Sesi Konferensi Pers Pembicara utama Prof Dr. Stephan van Erp dan Dr. Paul Budi Kleden bersama Wartawan dan Tim Publikasi BEM IFTK Ledalero
Profesor Teologi Fundamental dari KU Leuven, salah satu universitas ternama di Belgia, Prof. Dr. Stephen van Erp, mengatakan bahwa tugas teologi adalah mencari pemahaman tentang iman di hadapan publik. Hal ini dapat menjadi titik awal untuk hidup bersama dengan Tuhan di tengah dunia yang semakin sekuler ini. Sementara itu, Mgr. Dr. Paulus Budi Kleden SVD mengatakan bahwa mendengarkan Tuhan juga bisa bertolak dari orang-orang yang mengalami pengalaman keterlukaan. Pengalaman keterlukaan dapat melahirkan solidaritas yang kemudian dapat dikembangkan untuk menjadi politik perdamaian. Pengalaman keterlukaan itu adalah suatu hal yang menantang sekaligus mendewasakan manusia.
Demikian sari pemikiran dari dua pembicara utama yang tampil pada Konferensi Internasional Teologi Publik yang diselenggarakan oleh Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Jumat (27/9), bertempat di Auditorium Maximum Kampus II IFTK Ledalero, Jalan Wairklau, Maumere, Flores, NTT. Konferensi ini diikuti oleh para dosen dan mahasiswa IFTK Ledalero dan beberapa peserta dari perguruan tinggi lain.
Prof. Stephan memaparkan materi berjudul “Living with the Hidden God: The Sacramentality of Public Life” (Hidup dengan Tuhan yang Tersembunyi: Sakramentalitas Kehidupan Publik). Sedangkan Mgr. Budi Kleden membawakan materi berjudul “Woundedness and Solidarity: Toward a Compassion-Based Politics” (Keterlukaan dan Solidaritas: Menuju Politik Berbasis Belas Kasih).
Menurut Prof. Stephan, di dunia sekuler seperti sekarang ini, iman sering kali dilupakan ketika manusia mengalami berbagai macam masalah dalam hidupnya. “Jika teologi mencari pemahaman tentang iman umat, maka hal itu bisa menjadi titik awal untuk hidup bersama Tuhan di tengah dunia yang sekuler,” katanya.
Prof. Stephan juga menambahkan bahwa sakramen-sakramen merupakan wujud nyata kehadiran Allah yang menyelamatkan di tengah dunia. Karena itu, Gereja dan teologi memiliki tugas untuk mewujudkan pesan Tuhan yang lebih relevan dalam masyarakat dewasa ini.
“Gereja dan teologi tidak menyampaikan pesan Tuhan kepada dunia, namun berkumpul dan berusaha untuk mewujudkan pesan janji Tuhan yang sudah ada di tengah masyarakat,” katanya.
Saat ini banyak teolog yang tengah mendiskusikan topik teologi publik. Prof. Stephan yang juga adalah editor jurnal internasional Concilium menjelaskan bahwa teologi publik merupakan cara umat Kristiani membangun komunikasi dengan pihak-pihak lain yang ada di luar Gereja. Hal ini berarti bahwa teologi merupakan upaya untuk membuat teologi menjadi relevan di ruang yang lebih luas, namun dengan risiko kehilangan nuansa dan kedalaman keyakinan tradisional.
“Metode ini menampilkan dirinya sebagai ‘teologi publik’ karena ia mengaku menggunakan bahasa yang umum digunakan, mengkomunikasikan keyakinan yang diterima secara luas dan bukannya, misalnya, keyakinan tradisional.,” katanya.
Menanggapi pemaparan Prof. Stephan, salah satu mahasiswa pascasarjana, Fr. Pantje Dhae, mengaku terinspirasi oleh materi yang dibawakan oleh Prof. Stephan. “Materinya sangat menarik. Saya juga senang karena dia mau belajar dari konteks negara Indonesia,” ucapnya.
Menurut Pantje, tantangan bagi umat Katolik adalah bagaimana menemukan kebenaran kehadiran Allah di tengah dunia.
“Menurut saya, tugas Gereja dan teologi publik adalah menemukan kebenaran kehadiran Allah, mengangkat, dan akhirnya menghidupi Allah yang sudah selalu hadir itu. Itu tantangan bagi kita orang Katolik,” ujarnya.
Pengalaman Keterlukaan Melahirkan Solidaritas dan Politik Perdamaian
Uskup agung EndeMgr. Budi Kleden dalam pemaparannya mengajak peserta konferensi untuk merefleksikan kerahiman Tuhan dan menerima dengan besar hati kenyataan keterlukaan peristiwa gempa bumi dan tsunami di Maumere Desember 1992 silam. Pengalaman keterlukaan juga direfleksika dalam puisi “Aku” dari Chairil Anwar.
“Teologi juga lahir karena situasi keterlukaan yang dialami oleh manusia dan kemudian merefleksikan keterlibatan Tuhan dalam kondisi tersebut sambil berjuang keluar dari situasi keterlukaan itu,” kata mantan Superior General SVD itu.
Pada sesi diskusi yang dipandu Dr. Wilybaldus Gaut, salah seorang pembicara kunci, Prof. Dr. F. X. Eko Armada Riyanto, mengajukan pertanyaan tentang apakah etika masih dibicarakan berhadapan dengan peristiwa seperti G-30 S/PKI dan Aushwitz.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Mgr. Budi Kleden menjelaskan bahwa berhadapan dengan pengalaman keterbukaan seperti itu, diskursus tentang etika masih dapat didiskusikan secara terbuka termasuk di lingkungan akademis. IFTK Ledalero pernah mendiskusikan dan menerbitkan buku tentang pengalaman keterlukaan seperti G-30 S/PKI.
Mantan Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Dr. Mery Kolimon, juga menyampaikan bahwa dia dan beberapa teman pernah menerbitkan buku Memori-Memori Terlarang yang berisikan juga pengalaman keterlukaan dari para korban peristiwa tahun 1965. “Apakah teologi publik bisa menyembuhkan luka para korban seperti pada peristiwa 1965 di Indonesia?” tanya Dr. Mery.
Menjawab pertanyaan tersebut, Mgr. Budi Kleden menekankan bahwa kita harus membangun kreativitas dan kepekaan dengan melihat, meningkatkan, dan menyuarakan penderitaan para korban. Hal yang dapat dilakukan ialah dengan berkontribusi terhadap kebaikan korban dan saling bekerja sama antaragama untuk terus membangun solidaritas.
Iman Harus Menyentuh Realitas Sosial
Konferensi Internasional ini dibuka oleh Rektor IFTK Ledalero, P. Dr. Otto Gusti Madung, SVD.
Dalam sambutannya, Pater Otto menyatakan bahwa diskusi seputar iman Kristen harus menyentuh realitas hidup sosial yang terjadi di sekitar kita. Hal ini merupakan implementasi dari teologi publik. Contoh konkret untuk hal ini adalah bagaimana menyikapi kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Beberapa hari lalu para mahasiswa dan dosen dari IFTK Ledalero berdemo di depan Pengadilan Negeri Maumere untuk menuntut keadilan dalam kasus TPPO yang sedang hangat akhir-akhir ini. Yang menjadi pertanyaannya adalah apakah mereka melakukan itu karena iman Kristiani mereka?” ujarnya.
Pater Otto juga mengungkapkan fakta lain bahwa Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah satu provinsi yang mayoritasnya merupakan orang Kristen, namun pada kenyataanya korupsi masih merupakan salah satu masalah serius.
“Mengapa iman Kristen tidak memberi pengaruh terhadap hidup sosial masyarakat? Untuk itu, saya ingin agar pertanyaan-pertanyaan ini dibawa ke dalam diskusi-diskusi kita tentang teologi publik dalam konteks Indonesia,” katanya.
Diskusi Paralel
Selain pemaparan dari para pembicara kunci, ada juga diskusi paralel yang dibawakan oleh beberapa orang pemateri. Para pemateri dan peserta dibagi ke dalam lima kelompok. Terdapat dua pembicara di kelompok pertama: Dr. Otto Gusti Madung membawakan materi berjudul “Freedom of Religion/Belief in Indonesia: Charles Taylor's Third Secularism and the Inclusion of Non-Believers in a God-Fearing State” (Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia: Sekularisme Ketiga Charles Taylor dan Inklusi Orang Tidak Beriman ke dalam Negara yang Takut akan Tuhan) dan Dr. Mery Kolimon dari Universitas Kristen Artha Wacana Kupang membawakan makalah berjudul “Doing Public Theology from Liminal Space: Exploring the Method of Indonesia Feminist Public Theology on Past Human Rights Violations” (Melakukan Teologi Publik dari Ruang Liminal: Mengeksplorasi Metode Teologi Publik Feminis Indonesia terhadap Pelanggaran HAM Masa Lalu).
Kelompok kedua diskusi panel menghadirkan tiga pembicara, antara lain Robert Mirsel, M.A. dengan materi berjudul “Reading the Reality of Poverty in East Nusa Tenggara, Indonesia in Light of Christian Theology” (Membaca Realitas Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur, Indonesia dari Sudut Pandang Teologi Kristen), Peter Tan, M.Th., M.Fil, dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang dengan materi ”New Wine in the New Wineskins: Doing Theology in a Post-Secular Era from the Perspective of Second Vatican Council” (Anggur Baru dalam Kirbat Anggur Baru: Melakukan Teologi di Era Pasca-Sekuler dari Perspektif Konsili Vatikan Kedua), Jeniffer Fresy Porielly Wowor, M.A dari Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta membawakan materi “Christian Religious Education in the Public Sphere: An Invitational Approach to Embrace Each Other in the Pluralistic Society of Indonesia” (Pendidikan Agama Kristen di Ruang Publik: Pendekatan Ajakan untuk Saling Merangkul di Tengah Masyarakat Indonesia yang Pluralistik”.
Para pembicara dari kelompok ketiga diskusi panel adalah Dr. Alexander Jebadu yang membawakan materi berjudul “Political Dimension of the Church's Mission” (Dimensi Politik Misi Gereja), Isakh Oematan dengan materi berjudul “Theology of Migration: A Theoretical-Theological Offering for Religion in the Fight Against Human Trafficking in East Nusa Tenggara” (Teologi Migrasi: Pemaparan Teoritis-Teologis untuk Agama dalam Melawan Perdagangan Manusia di Nusa Tenggara Timur) dan Yohanes De Brito Nanto, M.Th. dengan materi berjudul “Roeng Theology: A Liberation Approach in Labuan Bajo's Tourism Development Context” (Teologi Roeng: Pendekatan Pembebasan dalam Konteks Pembangunan Pariwisata di Labuan Bajo).
Para pembicara dari kelompok keempat adalah Yohanes Adrianus Mai, S.Fil., B.Theol., B.Min dengan materi berjudul “Pancasila Theology: Approaches to Public Theology in Indonesia” (Teologi Pancasila: Pendekatan Teologi Publik di Indonesia), Cand. Dr. SefrianusJuhani dengan materi berjudul “The Concept of Mori Kraeng as Ema Eta and Ende Wa and Its Implications for the Environmental Advocacy Movement” (Konsep Mori Kraeng Sebagai Ema Eta dan Ende Wa Serta Implikasinya Terhadap Gerakan Advokasi Lingkungan Hidup) serta FransiskusBala Kleden, M.Th. dengan meteri “Discourse of the Concept of the Sea and the Role of God in Waibalun Society and Ancient Israelite Society DevelopingTheology of the Sea” (Wacana Konsep Laut dan Peran Tuhan dalam Masyarakat Waibalun dan Masyarakat Israel Kuno Mengembangkan Teologi Laut).
Sedangkan kelompok kelima diisi oleh pembicara antara lain Jean Loustar Jewadut & Benediktus Denar, M.Th dengan materi berjudul “Ecclesiology in an Asian Public Theological Perspective According to Felix Wilfried” (Eklesiologi dalam Perspektif Teologis Publik Asia Menurut Felix Wilfried), Dr. Bernardus Subang Hayong yang membawakan materi berjudul “Kenotic Secularization in Gianni Vattimo's Thought and the Possibility of Public Theology in the Indonesian Context” (Sekularisasi Kenotic dalam Pemikiran Gianni Vattimo dan Kemungkinan Teologi Publik dalam Konteks Indonesia) dan Dr. Khanis Suvianita yang membawakan materi berjudul “Reclaiming Christianity: Love Leads Families with Waria Children” (Merebut Kembali Kekristenan: Cinta Memimpin Keluarga dengan Anak Waria).
***
Sesi Konferensi Pers Pembicara utama Prof Dr. Stephan van Erp dan Dr. Paul Budi Kleden bersama Wartawan dan Tim Publikasi BEM IFTK Ledalero
Prof. Dr. Stephan van Erp dan Dr. Paulus Budi Kleden di sela sela Konferensi Pers
Pendeta Jeniffer tampak sedang menyampaikan materinya di Sesi Diskusi Paralel
Pendeta Dr. Mery Kolimon sedang memaparkan materi presentasi pada sesi diskusi paralel bersama Rektor IFTK Ledalero De. Otto Gusti Madung
Para pemateri Grup 3 Diskusi Paralel. Dari kiri ke kanan Isakh Bendris Oematan GMIT Dr. Alex Jebadu SVD IFTK Ledalero Yohanes De Brito Nanto S.Fil M.Th IFTK Ledalero
BAGIKAN
PROGRAM STUDI SARJANA FILSAFAT PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK PROGRAM STUDI SARJ0
Penerimaan mahasiswa baru IFTK Ledalero tahun akademik 2025/2026 Prodi Ilmu Filsafat (S1) Prodi Pend0
Pendaftaran Online Program Studi Sarjana Filsafat, PKK, DKV, Kewirausahaan, Sistem Informasi & Magis0
© Copyright 2025 by Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - Design By Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero