Keterangan Foto: tampak kedua pemateri dan moderator saat seminar berlangsung
Setelah mengikuti seminar keynote speaker I yang bertema “Realitas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Multi-agama: Peluang dan Tantangan” dengan pembicara Dr. Zainal Abidin Bagir dan penanggap Prof. Dr. F.X. Eko Armada Riyanto, para mahasiswa STFK Ledalero melanjutkan seminar dalam sesi paralel yang terdiri dari tujuh kelompok. Sesi paralel ini menghadirkan beberapa pembicara untuk mendiskusikan beberapa tema aktual.
Kelompok VII yang terdiri dari mahasiswa STFK Ledalero tingkat III B Filsafat, bebas kuliah dan matrikulasi mengikuti seminar dengan dua narasumber, yakni Deni Galus dan Amandus Labetubun. Keduanya merupakan mahasiswa S2 Teologi STFK Ledalero. Seminar yang difasilitasi oleh Paulus Pati Lewar, S. Fil., Lic., seorang dosen STFK Ledalero, terjadi di ruang Heekeren pada Jumat (4/4) pukul 14.30-17.00 WITA.
Deni Galus membawakan materi yang bertema “Kisah Penderitaan Manusia Menghadapi Pandemi Covid-19 dari Perspektif Kitab Ayub”. Dalam pemaparannya, Deni Galus menjelaskan tentang refleksi iman akan Allah di tengah derita pandemi Covid-19. Menurutnya, refleksi ini tidak dimaksudkan untuk membedah struktur genom Covid-19 atau berbicara tentang Covid-19 sebagai virus dalam kajian ilmu sains, melainkan hendak melihat persoalan Covid-19 dalam terang iman. Pertanyaan utama diajukan pemateri adalah, bagaimana iman akan Allah direfleksikan dalam pengalaman derita zaman ini? Pertanyaan ini, menurut Deni, pada akhirnya berkiblat pada pertanyaan tentang eksistensi Allah. “Allah sebagai yang mahakuasa dan mahaadil dipertentangkan dengan adanya penderitaan. Ini adalah persoalan tentang Teodice,” tegasnya.
Lebih lanjut, Deni Galus menegaskan bahwa sesungguhnya pergumulan dan pertanyaan manusia tentang penderitaan menjadi juga pergulatan manusia dalam Kitab Suci. Adapun tokoh Perjanjian Lama yang ditautkan oleh pemateri dengan realitas penderitaan itu adalah tokoh Ayub. Kitab Ayub menampilkan secara dramatis pergulatan Ayub dengan penderitaan dan pergulatannya dengan Allah. Pemateri hendak menafsir kisah ini untuk membaca derita manusia dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Allah yang diimani oleh Ayub, menurut Deni Galus, adalah Allah yang berkuasa atas perbuatan-Nya. Sebagaimana Ia berkuasa untuk memberi, Ia berkuasa pula untuk mengambil. Namun, Allah seperti itu bukankah Allah yang kejam, yang mengambil seturut kehendak-Nya saja tanpa memperhatikan kebaikan manusia. Allah dalam gambaran kitab ini adalah sosok yang mahakuasa, mahabesar, yang jalan pikiran dan hikmat-Nya tidak mampu dipahami oleh manusia. Allah menjadi dasar dari segala sesuatu dan tidak ada sesuatu pun yang melampaui Allah, itulah sebabnya manusia tidak bisa sepenuhnya memahami rencana dan kehendak Allah.
Sementara pemateri lain, Amandus Labetubun, membawakan materi bertema “Uraian Pemuridan Dietrich Bonhoeffer-Costly Discipleship Sikap Kristen di Tengah Krisis Sosial dan Politik”. Dalam pemaparannya, ia menjelaskan tentang teologi pemuridan Bonhoeffer, Costly Discipleship, dalam oposisinya terhadap gereja Kristen-Jerman yang mandul dalam aksi konkret membela kaum tertindas.
Bagi Bonhoeffer, tegas Amandus, Gereja Kristen-Jerman adalah penjaja dan penikmat rahmat murahan. “Menurut Bonhoeffer, kekristenan hari ini mesti memperjuangkan rahmat yang mahal melalui perbuatan pemuridan, yakni mendagingkan Firman dalam aksi konkret, memihak yang lemah dan tertindas,” tukasnya.
Usai pemaparan materi, Paulus Pati Lewar membuka ruang diskusi untuk para peserta. Dalam sesi ini, terdapat beberapa pertanyaan kritis yang diajukan oleh mahasiswa. Cen Yusen, mahasiswa tingkat III Filsafat membuka sesi diskusi dengan sebuah pertanyaan menarik. Terhadap pemaparan Deni Galus, Cen memahami bahwa Ayub adalah seorang figur yang pasrah pada penderitaan. Menurut Cen, sikap pasrah bukan merupakan solusi dalam menghadapi penderitaan. Sebaliknya, perlu ada sikap untuk berjuang atau melawan penderitaan terutama dalam konteks pandemi Covid-19. Penanya menginginkan agar adanya transformasi sikap berhadapan dengan pandemi ini.
Terhadap anjuran Cen Yusen, pemateri menjelaskan bahwa Kitab Ayub menampilkan sosok Ayub yang dalam pergulatannya dengan penderitaan juga bergulat dengan Allah. Di akhir kisah, Ia mengalami tranfromasi dalam iman. Imannya kepada Allah menjadi lebih teguh, ia tidak lagi bertanya tentang keadilan Allah, tetapi ia taat kepada Allah bahkan dalam pendertitaannya. Iman Ayub mengalami pemurnian. Tentu iman Ayub tidak langsung menyembuhkan penyakit tetapi membangun konsep yang baru tentang Allah. Sejak awal, Ayub tidak bersikap fatalistis dalam penderitaan, sebaliknya, ia menyambut penderitaannya dengan hati terbuka, dengan penuh kerendahan hati. Ini membuat Ayub bertahan dalam penderitaan. Iman dan pengharapan Ayub membuat Ia tetap kuat dalam penderitaan. Jadi, iman, menurut Deni, bukannya secara langsung membebaskan manusia dari penyakit, tetapi memberikan kekuatan pada penderita dalam menghadapi penderitaan. Mengingat konsep dan perbuatan manusia dipengaruhi oleh cara pandangnya tentang sesuatu, maka konsep tentang penderitaan yang lebih positif bisa membuat manusia bertahan dalam penderitaan, bukan dalam artian fatalistis tetapi dalam konteks pengharapan.
“Satu hal lain lagi, iman kristiani bukan mengajarkan umatnya untuk tundak pada nasib melainkan bangkit dan berjuang mengatasi penderitaan. Saya mengutip istilah yang hemat saya menjadi spirit dasar perjuangan kristiani di masa pandemi, yaitu Teo-antropodice, maksudnya, iman akan Allah mesti mengalir juga pada aksi untuk sesama. Iman dan perbuatan harus sejalan. Iman dan tindakan yang membebaskan dari ikatan yang membelenggu sejalan. Perjumpaan personal dengan Allah berkiblat pula pada perjumpaan dengan sesama, di masa pandemi ini, tidak sedikit kita melihat aksi solidaritas kristiani dalam diri orang-orang yang bersedia menyerahkan dirinya untuk menjadi relawan dan menolong sesama yang menderita. Inilah spirit solidaritas kristiani yang berkembang di masa pandemi covid-19,” ujar Deni.
Menanggapi jawaban pemateri, Yonas Unrajan, mahasiswa tingkat III B Filsafat mempertanyakan soal iman umat Katolik yang menurutnya merupakan iman yang dipaksakan terutama berhadapan dengan pandemi Covid-19. Penanya kedua ini memahami bahwa Ayub, dalam penderitaannya, memiliki iman yang total akan Allah. Sementara di tengah pandemi, iman umat akan Allah semacam dipaksakan.
Terhadap tanggapan kritis ini, Deni Galus mengatakan bahwa iman umat tidak demikian adanya, sebab dari hasil survei yang dibuat oleh beberapa lembaga dan dari hasil kuesioner daring yang dibuatnya, nampak bahwa responden tidak dipaksa untuk menjawab sesuai dengan kehendaknya. Masing-masing mereka memiliki pandangan sendiri tentang Allah dalam pandemi covid-19. Dari jawaban mereka ituah, pemateri bisa menyimpulkan bahwa manusia secara personal mengalami kehadiran Allah di masa pandemi ini.
“Iman itu bukan iman yang dipaksakan melainkan iman yang tumbuh dari pengalaman manusia. Kalau dipaksakan berarti ada doktrin yang menyusup masuk yang memaksa mereka untuk menjawab seperti yang dikehendaki oleh orang lain, tapi nyatanya, para responden menjawab sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing. Jadi, iman itu bukan dipaksakan tetapi tumbuh dalam pengalaman dan khususnya saat ini, tumbuh dari perjumpaan mereka dengan Allah di masa pandemi covid-19. Kalaupun tanggapan Ayub terhadap penderitaan hampir sama dengan tanggapan iman di masa pandemi, maka itu bukan berarti saya memaksakan ide teologi penderitaan Ayub kepada responden tetapi itu terjadi karena baik Ayub maupun umat sudah mengimani Allah jauh sebelum pandemi ini datang,” tegasnya.
Ucapan Terima Kasih
Paulus Pati Lewar, S. Fil., Lic., selaku moderator mengucapkan terima kasih kepada kedua pembicara dan para mahasiswa yang terlibat aktif dalam kegiatan seminar. Romo Polce, begitu sapaan akrabnya, mengharapkan agar segala hal yang telah didengar dan didiskusikan bersama, membantu perkembangan diri setiap mahasiswa terutama dalam membaca berbagai persoalan aktual yang terjadi dari berbagai macam perspektif. Beliau juga mengharapkan agar semangat untuk berdiskursus mesti ditingkatkan lagi.*** (Febry Suryanto)
BAGIKAN
PROGRAM STUDI SARJANA FILSAFAT PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK PROGRAM STUDI SARJ0
Penerimaan mahasiswa baru IFTK Ledalero tahun akademik 2025/2026 Prodi Ilmu Filsafat (S1) Prodi Pend0
Pendaftaran Online Program Studi Sarjana Filsafat, PKK, DKV, Kewirausahaan, Sistem Informasi & Magis0
© Copyright 2025 by Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - Design By Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero