(Ket. Foto: Para peserta kegiatan pose bersama di pendopo Wisma Yosef Freinademetz Ledalero usai kegiatan)
Komunitas KAHE mengadakan program “Cerita-cerita Keberagaman di Maumere” selama tahun 2023 ini. “Kita punya program cerita-cerita keberagaman di Maumere selama satu tahun ke depan. Program ini sudah dimulai sejak November tahun lalu dan akan berlangsung sampai Agustus tahun ini,” kata Gee Mario selaku koordinator komunitas KAHE dalam acara “Cerita-Cerita Keberagaman di Maumere” di pendopo Unit St. Yosef Freinademetz, Sabtu (28/01/2023).
Dalam menjalankan program besar tersebut, KAHE mengajak beberapa komunitas yang ada di Maumere termasuk BEM IFTK Ledalero untuk bergabung. Kegiatan yang dilangsungkan di Unit Yosef tersebut dikoordinasi oleh BEM IFTK Ledalero. Kegiatannya berlangsung dalam bentuk sharing pengalaman dari para anggota dari setiap komunitas yang hadir.
Adapun komunitas yang hadir selain KAHE dan BEM IFTK Ledalero, yakni perwakilan dari teater Tanya Ritapiret, teater Dala Muhammadiyah Maumere, perwakilan dari UNIPA, komunitas Perwakas (Persatuan Waria Kabupaten Sikka), Kampus Ministry IFTK Ledalero, dan teater Aletheia Ledalero.
Dalam sambutannya, Gee mengatakan, “tujuan kami datang ke sini untuk mendengar cerita dari teman-teman frater dan pater, bagaimana cara pandang kalian dan karya misi kalian berkaitan dengan konteks keberagaman”.
Selain itu, Gee juga menjelaskan secara garis besar kerja komunitas KAHE terkait dengan program tersebut. “Komunitas ini akan melakukan empat kali pertemuan. Tujuan dari setiap pertemuan itu untuk bincang bersama serta mendengarkan cerita dari teman-teman yang akan kami kunjungi terkait dengan kegiatan mereka setiap hari dan keterlibatan mereka dalam kehidupan sosial,” ungkapnya.
Ia mensharingkan pengalaman komunitas KAHE ketika berkunjung ke kampung Wuring beberapa minggu sebelumnya. Di sana mereka membersihkan kampung Wuring lalu mengunjungi rumah Wahida (salah satu anggota Perwakas). Diceritakan bahwa Wahida berkarya dalam bidang Posyandu di kampung Wuring. “Waktu cerita di Wuring, ada begitu banyak cerita baik dari mereka (Perwakas) yang tidak diketahui banyak orang,” ungkap Ge.
Cerita-cerita keberagaman di Maumere adalah sebuah program yang diinisiasi oleh komunitas KAHE Maumere, berangkat dari perjumpaan dengan masyarakat kampung Wuring pada tahun 2020-2021. Komunitas KAHE menamai program perjumpaan tersebut “Voicing and Bugis People in Maumere”. Program tersebut telah berhasil mempertemukan warga dan mendokumentasikan ragam isu, modal, potensi budaya di kampung Wuring. Kemudian program tersebut dipresentasikan dalam bentuk festival warga yang berlangsung di kampung Wuring.
Proyek “Cerita-Cerita Keberagaman di Maumere” merupakan sebuah program lanjutan dari kegiatan perjumpaan dengan masyarakat kampung Wuring. Lantas program tersebut menjadi program intensif untuk menciptakan artistic encounter antar warga, khususnya pemuda, kelompok LGBT, serta masyarakat dari ragam budaya dan agama.
Tujuan dari proyek ini adalah untuk menciptakan ruang yang aman bagi warga untuk mengekspresikan diri mereka secara bebas dan jujur; menyuarakan kisah-kisah perbedaan dan keberagaman dari perspektif periferal (bukan dari narasi besar); serta upaya sosialisasi pengetahuan tentang isu perbedaan dan keragaman kepada generasi muda yang terkait erat dengan pendidikan formal dan institusi pemerintah.
Terkait dengan kegiatan yang berlangsung di Unit Yosef, kegiatan itu merupakan kelanjutan dari proyek besar tersebut. Kegiatan yang bernuansa santai itu menghabiskan waktu kurang lebih empat jam. Dalam kegiatan tersebut hadir juga Pater Ve Nahak, SVD dan Pater Roland, SVD.
Dalam sharingnya, Pater Ve menceritakan pengalamannya bekerja sebagai aktivis ODHA sekitar 10 tahun lalu. Dalam sharingnya, aktivis ODHA tersebut menggunakan pendekatan teks Kitab Suci dari Injil Luk. 10:1-12. Dari kisah tersebut, Pater Ve menekankan pentingnya menanggalkan ego ketika berkontak dengan budaya lain.
“Ada berbagai perintah larangan dalam misi perutusan Yesus, tapi ada satu perintah ‘makanlah apa yang orang hidangkan padamu’. Bermisi itu pertama-tama tentang ‘makan makanan yang berbeda’. Kalau kita mau kontak dengan budaya lain kita butuh meninggalkan ego kita, itu suatu bentuk pertobatan. Perintah Yesus ‘makan makanan yang dihidangkan padamu’ itu harus kita pahami lebih jauh, sebagai suatu bentuk pertobatan,” katanya. Ia menambahkan, kita tidak bisa datang dari suatu posisi superior kita untuk tobatkan orang apalagi menjadikan mereka (dalam hal ini ODHA) sebagai objek tontonan.
(Ket. Foto: Pater Ve Nahak, SVD ketika mensharingkan kepada peserta terkait pengalaman perjumpaannya dengan kelompok ODHA di Maumere)
Terkait dengan para ODHA sendiri, ada perkembangan positif dalam diri mereka. Ada yang sudah mulai sembuh dan menjalankan rutinitas seperti biasa. “Ada beberapa yang berkeluarga, dan ketika dicek istri atau anak mereka itu tidak terinfeksi,” kata dosen teologi tersebut. Dia juga mengajak supaya orang mesti beralih dan membaca situasi dari kaca mata mereka. “Lebih bagus lagi kalau jadi co-commitment dengan mereka (para ODHA),” ungkapnya.
Selain Pater Ve, Mona, perwakilan Perwakas, mensharingkan pengalamannya bersama Perwakas sejak didirikannya komunitas itu tahun 1998 sampai sekarang. Ia menceritakan perjuangan komunitas tersebut sampai diterima di tengah lingkungan masyarakat.
“Kami selalu turun ke masyarakat supaya diterima dan berusaha hilangkan segala prasangka negatif. Perwakas juga memiliki potensi-potensi baik,” tukasnya. Kemudian sharing dari Yolanda mengemukakan bagaimana anggapan masyarakat terhadap mereka (waria) selama ini.
(Ket. Foto: Mona, perwakilan Perwakas, ketika menyampaikan pengalaman pribadi dan kelompoknya selama ini)
“Selama ini kami dianggap hanya bekerja di salon saja, padahal kami punya banyak karya. Ada yang menjadi guru, petani, kerja di pemerintahan, nelayan, dan menjadi koster di Gereja. Makin ke sini label yang dulu itu mulai berubah, tidak lagi dianggap menakutkan, dulu hanya mendengar, tapi sekarang sudah agak baik melalui sharing dan sosialisasi,” ungkap Yolanda.
Sampai sekarang, tambahnya, ada beberapa teman yang tidak menerima diri. “Lalu kami mulai sering berjumpa dan berdialog satu sama lain supaya masing-masing kami bisa menerima diri apa adanya. Dan sekarang kami bisa menjalankan hidup sebagaimana biasanya,” katanya.
Sebagai perwakilan dari BEM Ledalero, Paul Tukan menyampaikan, “kita tentu berterima kasih kepada Komunitas KAHE telah mengangkat tema ini dalam ranah akademis, supaya apa yang mengendap di alam bawah sadar itu kita angkat sehingga apa yang dangkal bisa dibereskan, selain membina keakraban intelektual, tapi juga keakraban psikologis”.*
*Fonsi Orlando*
BAGIKAN
PROGRAM STUDI SARJANA FILSAFAT PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK PROGRAM STUDI SARJ0
Penerimaan mahasiswa baru IFTK Ledalero tahun akademik 2025/2026 Prodi Ilmu Filsafat (S1) Prodi Pend0
Pendaftaran Online Program Studi Sarjana Filsafat, PKK, DKV, Kewirausahaan, Sistem Informasi & Magis0
© Copyright 2025 by Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - Design By Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero