•  Beranda  /
  •  Public  /
  •  Pater Superior General SVD: Berfilsafat Dan Berteologi Di Indonesia

Pater Superior General SVD: Berfilsafat Dan Berteologi Di Indonesia

img

            Jumat, 06 September 2019, pukul 15:00-18:30, bertempat di aula Santo Thomas Aquinas di STFK Ledalero, Pater Superior General SVD, P. Dr. Paul Budi Kleden, SVD, tampil sebagai pembicara kunci ketiga dalam simposium internasional yang dilaksanakan oleh STFK Ledalero. Pater Superior membawakan materi yang bertemakan berfilsafat dan berteologi di Indonesia dan kemudian ditanggap oleh P. Dr. Georg Kirchberger, SVD dari perspektif teologi dengan pendekatan kontekstual dan P. Dr. Leo Kleden, SVD dari perspektif filsafat hermeneutika. Simposium internasional yang menghadirkan Pater Superior sebagai pembicara kunci dimoderatori oleh Praeses Seminari Tinggi Interdiosesan Santo Petrus, Ritapiret, Rm. Dr. Philip Ola Daen, Pr.69653466 10212260994679352 1932206839013834752 n

            Pertanyaan mengenai tema berfilsafat dan berteologi di Indonesia memungkinkan warga negara Indonesia untuk melihat entahkah filsafat dan teologi memiliki relevansi di sini. Sesuatu dikatakan memiliki relevansi apabila dia sanggup menjawabi kebutuhan atau pertanyaan yang hidup di dalam satu masyarakat pada waktu dan di tempat tertentu. Menurut Pater Superior ada tiga pertanyaan atau rumpun persoalan yang perlu diolah filsafat dan teologi di Indonesia, sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan mendesak dari realitas kehidupan berbangsa di negara ini. Yang pertama adalah persoalan sekitar relasi antara yang tunggal dan yang banyak sebagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan berbangsa yang multikultural. Rumpun permasalahan kedua berkisar pada pertanyaan tentang bagaimana melibatkan diri dalam persoalan sosial politik demi meningkatkan kesejahteraan bersama. Dan yang ketiga, filsafat dan teologi di Indonesia mesti tanggap terhadap relasi antara manusia dan lingkungan alam yang kian terancam keutuhannya.

            Terhadap rumpun persoalan pertama, menurut P. Dr. Paul Budi Kleden, SVD, filsafat dan teologi mesti fokus pada yang lain. Yang dimaksudkan dengan yang lain adalah yang berada di luar pusat perhatian, di luar lingkaran dominasi kekuasaan. Yang lain adalah yang dipinggirkan, yang asing, yang tidak diperhitungkan dan tidak mempunyai hak, mereka yang sering “malah tidak punya hak suara dalam Gereja”. Yang lain adalah kaum perempuan, orang-orang miskin dan kurang berpendidikan, para pendatang dan perantau. Yang lain adalah orang-orang dari golongan agama dan kepercayaan lain, orang-orang yang menganut paham ideologi sekuler. Yang lain adalah alam yang terlampau gampang menjadi korban manipulasi keangkuhan manusia. Akhirnya yang lain adalah Allah sendiri.

            Persoalan tentang kerja sosial dan politik dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bersama dijawab oleh filsafat dan teologi terlibat untuk mengatasi penderitaan yang masif. Filsafat dan teologi yang terlibat di dalam pergumulan masyarakat Indonesia mesti menjadikan compassio sebagai salah satu tema utamanya. Compassio bukan sekadar perasaan iba terhadap seseorang yang sedang menderita. Lebih dari itu, compassio merupakan kewajiban untuk terbuka dan menangkap penderitaan orang lain, satu gerakan aktif terhadap apa yang sedang diderita orang lain. “Filsafat dan teologi di Indonesia menjadi relevan apabila keduanya terlibat dalam mengelaborasi tema compassio, menunjukkan otoritas para penderita sebagai kekuatan untuk menggalang kerja sama dengan semua pihak melampaui sekat apapun”, jelas Pater Superior yang adalah penulis buku Teologi Terlibat.69634088 10212260992759304 3040574934167322624 n

            Persoalan terakhir tentang eksploitasi yang dilakukan oleh manusia terhadap alam, Pater Superior menawarkan filsafat dan teologi ekologis. Menjadikan ekologi sebagai tema filsafat sebenarnya merupakan satu perkembangan yang relatif baru. Filsafat barat ditentukan oleh dominasi manusia sebagai penguasa atas alam ciptaan. Karena amat mengagungkan rasio, maka predikat rationale pada definisi manusia sebagai animal rationale menempatkan manusia pada posisi yang dominan. Pembalikan pola pikir terjadi beberapa dekade terakhir, ketika orang menjadi sadar akan ancaman terhadap lingkungan sebagai akibat dari gaya hidup manusia modern. Manusia tidak lagi ditempatkan sebagai titik sentral dari seluruh universum, melainkan satu dari mata rantai relasi yang saling mempengaruhi. Antroposentrisme diganti dengan kosmosentrisme. “Kosmos adalah kesatuan relasi yang tertata dan hanya akan terus berfungsi secara benar apabila semua bagian diakui dan diberi tempat. Dominasi manusia berakibat pada rusaknya keseimbangan yang berdampak panjang”, tegas P. Dr. Paul Budi Kleden, SVD.

Efek Dosa Asal

            P. Dr. Georg Kircberger, SVD, yang mendapat kesempatan pertama untuk menanggapi makalah Pater Superior, menambahkan satu rumpun masalah yang tidak secara eksplisit dijelaskan oleh Pater Superior dalam makalahnya. Rumpun masalah tersebut adalah individu atau pribadi. Apa yang terjadi di dalam diri individu sehingga tetap eksis untuk melakukan rupa-rupa kejahatan? Terhadap pertanyaan ini, teologi memberi jawaban yaitu dosa asal. Dosa asal mengakibatkan manusia keliru dalam berpikir, salah dalam bertutur kata, dan menyimpang dalam bertindak. Apa yang menyebabkan manusia jatuh dalam dosa asal? Teolog STFK Ledalero tersebut dengan lugas mengatakan bahwa sikap curigalah yang menyebabkan manusia jatuh dalam dosa asal dan bukan ketidaktaatan. Kecurigaan adalah faktor penyebab munculnya ketidaktaatan. Manusia mencurigai bahwa Tuhan Allah menyembunyikan sesuatu dari manusia sehingga manusia tetap menjadi makhluk yang lemah dan tetap tunduk terhadap Tuhan. Kecurigaan itulah yang menyebabkan manusia termakan rayuan ular untuk melanggar apa yang telah dilarang oleh Tuhan untuk dimakan. Setelah mereka makan buah terlarang, mereka menjadi sadar bahwa mereka sudah melakukan kesalahan dan mereka juga sadar bahwa Tuhan akan tetap lebih besar dari manusia ciptaan-Nya sampai selama-lamanya.

Mempertanyakan Isi Iman

70350071 10212260993719328 4008779086603223040 nP. Dr. Leo Kleden, SVD, dalam tanggapannya terhadap paparan Pater Superior, menegaskan tentang pentingnya mempertanyakan isi iman. Isi iman yang baik akan mendukung harmonisasi dan toleransi di antara umat beragama. Namun, isi iman yang hanya berurusan dengan klaim kebenaran sepihak dan memandang orang lain sebagai kafir menjadi penyebab utama konflik antara umat beragama dewasa ini.

            Filsafat dan teologi yang terlibat dalam kehidupan konkret masyarakat mesti selalu dikawal agar filsafat dan teologi tidak menjelema menjadi sebuah ideologi. Dalam sejarah, ideologi memiliki tiga fungsi yaitu pertama, untuk mendistorsi kenyataan sosial. Kedua, legitimasi kekuasaan. Ketiga, integrasi sosial. “Kita mesti memiliki komitmen bersama agar keterlibatan filsafat dan teologi tidak menjadi ideologi yang mendistorsi kenyataan dan diinstrumentalisasi dalam rangka melegitimasi kekuasaan, tetapi harus menjadi sarana untuk mengusahakn integrasi sosial”, harap P. Dr. Leo Kleden, SVD.

            Bagian terakhir pemaparan P. Dr. Leo Kleden, SVD, beliau menghendaki agar teologi sistematik mesti dilengkapi dengan teologi narasi. Para teolog mesti keluar dari kenyamanan dogma-dogma dan mulai menarasikan situasi konkret masyarakat. “Ada empat kata kunci yaitu filsafat, teologi, human sciences, dan kesenian (sastra). Empat kata kunci inilah yang akan menyukseskan pembumian teologi narasi”, tutur mantan Provinsial SVD Ende.

 

Analogi Pesawat Terbang

            Sebagai kata terakhir dari P. Dr. Paul Budi Kleden, SVD, dia menjelaskan sebuah analogi tentang pesawat terbang. Ada saatnya pesawat take off, ada waktunya dia mengudara, dan kemudian akan kembali ke darat. “Berfilsafat dan berteologi itu ibarat pesawat terbang. Para filsuf dan teolog boleh memikirkan hal-hal yang spektakuler. Tapi, pada akhirnya mereka tetap harus kembali ke bumi dan mengalami segala sesuatu yang dialami oleh masyarakat. Dengan mengalami secara langsung situasi masyarakat, filsafat dan teologi pasti sanggup berbuat sesuatu sebagai respon terhadap situasi masyarakat”, jelas Pater Superior.

            Kehadiran P. Dr. Paul Budi Kleden, SVD sebagai pembicara kunci yang ketiga mengakhiri seluruh rangkaian kegiatan simposium yang sudah berlangsung sejak Rabu, 04 September 2019. Kegiatan simposium internasional ditutup secara resmi oleh P. Dr. Otto Gusti Madung, SVD selaku ketua STFK Ledalero melalui pemukulan gong. “Simposium internasional boleh berakhir. Namun, usaha kita untuk berfilsafat dan berteologi tidak akan pernah berakhir. Filsafat dan teologi selalu bermula dan berakhir dengan pertanyaan. Setiap jawaban filosofis dan teologis yang diberikan pasti selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru. Teruslah berfilsafat dan berteologi”, harap Rm. Dr. Philip Ola Daen, Pr selaku moderator dalam kegiatan simposium internasional hari ketiga.

(Jean Loustar Jewadut)

Galeri Perayaan Emas STFK Ledalero Hari Ketiga: 6 Sepetember 2019

BAGIKAN