Jumat, 21 Februari 2020 kelompok minat diskusi Centro John Paul II Ritapiret mengadakan diskusi bersama dengan tema “Sollicitudo Rei Socialis dalam Pusaran Masyarakat Resiko.” Diskusi ini dilaksanakan di ruang Isak Doura, Seminari Tinggi Interdiosesan St. Petrus Ritapiret. Adapun pemateri dan pemantik utama diskusi ini ialah Fr. Sifi Foya, mahasiswa pasca sarjana di STFK Ledalero dan moderatornya Fr. Boy Doreng yang juga mahasiswa STFK Ledalero semester VI.
Sebelum memulai diskusi, Fr. Anchik Sabar selaku ketua kelompok minat Centro sedikit memberikan kata pembuka berkenaan dengan ucapan terimakasi kepada Fr. Sifi yang sudah bersedia menyediakan materi diskusi dan juga ucapan terimakasih kepada seluruh peserta diskusi yang sempat hadir. “Harapannya, semoga dengan kegiatan diskusi ini wawasan dan pengetahuan peserta yang hadir bisa diperkaya serta dapat mengenal pemikiran Paus Yohanes Paulus II secara lebih mendalam”, tutur Fr. Anchik.
Dalam kata pengantar materinya, Fr. Sifi menerangkan bahwa ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (SRS) adalah ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam rangka memperingati 20 tahun ensiklik Populorum Progresio (PP) dari Paus Paulus VI dan ensiklik yang secara mendetail membicarakan dua tema yang paling substansial dalam hidup bersama yakni perdamaian dan solidaritas.
Mengenal Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (SRS)
Pada umumnya, ensiklik ini ditulis dengan bersandar pada dua konteks, jelas Fr. Sifi. Pertama, konteks luas, panggilan dan perutusan Gereja untuk terlibat membangun dunia sebagaimana digariskan dalam GS. Kedua, konteks khusus, tanggungjawab Gereja untuk mengawal dan memberi arah perkembangan atau pembangunan dunia sebagaimana diamanatkan oleh PP. Dalam konteks pertama Fr. Sifi mau menunjukkan betapa pentingnya keterlibatan gereja dalam persoalan-persoalan hidup manusia. Artinya, “Spirit keterlibatan Gereja dalam masalah aktual umat manusia merupakan tugas utama yang harus dijalankan oleh semua umat beriman agar dapat merasakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman ini sebagai pengalaman eksitensial kaum beriman juga.
Sedangkan dalam konteks kedua, Fr. Sifi menjelasakan secara mendetail tentangtanggungjawab Gereja dalam membangun dunia secara utuh. Dimana dengan berkaca pada ensiklik Populorum Progresio (PP) sebelumnya bahwa gereja harus memberi prioritas pada pembebasan manusia khususnya dari bencana kelaparan, kesengsaraan (miskin), penyakit dan kebodohan.
Dengan menerangkan dua konteks di atas, sebenarnya SRS menyentil persoalan-persoalan di dunia seperti kesenjangan antara negara kaya dan miskin disertai gaya hidup yang memamerkan kekayaan dari kelompok kaya. Di mana, sikap eksploitatif ditunjukkan secara terbuka oleh segelintir orang dan mengabaikan solidaritas dengan sesama dan bangsa lain. Fakta tersebut diperkuat oleh grafik egoisme sektoral manusia yang cenderung meningkat dan mentalitas pragmatis yang hanya mementingkan kepuasan sesaat. SRS berusaha membaca persoalan konkret tersebut dalam perspektif teologi dan menemukan bahwa dalam abad 20-21 gagasan tentang pembangunan masih berkutat seputar upaya mengembangkan kesejahteraan ekonomi semata. Karena itu, sasaran dari SRS adalah negara-negara yang memproduksi gagasan pembangunan macam itu yakni negara-negara maju di belahan bumi bagian utara dengan nada seruan “peduli solidaritas dan perdamaian dunia.”
Buah Kontekstualisasi SRS dalam Masyarakat Saat ini
Upaya menjangkarkan pesan SRS dalam konteks masyarakat saat ini menurut Fr. Sifi juga tidak terlepas dari realitas global yang tengah kita hadapi yakni menguatnya arus digital. Pada era ini, panorama solidaritas dan perdamaian sulit untuk dideteksi sekonkret mungkin. Dengan kata lain, hampir tampak secara kabur. Kita hanya menemukan secara kasat mata bahwa orang bisa berubah menjadi sangat egois, antisosial, dan individual. Penampakan ini tentu bukan suatu keniscayaan yang tidak menyimpan maksud lain di baliknya. Hanya saja kemampuan menilai apa pun yang tampak tentu saja sangat terbatas.
Gelombang ketidakpedulian, individualisme, materialisme, kerap menjadi daya yang menambah derasnya arus perubahan tersebut. Pesan solidaritas dengan segera dilawan dan diabaikan. Manusia yang ditengarai sebagai resources ternyata hanya merupakan konsep ekonomis yang mengantar manusia pada kerangka mekanisme pasar. Manusia dinilai sejauh ia dapat menghasilkan sesuatu, mendatangkan source dan sebagainya. Konsekuensinya adalah martabat manusia tidak lagi menjadi pertimbangan paling utama. Dalam literatur terkini, istilah resources ini mulai dihilangkan dan dipakai human development untuk menerangkan bahwa manusia perlu dikembangkan menuju masa depan, bukan malah dipakai sebagai instrumen kapital semata.
Masyarakat Risiko: Penanda Khas Modernitas
Risiko! itulah ciri yang melekat pada segala aktivitas masyarakat global saat ini, tegas Fr. Sifi. Namun, bagaimana kita memahami risiko itu? Bagaimana manusia modern saat ini bersama-sama menyelamatkan diri dari kapitalisme global tanpat takut menghadapi risiko yang ditimbulkannya? Mengutip Giddens, yang secara konsekuen menulis tentang situasi sosial masyarakat, istilah risiko ini adalah konsep khas modern. Pada abad pertengahan, konsep tersebut belum ada. Manusia percaya bahwa segala sesuatu “terjadi” menurut penyelenggaraan ilahi atau menurut kodrat. Pada abad modern, manusia bisa membuat sesuatu, juga sesuatu yang berbahaya atau berisiko. Jadi bahaya atau risiko itu tidak didatangkan dari alam untuk manusia tetapi merupakan akibat dari perbuatan manusia sendiri. Giddens menyebut risiko itu sebagai manufactured risk. Namun, apa persisnya risiko atau bahaya itu? Apakah keduanya sama?
Untuk menjernihkan istilah, Fr. Sifi mengambil pandangan Ulrich Beck dalam Kapitalisme tanpa Kerja (Ulrich Beck: 1996:20). Beck menjelaskan bahwa Risiko dan bahaya adalah dua istilah yang berbeda. Risiko adalah akibat yang dapat dikontrol, sedangkan bahaya adalah akibat yang tidak dapat dikontrol. Hindarilah bahaya, tapi jangan takut risiko. Inilah yang menjadi pegangan masayarakat risiko ini. Manusia harus dapat merombak dan menyesuaikan sesuatu yang dijumpainya sambil terus memperhitungkan risiko-risiko yang mungkin timbul akibat aktivitasnya. Karena itu, masyarakat modern dituntut untuk selalu kritis, maksudnya kita dapat mempertimbangkan apa benar atau tidak, cocok atau tidak, dapat diterapkan atau tidak segala aktivitas pasar atau finansial yang kian merebak ke mana-mana.
Sesi Tanya Jawab
Dalam sesi tanya jawab, Fr. Beni Koranso, mahasiswa pasca sarjana di STFK Ledalero mempersoalkan fenomena akumulasi modal yang marak terjadi di kalangan para imam. Inti pertanyaannya ialah bagaimana kita melihat fenomena ini dari sisi tilik solidaritas versi ensiklik SRS?
Menjawabi pertanyaan ini, Fr. Sifi menerangkan bahwa berbicara tentang uang khususnya dalam kalangan para imam sangat susah karena terkadang pengelolahannya tidak transparan. Namun, untuk menjelaskan hal ini, Fr. Sifi berangkat dari refleksinya tentang pembiayaan waktu sekolah di mana untuk mengenyam pendidikan sebelum menjadi imam kita mengeluarkan banyak uang sehingga kita berhak untuk mendapatkan uang yang umat kasih.
Menanggapi jawaban Fr. Sifi, Fr. Jean Jewadut menjelaskan betapa pentingnya keberpihakan dan sikap dialog gereja terhadap umat termasuk para pastor. Sehingga, Fr. Jean tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat Fr. Sifi sebagai pemateri. Menurut Fr. Jean ada aspek kerakusan dalam diri para imam seperti penyimpangan proposal, menindas umat dengan iuran-iuran, dll.
Lebih lanjut, Fr. Anno Susabun menerangkan bahwa realitas yang terjadi sekarang ini ialah realitas di mana relasi sosial diatur dan dipandu oleh uang. Jadi, Fr. Anno juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Fr. Sifi, karena sebelumnya kita lahir sebagai orang-orang yang mengaku diri sebagai orang miskin dan terpinggirkan dan berjuang keras untuk orang miskin, namun cita-cita kita bukan memperbaiki sistem tetapi justru melegitimasi sistem yang ada dengan bertingkah seperti seorang kapitalis.
Menanggapi pendapat dari ketiga frater di atas, Fr. Sifi menegaskan bahwa gereja yang ia maksudkan adalah gereja yang luas yakni gereja yang perlu bertobat sampai pada taraf yang transformatif dan juga gereja yang bisa memberdayakan umat. Karena menurut pendapat Fr. Sifi, munculnya fenomena ekonomisasi dalam kalangan umat justru disebabkan karena umat itu sendiri kurang diberdayakan secara tepat sesuai dengan kemampuan dan profesi mereka. Untuk mengatasi persoalan ini, Fr. Anno mengusulkan supaya gereja bisa memberi solusi dengan mengedepankan pembangunan yang berbasis komunitas.
Dengan adanya usulan alternatif-konstruktif dari Fr, Anno maka sesi diskusi pun berakhir. Dan sebelum menutup seluruh rangkaian diskusi, Fr. Anchik Sabar sekali lagi menyampaikan ucapan terimakasih kepada Fr. Aldo Foya dan Seluruh peserta diskusi yang telah terlibat aktif dalam diskusi tersebut.
(Fr. Fransiskus Sabar)
BAGIKAN
PROGRAM STUDI SARJANA FILSAFAT PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK PROGRAM STUDI SARJ0
Penerimaan mahasiswa baru IFTK Ledalero tahun akademik 2025/2026 Prodi Ilmu Filsafat (S1) Prodi Pend0
Pendaftaran Online Program Studi Sarjana Filsafat, PKK, DKV, Kewirausahaan, Sistem Informasi & Magis0
© Copyright 2025 by Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - Design By Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero