•  Beranda  /
  •  Public  /
  •  SEMA STFK Ledalero Menyelenggarakan Seminar Tantang Pemuda di Era Krisis Politik

SEMA STFK Ledalero Menyelenggarakan Seminar Tantang Pemuda di Era Krisis Politik

img

Seksi akademik Senat Mahasiswa (SEMA) STFK Ledalero, dalam salah satu program kerja pada semester gazal, mengadakan seminar tentang pemuda di era krisis politik. Seminar yang dilaksanakan pada Sabtu, 26 Oktober di aula LK3I Maumere dihadiri oleh para mahasiswa semester 7 STFK Ledalero, beberapa mahasiswa UNIPA Maumere, jurnalis, dan aktivis di Maumere. Seminar ini menghadirkan empat pembicara yaitu Bapak Jonas K.G.D Gobang (wakil rektor I UNIPA Maumere), Bapak Emilianus Yakob Sese Tolo (dosen STFK Ledalero), Saudara Yohanis Yos De Peskim (jurnalis VOX NTT), dan Mario Fernandez (ketua PMKRI cabang Maumere St. Thomas Morus). Jalannya diskusi dipandu oleh Ferdinandus Jehalut, mahasiswa semester 7 STFK Ledalero, sebagai moderator.kegiatan mahasiswa 2019 pemuda 3

Wakil Ketua III STFK Ledalero, P. Maxi Manu, SVD, dalam komentar pembukanya sebelum memulai diskusi, menyampaikan ucapan terima kasih kepada keempat pembicara yang telah memenuhi permintaan seksi akademik SEMA Ledalero untuk menjadi pemantik diskusi dalam kesempatan seminar tentang pemuda di era krisis politik. Selain itu, P. Maxi Manu, SVD juga menyampaikan terima kasih kepada para peserta yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi bersama. “Diskusi tentang pemuda di era krisis politik diselenggarakan dalam rangka memperingati hari sumpah pemudah pada 28 Oktober mendatang. Kesempatan diskusi hari ini semestinya membangkitkan semangat generasi muda untuk membangun bangsa ke arah yang lebih baik”, harap P. Maxi Manu, SVD.

Pemuda di Era Krisis Politik

Bapak Gery Gobang, pembicara pertama dalam seminari ini, secara terang-terangan menegaskan bahwa gerakan mahasiswa pada tahun 1998 adalah gerakan moral murni. Pengalaman sejarah pergerakan mahasiswa 1998 mesti tetap menjadi api yang membakar semangat para mahasiswa di era reformasi untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik. Berbagai krisis politik yang dialami oleh bangsa ini mesti direspon dengan cara meruntuhkan Indonesia atau mendekonstruksi Indonesia. “Kalau bangsa ini ingin mewujudkan janji mulia kemerdekaan, maka ada lima hal yang perlu dihilangkan atau paling tidak diminimalisasi. Kelima yang perlu diminimalisasi dan bila perlu dihilangkan adalah pembedaan wilayah Barat dan Timur, determinasi budaya Jawa, konsep Jakartasentris, kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, dan ideologi-ideologi seperti fundamentalisme dan radikalisme yang berwajah kekerasan”, tegas Bapak Gery Gobang.

Kelima hal tersebut mesti menjadi perhatian bersama seluruh warga negara Indonesia, terlebih lagi para mahasiswa. Mahasiswa harus bisa mengambil bagian secara penuh dalam kehidupan bernegara karena eksistensi dan kapabilitas para mahasiswa masih diakui publik sebagai garda terdepan untuk menunjukkan kepedulian sosial dan berbuat banyak hal yang berpihak pada nasib masyarakat. “Tugas mahasiswa bukan hanya datang dan belajar di kampus untuk mengejar nilai. Lebih dari itu, mahasiswa membuka diri terhadap fakta-fakta sosial kemasyarakatan dan membuat analisis terhadapnya. Analisis mahasiswa terhadap situasi-situasi masyarakat tentunya harus berpijak pada kajian akademik dan bersenjatakan senjata nurani”, pungkas wakil rektor I UNIPA tersebut.

Bapak Emilianus Yakob Sese Tolo, menyajikan materi tentang ekonomi politik gerakan mahasiswa progresif di NTT pasca pemilu 2019. Bapak Emil memulai pemaparan materinya dengan melontarkan pertanyaan provokatif: mengapa di NTT kemiskinan sulit dieliminasi meskipun dalam kenyataannya Jokowi sudah menunjukkan kepedulian terhadap masyarakat NTT? Dalam analisis Bapak Emil, pemerintahan Jokowi kurang mengetahui persoalan ekonomi politik di NTT. Kemiskinan di NTT disebabkan oleh dua hal yaitu ketimpangan agraria dan korupsi. Terhadap problem ini, mahasiswa sebagai insan akademis perlu menawarkan politik alternatif yang berbasis gerakan progresif. “Saya tidak sepakat dengan Bapak Gery Gobang yang sangat percaya gerakan moral yang ditawarkan. Gerakan moral cenderung terpisah dari pihak-pihak yang dibela. Gerakan moral itu seperti keberadaan seorang resi dalam kebudayaan Jawa. Tugas seorang resi atau pertapa hanyalah menegur dan mengoreksi kekuasaan tetapi tetap melanggengkan status quo karena tidak hadir dengan agenda pembongkaran struktur kekuasaan yang tidak memihak masyarakat umum”, tanda Bapak Emil.

kegiatan mahasiswa 2019 pemuda 1Mahasiswa perlu bergerak lebih jauh meninggalkan kemegahan gerakan moral ke arah gerakan progresif. Sejarah menunjukkan bahwa kejatuhan rezim Orde Baru tidak disebabkan oleh krisis ekonomi kala itu, tetapi karena gerakan progresif mahasiswa. “Gerakan progresif adalah gerakan yang otonom dan tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan pragmatis. Orientasi gerakan progresif adalah pembongkaran struktur ekonomi politik yang tidak memihak kebaikan bersama. Ya, tentunya gerakan progresif harus selalu dilengkapi dengan perbendaharaan basis epistemologis yang mumpuni. Untuk itu, ada tiga tawaran langkah penting untuk menyukseskan gerakan progresif mahasiswa yaitu membumikan wacana progresif, membentuk dan melibatkan diri secara aktif dalam organisasi-organisasi progresif, dan merangkul para tokoh agama untuk membentuk gerakan religion left”, pungkas Bapak Emiil.

Saudara Yohanis Yos De Peskim, dalam paparan materinya, mengafirmasi gerakan progresif mahasiswa di era krisis politik sekarang ini. Gerakan progresif adalah sebuah cara untuk tidak taat secara buta terhadap kekuasaan. “Mahasiswa perlu memiliki pengetahuan sejarah yang cukup lengkap tentang kiprah publik mahasiswa masa lalu. Belajar dari mereka itu penting. “Mandiri dalam pikiran, tegas dalam keberpihakan, dan aktif dalam berorganisasi demi perwujudan kebaikan bersama mesti menjadi senjata perlawanan mahasiswa dalam bingkai gerakan progresif”, harap saudara Yohanis Yos De Peskim.

Saudara Mario Fernandez, dalam ulasannya, menegaskan bahwa di era krisis politik sekarang ini, mahasiswa bukannya tidak memiliki keberanian, melainkan lebih bersikap apatis atau tidak peduli terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Ketua PMKRI cabang Maumere itu juga mengungkapkan kesetiaannya untuk turun ke jalan mengikuti demonstrasi. “Tujuan turun ke jalan bagi saya jelas yaitu sebagai tanggapan terhadap situasi-situasi krisis yang ada di masyarakat”, ungkap saudara Mario Fernandez.

Relasi Saling Melengkapi Gerakan Moral dan Gerakan Progresif

Apakah gerakan moral dan gerakan progresif harus berjalan masing-masing tanpa bisa diharmoniskan dalam rangka melawan kekuasaan dan membela nasib masyarakat? Keempat pembicara dalam seminar ini kurang lebih memiliki pemikiran yang sama bahwa gerakan moral dan gerakan progresif bisa menjalin relasi saling melengkapi. Sekalipun Bapak Emil secara tegas menyatakan bahwa gerakan moral itu perlu tapi hanya bersifat remeh temeh, dia juga tetap yakin bahwa gerakan progresif yang mempunyai daya dobrak yang kuat hanya bisa dilakukan oleh para mahasiswa yang memiliki moralitas yang mumpuni. Bapak Gery Gobang yang dari awal pembicaraannya dengan penekanan pada gerakan moral mahasiswa juga tetap mengakui dan mengamini alternatif gerakan progresif melalui pembumian wacana tentang gerakan progresif dan menggabungkan diri dalam organisasi-organisasi progresif.

Kedua pembicara yang lain yaitu saudara Yohanes Yos De Peskim dan saudara Mario Fernandez juga memiliki pandangan yang positif terhadap kerja sama gerakan moral dan gerakan progresif. “Mahasiswa yang menggabungkan diri dalam organisasi-organisasi progresif untuk membela masyarakat tentunya memiliki kekuatan moral, budi yang handal, dan sikap keberpihakan yang jelas”, jawab saudara Yohanes Yos De Peskim.

Komentar-Komentar tentang Seminar

Diskusi bertajuk “Gerakan Pemuda di Era Krisis Politik” ini memantik beberapa komentar, apresiasi, dan harapan dari sejumlah pihak. Ketua STFK Ledalero, P. Otto Gusti Madung, SVD, dalam komentarnya ketika dihubungi melalui media sosial facebook¸mengapresiasi kegiatan seminar tentang pemuda di era krisis politik yang diselenggarakan oleh SEMA Ledalero. Menurut P. Otto Gusti Madung, SVD, kegiatan seperti ini mesti menjadi habitus setiap perguruan tinggi. “Kegiatan seminar ini adalah salah satu bukti dari salah satu tridarma perguruan tinggi yaitu pengabdian untuk masyarakat yang tentunya berbasiskan dua tridarma perguruan tinggi lainnya yaitu pengajaran dan penelitian. Di era pemerintahan Jokowi periode kedua yang nyaris tanpa oposisi di parlemen, masyarakat sipil, terutama mahasiswa yang melek politik mesti menjadi oposisi handal kekuasaan yang sedang berlangsung agar kekuasaan sungguh digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama”, jelas Pater ketua STFK Ledalero.

Ibu Rini Kartini, dosen UNIPA Maumere, juga mengapresiasi kegiatan seminar yang diselenggarakan oleh SEMA Ledalero. Mahasiswa STFK Ledalero yang dulunya kurang membaur, sekarang menjadi lebih terbuka menjalin kerja sama lintas kampus untuk berdiskusi. “Keempat pembicara hanya memfokuskan pemaparannya pada pergerakan politik. Yang kurang diberikan penekanan adalah gerakan-gerakan pemuda melalui media-media lain seperti gerakan melalui media seni dan sastra. Namun, sekalipun ada beragam cara untuk merancang gerakan pemuda, tujuan akhirnya tetap sama yaitu demi kebaikan masyarakat”, jelas Ibu Rini KartiniDr.

Jonas K. G. D. Gobang, salah seorang pembicara dalam diskusi ini, memberikan apresiasi terhadap senat Mahasiswa STFK Ledalero yang telah berhasil mengadakan suatu diskusi kritis-reflektif, “sudah saatnya kaum intelektual muda melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat reflektif-kritis seperti ini guna membangun semangat kepedulian terhadap berbagai situasi kebangsaan”. Geri Gobang juga menambahkan, kegiatan akademis seperti ini bisa menjadi modal yang berarti bagi setiap gerakan-gerakan pemuda dalam menyiapkan dasar-konsep intelektual dari gerakan mereka, “dasar konsep intelektual ini menjadi penting dalam memberikan arah dan tujuan dari setiap gerakan kaum muda, sehingga mereka tidak terkesan hanya ikut arus” tandas Geri.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mario Fernandez, ketua PMKRI cabang Maumere St. Thomas Morus. Mario mengungkapkan apresiasinya terhadap geliat kepedulian sejumlah kaum muda berhadapan dengan berbagai krisis yang melanda politik Indonesia akhir-akhir ini. “Dalam satu pekan ini terjadi dua diskusi yang berhubungan dengan gerakan mahasiswa. Ini menjadi pertanda bagi kebangkitan mahasiswa untuk melawan pembungkaman terhadap daya kritis yang terjadi di mana-mana”. Lebih lanjut, Mario juga menegaskan, tantangan bagi gerakan kaum muda, khususnya mahasiswa, ialah lemahnya penanaman nilai dalam diri para mahasiswa. “kita [mahasiswa, red] begitu mudah digiring oleh hoaks dalam media sosial. Berhadapan dengan kenyataan seperti itu, diskusi publik seperti ini membantu para mahasiswa untuk kembali kepada perannya sebagai insan kritis yang mengverifikasi kebenaran dari segala macam berita yang beredar di pelbagai media”, tegas Mario.

Sementara itu, Petrus Edmon Puken, seorang siswa kelas XI dari SMAS ST. Yohanes Paulus II, mengatakan, diskusi publik yang telah diinisiasi oleh SEMA STFK Ledalero memberikan sejumlah kesadaran terhadap para pemuda tentang sejumlah krisis politik yang tengah melanda negara Indonesia, “seminar ini membantu saya dalam memahami sejumlah krisis yang melanda politik kita dan memberi pengaruh positif terhadap para pemuda untuk bersama-sama menentang segala macam kebijakan pemerintah yang tidak menjawabi kebutuhan masyarakat”, demikian komentar Edmon.

Selain memberikan sejumlah apresiasi dan harapan, forum juga menggarisbawahi pentingnya aksi nyata di lapangan yang diinisiasi oleh para mahasiswa. Hal ini tampak dalam komentar yang disampaikan oleh Emilinaus Sese Tolo, dosen pada program PKK STFK Ledalero. Emilianus menandaskan, “diskusi yang dilaksanakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda ini tidak serta merta mengesampingkan tugas mahasiswa yang tidak saja berdiskusi, tetapi juga melakukan aksi nyata di lapangan”. Menurut Emil, diskusi publik yang dibarengi dengan aksi nyata menjadi penting untuk menuntut keadilan yang belum maksimal dilakukan oleh pemerintah. “Nilai, ilmu, atau pengalaman yang terkristralisasi dalam diskusi publik akan menjadi bermakna apabila dapat diimplementasikan dalam kegiatan nyata seperti demonstrasi, live in, atau kegiatan sosial kemasyarakatan”, tambah Emil.    

 

BAGIKAN