Dalam rangka menyukseskan program diskusi perdana periode 2019/2020, kelompok minat centro John Paul II mengadakan diskusi dengan tema yang sangat kontekstual yakni Ekonomi Politik Migrasi Internasional di Flores. Diskusi yang berlangsung pada hari Jumaat, 25 Oktober 2019 di Aula kecil St. Petrus Ritapiret ini dihadiri oleh sekitar 60 frater yang merupakan anggota tetap kolompok minat Centro John Paul II Ritapiret dan juga simpatisan yang berminat unuk mengikuti diskusi ini. Pemateri dalam diskusi ini adalah Emilianus Yakob Sese Tolo (Emil), peneliti dan dosen di STFK Ledalero dan dimoderatori oleh Fr. Anchik Sabar, calon imam keuskupan Ruteng, mahasiswa semester V STFK Ledalero, Maumere.
Pada kata sabutan awal, Fr. Boy Doreng, selaku ketua seksi Akademik kelompok minat Centro John Paul II Ritapiret, menyampaikan ucapan terimakasih kepada Emil karena sudah hadir dan memenuhi undangan kelompok Centro John Paul II Ritapiret untuk menjadi narasumber utama. Fr. Boy juga mengucapkan terimakasi atas partisipasi para frater Ritapiret yang mengikuti diskusi tersebut.
“Semoga kegiatan diskusi kali ini dapat memberikan pandangan baru tentang persoalan migrasi internasional di Flores, yang merupakan persoalan krusial yang sedang dihadapi oleh gereja lokal di Flores hari ini. Sebagai agen pastoral di masa depan, para frater Ritapiret perlu memahami persoalan migrasi internasional di Flores hari ini. Diskusi publik hari ini sangat bermanfaat bagi karya pastoral para frater Ritapiret yang akan menjadi imam atau awam yang hadal di masa depan di Flores,” demikian Fr. Boy membuka diskusi publik ini.
Mengapa Migrasi Internasional?
Dalam kata pembuka Fr. Anchik Sabar selaku moderator mengatakan bahwa diskursus seputar migrasi internasional dalam kajian ilmiah-akademis kita masih berkutat pada pendekatan dualistik dan neo-klasik, padahal masih ada pendekatan yang lebih kompleks dan kontekstual, yang salah satunya adalah pendekatan Marxis seperti yang akan ditawarkan Emil pada diskusi publik hari ini.
Apa yang menyebabkan dia mengangkat tema tentang Migrasi Internasional di Flores? “Yang membuat saya tertarik dengan tema ini adalah karena setiap kali saya membaca berita di surat kabar, saya selalu temukan berita-berita seputar kekerasan yang dilakukan majikan kepada pekerja, perdagangan organ, dan juga kematian yang menimpa tenaga kerja ini,” demikian tandas Emil.
Dalam diskusi ini, Emil memaparkan data-data mutakhir bahwa dari total 200.000 migran NTT yang dikirim ke luar negeri setiap tahun, sepertiganya berstatus migran ilegal. Fakta ini kini telah mengundang perhatian para peneliti, seperti A. T. Eki, R. Tirtosudarmo dan G. Hugo, yang melakukan studi tentang persoalan migrasi di Flores Timur. Berdasarkan studi-studi ini, mereka pada umumnya berkesimpulan bahwa orang Flores bermigrasi karena dua alasan utama, alasan pembangunan yang tidak merata, dan perbedaan gaji antara satu daerah dengan daerah lain. Tetapi kedua alasan ini, yang merupakan bagian dari pendekatan dualistik dan neo-klasik dalam memahami migrasi internasional, tidak bisa menjelaskan proses dan mekanisme yang berkaitan dengan relasi produksi di dalam suatu masyarakat yang menyebabkan orang itu mengambil keputusan bermigrasi.
“Atas dasar inilah, saya membuat penelitian dengan perspektif ekonomi politik Marxis, yang menyoroti aspek proses dan mekanisme yang berkaitankan dengan relasi produksi yang mendorong seseorang untuk terlibat dalam migrasi internasional”, kata Emil.
Jadi, berdasarkan perspektif ekonomi politik Marxis, orang bermigrasi bukan karena perbedaan pembangunan antara satu daerah dengan daerah yang lain, antara Malaysia dan Indonesia misalnya, atau karena gaji di Malaysia lebih tinggi dibandingkan dengan gaji di Indonesia, khususnya di Flores. Tetapi, yang menjadi alasan seseorang bermigrasi adalah karena adanya penetrasi kapitalisme di suatu daerah yang menyebabkan terjadinya perubahan relasi sosial produksi yang melahirkan diferensiasi kelas di antara para petani di pedesaan di Flores.
“Oleh karena itu, yang bermigrasi, seperti yang ditunjukkan dalam riset saya, tidak semua petani, tapi hanya petani-petani yang menjadi korban dari penetrasi kapitalisme dan juga feodalisme yang masih bercokol di beberapa daerah, yakni petani semi-proletar dan proletar,” demikian tukas Emil.
Selain menjelaskan penyebab-penyebab migrasi internasional di atas, Emil juga menejelaskan bahwa perubahan agraria di Flores juga secara langsung mempengaruhi tingkat migrasi masyarakat Flores.
“Berdasarkan perspektif analisis Marxis, “kita harus terlebih dahulu mengemukakan posisi kelas di dalam suatu masyarakat, dalam hal ini adalah masyarakat petani”, tegas Emil.
Berkaitan dengan ini, menurut Emil, ada beberapa anggapan yang berhubugan dengan bagaimana cara menjelaskan posisi kelas masyarakat pertanian. Pertama, menurut anggapan kaum neo-populis, masyarakat pertanian adalah masyarakat yang memiliki kelas yang homogen. Karena itu, kapitalisme tidak bisa berpenetrasi terhadap kehidupan atau struktur sosial masyarakat pertanian atau pedesaan ini. Apalagi, struktur ekonomi pendesaan itu disusun berdasarkan ekonomi keluarga. Kedua, menurut pandangan kaum neo-klasik, sistem relasi sosial produksi di pedesaan bersifat statis di tengah penetrasi kapitalisme. Karena itu, perubahan agraria di pedesaan, menurut kaum neo-klasik, terjadi akibat pertumbuhan peduduk semata. Jadi, ketika jumlah penduduknya makin banyak, maka tanah-tanah di pedesaan itu tidak cukup untuk semua orang. Pandangan seperti ini, menurut Emil, di anut oleh beberapa akademisi yang telah disebutkan di muka.
“Penjelasan dari para akademisi ini, berdasarkan riset saya di Flores, tidaklah benar”, protes Emil.
Mbay Sebagai Lokasi Penelitian
Berdasarkan risetnya, yang dilakukan di Mbay, para petani sawah terdiferensiasi ke dalam kelas-kelas yang berbeda. Ada kelas petani kapitas, petani peti-borjuasi, semi-proletar, dan proletar.
“Pertama, petani kapitalis. Berdasarkan perspektif Marxis, petani kapitalis adalah petani yang yang memiliki lahan sawah seluas 2-6 hektar dan, karena itu, sepanjang tahun menyewakan buruh untuk mengerjakan sawah atau ladangnya. Kedua, petani peti-borjuasi. Petani peti-borjuasi adalah petani yang memiliki tanah 1-2 hektar, yang mengerjakan sawahnya sendiri dan menyewa buruh hanya di saat musim tanam atau panen. ketiga, petani semi-proletar, yang memiliki tanah sawah sekitar 0,25-0,5 hektar. luas sawah yang sempit ini, mereka harus menjual tenaganya pada petani kapitalis dan peti-borjuasi. Yang terakhir adalah petani proletar. Petani proletar adalah mereka yang tidak memiliki tanah sama sekali dan, karena itu, bekerja sebagai buruh sepanjang tahun,” demikian Emil menjelaskan beberapa jenis-jenis kelas petani di persawahan Mbay berdasarkan perspektif ekonomi politik Marxis.
Dari diferensiasi kelas petani di atas, muncul pertanyaan bahwa apa kaitannya dengan migrasi Internasional di Flores? Berdasarkan riset yang dilakukan Emil,1960-an wilayah di Flores, khususnya Mbay, Flores masih merupakan wilayah, yang diduduki oleh masyarakat tradisional yang feodal. Jadi, dalam masyarakat feodal hampir tidak ada migrasi (internasional) keluar dari desa, sebab orang-orang yang menjadi petani dan bekerja pada tuan feodal itu berpotensi kehilangan tanahnya jika terlibat dalam migrasi (internasional) karena tuan feodal akan mengambil tanah para petani bersangkutan, yang merupakan bagian dari tanah suku.
Menurut Emil, dengan demikian, dia tidak menemukan migrasi, baik lokal maupun internasional, pada masa feodal di Flores”. Migrasi internasional justru terjadi pada masa semi feodal (1980-1990) di Mbay. Dalam konteks ini, masa semi feodal adalah masa di mana feodalisme hidup berdampingan dengan kapitalisme. Di Mbay, misalnya, semi feodal itu terjadi karena reforma agraria yang dilakukan sejak tahun 1960an hingga 1980-an.Dengan adanya reforma agraria, yang menandakan lahirnya masyarakat semi feodal di Mbay, migrasi internasional di Mbay justru meningkat, khusunya bermigrasi ke Malaysia. Mereka yang bermigrasi ke Malaysia adalah petani peti-borjuasi, petani semi-proletar dan proletar. Hal ini disebabkan karena para petani ini tidak memiliki akses terhadap teknologi pertanian untuk mengolah sawah mereka, yang mereka peroleh dari reforma agrarian itu. Pada masa semi-feudal ini, karena itu, migrasi internasional di Mbay mencapai puncaknya. Tetapi, dari 1990-2018, migrasi internasional di Mbay malah turun drastis. Hal ini disebabkan karena penetrasi kapitalisme yang menyediakan alat teknologi yang cangih, yang memudahkan petani kapitalis, peti-borjuasi dan semi-proletar untuk mengolah sawahnya. Dengan demikian, para petani yang sebelumnya memiliki tanah 0,5-2 hektar yang bermigrasi, memilih tinggal di Mbay untuk mengolah sawahnya melalui kemudahan mekanisasi pertanian yang ditawarkan teknologi modern dalam jaman kapitalisme. Namun, Emil memprediksikan bahwa migrasi internasional akan meningkat lagi di Mbay dan mungkin akan melampaui level semi-feodal akibat penetrasi kapitalisme yang semakin kuat hari ini di Mbay, yang menyebabkan terkonsentrasinya kapital, seperti tanah dan modal, pada segelintir petani saja.
Dari penjelasan di atas, Emil, sebenarnya mau membantah sekaligus mendukung tesis Marxis yang mengatakan bahwa penetrasi kapitalis dapat meningkatkan gelombang migrasi internasional. Namun, berdasarkan temuan Emil, migrasi internasional justru turun ketika terjadi penetrasi kapitalisme awal. Namun, Emil tetap memprediksikan migrasi internasional akan meningkat pada masa perkembangan kapitalisme lanjut yang hari ini semakin meningkat di masyarakat petani sawah di Mbay.
Sesi Diskusi
Dalam sesi diskusi, salah satu pertanyaan penting dari peserta diskusi adalah: apakah pertanian yang dimaksudkan adalah pertanian tradisional yang berkembang menjadi modern? dan/atau memang sudah sejak awal petani di Mbay terdiferensiasi dalam kelas-kelas yang berbeda? Menjawabi pertanyaan ini, Emil menjelaskan bahwa perbedaan antara model pertanian di Manggarai dan Mbay disebabkan intensitas paparan kapitalisme yang berbeda. Menurut Emil, wilayah Manggarai adalah suatu tempat di Flores yang mana kapitalisme lebih berkembang akibat kolonialisme Belanda di awal abad 20 dan, karena itu, sistem kepemilikan privat tanah lebih cepat berkembang di Manggarai daripada di tempat lain di Flores.Sementara itu, di tempat lain di Flores, seperti di Mbay misalnya, kepemilikan privat tanah berkembang terlambat dan tanah masih sering diklaim sebagai tanah kolektif walau telah dibagikan secara individual. Dengan demikian, setiap orang tidak seenaknya menjual tanah di Mbay, tetapi harus terlebih dahulu mendapat persetujuan oleh tua adat atau Mosalaki. Diferensiasi pertanian di Mbay disebabkan oleh reforma agraria, yang kemudian diikuti oleh kapitalisme. Namun, diferensiasi pertanian di Mbay ini juga ditentukan dan dipengaruhi oleh sistem kelas tradisional Mbay, yang membagi masyarakat dalam tiga kelas berbeda, yakni kelas mosalaki, orang biasa, dan hamba (ho’o). Mosalaki memiliki kecenderungan untuk menjadi petani kapitalis akibat dari akumulasi primitif yang telah dilakukannya di masa feodalisme.
Mengapa masyarakat Mbay migrasi internasional dan bukannya migrasi lokal? Emil menegaskan bahwa dia menggunakan teori network di samping teori ekonomi politik Marxis untuk menjelaskan migrasi internasional di Mbay.
“Jadi marxisme itu sendiri tidak bisa menjelaskan kenapa orang harus bermigrasi keluar negeri, mengapa tidak ke Jawa, Kalimantan dan Papua. Karena itu, saya menggunakan teori network yang mana, teori ini berperan dalam membantu menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan oleh marxisme. Dengan teori network,saya menemukan bahwa orang pertama di Mbay yang melakukan migrasi ke Malaysia adalah pendatang dari Flores Timur, yang datang Mbay untuk membangun bendungan Sutami. Mereka akhirnya menetap di Mbay dan tidak mendapat tanah dari program reforma agrarian yang sudah saya singgung di muka. Mereka-mereka inilah yang melakukan migrasi ke Malaysia. Mengapa demikian? Karena sejak tahun 1950-an, orang Flores Timur itu sudah bermigrasi menggunakan kapal pribadi ke Malaysia. Bahkan, sejak masa kolonialisme, orang Flores Timur bermigrasi ke beberapa negara di Asia akibat dari kolonialisme yang mengekspor tenaga kerja dari Indonesia, termasuk Flores Timur, untuk bekerja di perusahaan dan perkebunan miliki Belanda dan Jepang di luar negeri. Mereka-mereka inilah yang membuka jaringan untuk orang Flores bermigrasi ke Malaysia, termasuk orang Flores Timur di Mbay. Orang-orang Flores Timur di Mbay ini akhirnya membuka jaringan migrasi ke Malaysia bagi orang-orang Mbay yang lain di kemudian hari,” demikian jelas Emil dengan penuh semangat.
Penulis berita: Anchik Sabar
BAGIKAN
PROGRAM STUDI SARJANA FILSAFAT PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK PROGRAM STUDI SARJ0
Penerimaan mahasiswa baru IFTK Ledalero tahun akademik 2025/2026 Prodi Ilmu Filsafat (S1) Prodi Pend0
Pendaftaran Online Program Studi Sarjana Filsafat, PKK, DKV, Kewirausahaan, Sistem Informasi & Magis0
© Copyright 2025 by Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - Design By Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero