•  Beranda  /
  •  Public  /
  •  PANITIA RE-IMAGINE BIKON BLEWUT MENGADAKAN NOBAR DAN DISKUSI FILM “RIA RAGO”

PANITIA RE-IMAGINE BIKON BLEWUT MENGADAKAN NOBAR DAN DISKUSI FILM “RIA RAGO”

img

Senin, (20/09/2021) masih dalam rangkaian kegiatan Re-imagine Bikon Blewut (R-BB), panitia menggelar dua mata acara sekaligus yakni pemutaran dan diskusi film “Ria Rago”. Kedua kegiatan ini dilakukan di halaman tengah STFK Ledalero dan dihadiri oleh ratusan pengunjung yang terdiri dari civitas akademika STFK Ledalero, anggota komunitas KAHE Maumere dan beberapa muda-mudi yang berasal dari Maumere. Walaupun dilaksanakan pada malam hari, banyak pengunjung yang antusias, karena ini adalah momentum bagi para pengunjung untuk merefleksikan sebuah film pertama di Flores yang dibuat oleh para misionaris SVD pada tahun 1930. Uniknya film ini dibuat seperti fragmen-fragmen tanpa audio dan hanya menampilkan visual semata. Setelah menonton film “Ria Rago” dengan durasi 110 menit, panitia mengajak para hadirin untuk bergabung dalam diskusi mengenai film ini. Dua pemantik diskusi ini adalah Valentino Luis seorang Travel Writer yang membahas mengenai informasi-informasi pembuatan film dan P. Amandus Klau, SVD yang membahas film ini dari perspektif komunikasi moral.

“Ria Rago”: Pahlawan dari Lembah Ndona

Pada kesempatan pertama, Valentino Luis secara garis besar menjelaskan tentang informasi-informasi penting mengenai produksi film. Film ini disutradarai oleh P. Simon Buis, SVD. Dia adalah seorang Belanda yang lahir pada tahun 1892 di Belanda Utara. Setelah menyelesaikan sebagian pendidikan menengahnya di Belanda, dia berangkat ke Hindia Belanda (red: Indonesia) pada 1920. Sesudah 3 tahun menetap di Indonesia dia kembali ke Amerika dan memprodudksi film pertamanya pada tahun 1925 tentang para misonaris yang ditugaskan ke Flores. Karena keinginannya yang besar untuk memproduksi film akhirnya tahun 1929 belajar teknik pembuatan film di Amerika bersama P. Piet Beltjens, SVD yang kemudian menjadi direktor photography pada pembuatan film “Ria Rago” yang dimulai tahun 1930. Selama 2 tahun  di Flores mereka telah berhasil membuaut 2 film sekaligus, yang petama “Ria Rago”, dan kedua “Amorira” yang berlokasi di Likowali, Bajawa.   

Secara garis besar film ini mengisakan tentang perjalan hidup soeorang wanita bernama Ria yang dihadapi dengan penetrasi budaya lokal Ende-Lio. “Ria Rago” adalah sebuah film yang mempropagandakan misi kekatolikan di Flores. Film fiksi ini berkisah tentang perjodohan “Ria Rago”, gadis Katolik dengan Dapo, seorang muslim. Ria menolak kemudian melarikan diri ke para suster misi yang menawarkannya tempat yang aman. Namun, ayahnya dan kroni-kroninya tidak lama menemukannya dan membawanya kembali ke kampung. Setelah berbulan-bulan disiksa, Ria masih tidak mau menyerah. Dia melarikan diri lagi dan berhasil mencapai pos misi tempat dia pingsan. Di ambang kematian, dia diberi sakramen minyak suci. Ayah Ria memutuskan untuk membatalkan pernikahan dan mengembalikan mahar ke Dapo. Di ranjang kematiannya, Ria memaafkan orangtuanya (www.goethe.de/relieffund.)

Membaca Kembali “Ria Rago” dari Ragam Perspektif

Pada kesempatan kedua P. Amandus Klau, SVD secara reflektif membalik perspektif audiens mengenai film ini. Menurutnya, film ini tidak bisa semata-mata dibaca hanya dalam satu tinjauan perpektif semata. Ia tidak setuju jika Film ini adalah film kawin paksa yang secara keseluruhan menekankan Ria sebagai seorang pahlawan yang menentang kawin paksa. Alasannya pertama, P. Amandus menekankan bahwa sebenarnya dalam film in menyuguhkan tentang masalah meta etis,  di mana ada perbenturan antara nilai-nilai moral yang ada. “kita terlalu cepat menilai film ini sebagai film kawin paksa karena pengalaman sensorik kita yang terlalu cepat menilai berdasarkan apa yang kita lihat” katanya di sela-sela penjelasannya.

Kedua, dia juga menekankan bahwa di balik perspektif itu seharusnya ada perspektif-perspektif lain yang bisa dimaknai. Sekurang-kurangnya ada 6 prinsip nilai moral dalam film ini yakni; perhatian, keadilan, menghargai yang kudus, kesetiaan, tanggung jawab, dan kebebasan Tokoh-tokoh yang berperan pada film “Ria Rago” masing-masing mewakili setiap perspektikf tersebut. ketiga, terdapat dua hal yang dilihat P. Amandus dalam propaganda Gereja melalui film ini pertama, tentang makna kebebasan individual yang digagas Gereja belum tentu mendatangkan kebaikan dan kedua, mengenai pengrusakan nilai budaya Ende-Lio oleh misi Kristen mengenai mahar.  Diakhir pembicaraanya P. Amandus sekali lagi menekan bahwa pentingnya ragam perspektif dalam membaca sesuatu khususnya dalam membaca film “Ria Rago”.

Setelah dua pemantik diskusi menyampaikan poin-poin pentingnya, Aryanto Djaga selaku moderator membawa para peserta dalam ruang diskusi. Diskusi terjadi secara alot dengan berbagai pertanyaan menarik dari peserta diskusi. Setelah berdiskusi cukup panjang di akhir kegiatan moderator menegaskan bahwa “kewajiban kita tidak hanya sampai pada kewajiban untuk menikmati film-film yang ada melainkan juga untuk me-Re-Imagine kembali film “Ria Rago” dalam berbagai perspektif moral yang ada”. Kegiataan yang dimulai pukul 19.00 Wita ini berakhir pada pukul 23.05 dan dimeriahkan langsung oleh penampilan San Pedro Band dari konvik Ritapiret.  

BAGIKAN