kritik atas Cerpen Felix Nesi “Kutukan Perempuan Celaka”). Hal paling utama yang menjadi nilai lebih dari kritik ini adalah ia dibangun dengan struktur yang baik, landasan teori dan gagasan yang kokoh, serta penulisan yang runut dengan kaidah bahasa yang baik dan benar.

Cerpen Felix Nesi mengandung kontradiksi besar. Tulisannya diikhtiarkan mengungkap kisah perempuan yang direpresi dalam konteks lokal. Tapi tujuan ini menemukan kegagapannya dalam tulisan. Tokoh ‘saya’ merupakan representasi dari persona seorang laki-laki. Bukan sosok perempuan yang ditimang menjadi titik gravitasi cerita.

Salah satu penekanan besar kritik ini, sebagaimana sudah disinggung oleh kritik terbaik keempat adalah kegagalan penulis cerpen Kutukan Perempuan Celaka memanfaatkan perangkat artistik yang tersedia untuk mempersoalkan diskriminasi gender dan seksualitas yang terjadi. Alih-alih menguak jejaring kekuasaan yang beroperasi, cerita ini justru mempertebal isu dan stereotip yang ada. 

Dalam cerpen ini, deskripsi faktual tentang praktik-praktik adat ditelisik. Namun, ia tidak mengantar pembaca ke sebuah tujuan spesifik, pada fase anti-klimaks. Paling banter, cerpen ini membuka horizon tentang praktik-praktik kultural yang timpang dan cara bagaimana masyarakat lokal berkompromi di dalamnya. Tidak terbaca tekad penulis untuk menawarkan sebuah perspektif yang mampu mengurai tegangan-tegangan sosial di dalamnya.

Kritik ini juga secara lugas menyebutkan bahwa jika tidak hati-hati, penulis (author) bisa saja terperangkap dalam upaya eksploitasi dan eksotisasi lanskap kultur dan segala dinamika sosial yang ada di dalamnya. Alih-alih membangun sebuah imajinasi tentang sebuah dunia alternatif yang mungkin untuk diperjuangkan, secara skeptis pun pesimis penulis jatuh dalam romantisme yang berlebihan terhadap lokalitas yang ia kenal dan dekat, mengambil keuntungan darinya, serta membangun persepsi serupa di pikiran sekian banyak pembaca karya sastra ini. Dalam kasus ini, klaim-klaim pascakolonial terjebak pada kebenarannya sendiri. Antroposentrisme menguat dan berdiri di atas ekologi sosial (alam dan budaya). Lokalitas kembali menjadi pusat dan sumber utama klaim-klaim pengarang. Semua ini tentu mengulang paradigma modern-kolonial yang ditentangnya. Pada titik ini, kesadaran akan proyek dekolonial yang terus dialektis perlu secara konsisten diupayakan. 

Demikian pertanggungjawaban atas kerja dewan juri. Kami berpendapat bahwa perlu ada semakin banyak ruang yang dibangun, acara yang dibuat untuk mengakomodasi potensi-potensi penulis kritik sastra yang ada. Kampus sebagai lembaga pendidikan formal punya kemampuan serta seluruh sumber daya untuk mengkondisikan iklim kreasi, distribusi, dan apresiasi karya-karya sastra. Perlombaan seperti ini baik adanya tetapi dia adalah hilir dari upaya-upaya inkubasi penulisan kreatif, aktivasi kelompok-kelompok baca, pelatihan-pelatihan menulis yang ada di tataran hulu. Jika hulu terbangun dengan baik, yang akan dijumpai di area hilir tentu akan memuaskan.


Tim Juri

Pada Minggu Panggilan Sedunia

 

LOMBA KRITIK SASTRA 20245LOMBA KRITIK SASTRA 20246LOMBA KRITIK SASTRA 20242LOMBA KRITIK SASTRA 20243LOMBA KRITIK SASTRA 20244



SHARE THIS