•  Beranda  /
  •  Public  /
  •  STFK LEDALERO BERSAMA AFTI MENGADAKAN SEMINAR NASIONAL BERTAJUK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN

STFK LEDALERO BERSAMA AFTI MENGADAKAN SEMINAR NASIONAL BERTAJUK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN

img

    Dalam rangka memperingati dies natalis STFK Ledalero yang ke-53, pada 4-5 Maret 2022, STFK Ledalero bersama AFTI (Asosiasi Filsafat dan Teologi Indonesia) mengadakan seminar nasional bertajuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Seminar nasional ini bertempat di Aula St. Thomas Aquinas Ledalero dengan dihadiri oleh semua dosen dan mahasiwa STFK Ledalero, serta para tamu undangan yang mengikuti seminar secara langsung maupun via zoom. Diskusi seputar tema Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) ini dikemas dalam dua seminar utama dan tujuh seminar paralel.

Seminar Pembuka

 

    Rangkaian seminar ini dibuka dengan seminar dengan tema “Realitas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Multi-agama: Peluang dan Tantangan” yang dibawakan oleh Dr. Zainal Abidin Bagir, CRCS Universitas Gadjah Mada, dan hadir sebagai penanggap, Prof. Dr. F. X. Eko Armada Riyanto, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang. Seminar ini dimulai pukul 09.00-12.00 WITA. Baik keynote speaker maupun penanggap membawakan materi mereka via zoom. Dr. Hans Monteiro sebagai moderator mengatakan bahwa sasaran utama dari seminar ini adalah untuk mengetahui realitas beragama dan berkeyakinan di Indonesia dan untuk mengidentifikasi peluang dan tantangan negara kesatuan Republik Indonesia yang multi agama.

   Dr. Zainal Abidin Bagir membuka diskusi dengan memaparkan konsep KBB, penerjemahannya secara legal, perkembangannya hingga kini dan tantangan-tantangannya.

   “Istilah KKB dapat dapat dipahami dalam perspektif hukum yang spesifik, tapi dia juga bisa dipahami dalam konsep yang lebih luas sebagai konsep sosiologis, filosofis, bahkan juga teologis”, jelas Dr. Zainal Abidin Bagir.

    Lebih jauh, dia menjelaskan bahwa dalam pemahaman yang spesifik, KKB adalah bagian dari rezim hak-hak asasi manusia internasional yang juga telah menjadi bagian dari hukum nasional dibanyak negara. Dalam pemahaman yang sempit yang sifatnya legal ini, Indonesia menunjukkan komitmennya yang cukup tinggi. Perubahan menuju demokratisasi yang dimulai pada tahun 1998 menjadi pendorong luar biasa bagi keikutsertaan dan partisipasi Indonesia dalam rezim internasional ini. Perhatian Indonesia terhadap perkembangan HAM pada umumnya, dan KKB pada khususnya, mengalami perkembangan yang cukup signifikan pasca reformasi 1998.

   Namun, Bagir juga melihat bahwa seiring berjalannya waktu, komitmen bangsa Indonesia itu tampak melemah. Sementara UUD baru sudah lebih progresif, beberapa UU yang lama atau baru yang sangat membatasi kebebasan masih berlaku. Bagir juga melihat bahwa perkembangan demokratisasi pasca reformasi sifatnya cenderung paradoksal. Demokratisasi memang memberi kebebasan kepada masyarakat dan mulai membatasi otoritas militer dan polisi. Namun, pemisahan militer dan polisi justru dibarengi oleh komitmen politik dan kontrol atas ruang publik yang lemah. Pembagian kekuasaan yang melemahkan otoritas pemerintah pusat juga cenderung paradoksal. Desentralisasi yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur sendiri daerahnya justru banyak melahirkan kebijakan yang diskriminatif.

Tiga Agenda Pengembangan KBB

   Di akhir pemaparannya, Bagir menawarkan tiga agenda besar yang dapat dijalankan untuk memaksimalkan KBB. Pertama, pengembangan KBB tidak hanya tergantung pada negara/pemerintah, namun menuntut masyarakat sipil untuk juga berperan lebih besar. Dalam bahasa HAM, warga negara didefinisikan sebagai right holders (pemegang hak) sementara negara adalah duty-honor (pengemban kewajiban/tugas). Jalan ini dapat dapat dipraktikkan dengan transformasi budaya dan mobilisasi politik. Kedua, kita harus menyadari bahwa KBB, atau HAM umumnya, bukanlah suatu hal yang sudah selesai. KBB adalah “work in progress”. Perdebatan tentang HAM masih harus selalu berjalan. Ketiga, bagir menawarkan pengkajian historis yang lebih mendalam mengenai sejarah HAM, khususnya ide mengenai KBB di Indonesia sebagai sarana untuk memahami kebhinekaan secara lebih baik. Kajian mengenai isu ini akan terkait pula dengan ide mengenai hubungan antara negara dan agama. Jika kita ingin lebih maju ke depan, maka pemahaman mengenai sejarah adalah prasyarat penting.

   Menanggapi materi yang dibawakan oleh Dr. Zainal Abidin Bagir, Prof. Dr. Eko Armada Riyanto melihat bahwa di Indonesia KBB tidak pernah ada.

   “Posisi saya, kebebasan beragama dan berkeyakinan menurut saya tidak ada, tidak pernah ada. Yang ada adalah hormat kepada martabat manusia yang berakal budi dan berhati nurani untuk beragama dan berkeyakinan, dan untuk relasi dengan Tuhan”, jelas Prof. Dr. F. X. Eko Armada Riyanto.

   Lebih jauh, dia juga melihat bahwa di Indonesia agama telah direduksi hanya sebagai kendaraan untuk masuk surga. Sementara hormat kepada martabat manusia mencerminkan kemuliaan Tuhan.

semnas AFTi hari 2 2022 aProf. Eko mengamini tawaran agenda pertama Bagir sebagai jalan untuk memaknai KBB di Indonesia. KBB tidak boleh tergantung pada negara tetapi harus dikembalikkan kepada masyarakat. Sementara itu, dalam tanggapannya terkait agenda kedua Bagir, Prof. Eko melihat bahwa KBB sering dicabut dari perkara eksistensial sebab beragama masih dipandang formal-legal. Beragama hanya dilihat sebagai formalitas belaka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terkait dengan pengkajian historis HAM yang ditawarkan oleh Bagir sebagai agenda ketiga, Prof. Eko juga setuju dan merasa agenda itu sangat penting. Dia juga menambahkan bahwa pengkajian historis itu harus dilakukan dengan metode yang baru.

Sesi Diskusi

   Terdapat begitu banyak tanggapan yang muncul dalam sesi diskusi. Tanggapan-tanggapan itu diarahkan kepada Dr. Zainal Abidin Bagir sebagai keynote speaker dan juga kepada Prof. Dr. Eko Armada Riyanto. Tanggapan dengan intensi menawarkan sebuah jalan baru untuk pemecahan pelbagai problem KBB muncul dari Dr. Mathias Daven. Dalam tanggapannya, Dr. Mathias Daven menawarkan etika derita sebagai kacamata untuk melihat realitas KBB. Tanggapan itu muncul sebagai eksplorasi lebih dalam terhadap tesis Prof. Eko tentang KBB yang dicabut dari pengalaman eksistensial.

   “HAM adalah respon kolektif manusia terhadap derita. Pendekatan ini jauh lebih berbobot daripada pendekatan agama, hukum, atau sebagainya, karena pengalaman derita itu berupa pengalaman konkret manusia. Ketika Ahmadiyah dicabut dari dunia makna, dia menderita. Padahal agama adalah bagian integral dari usaha manusia untuk mendiami dunia yang penuh makna.” tandas Dr. Mathias Daven.

   Dia lalu melanjutkan bahwa etika derita mendahului pendekatan rasional dan refleksi etis. Tanggapan ini disetujui oleh Prof. Eko. Sementara itu, dalam tanggapan yang lain, Edy Soge, mahasiswa semester VIII STFK Ledalero, mempertanyakan idealisme bangsa Indonesia, agama atau kemanusiaan. Tanggapan ini direspon oleh Dr. Zainal Bagir dengan mengatakan bahwa Indonesia adalah Indonesia historis yang dapat berubah dari satu waktu ke waktu berikutnya. Prof. Eko kemudian menambahkan bahwa idealiame Indonesia adalah keindonesiaan.

   Tanggapan-tanggapan yang lain muncul dan membawa para peserta yang hadir semakin dalam kepada kompleksitas KBB. Di akhir diskusi Dr. Bagir mengajak perguruan tinggi untuk memperkuat riset-riset dengan metodologi yang baik mengenai KBB yang pada akhirnya nanti bukan hanya jadi artikel di jurnal tetapi mampu memberi pemahaman mengenai KBB dan HAM yang lebih baik dan untuk kemanusiaan itu sendiri.*(Simpli Dalung)

BAGIKAN