•  Beranda  /
  •  Public  /
  •  DR. LEO KLEDEN MEMBAWAKAN SEMINAR HERMENEUTIKA KITAB SUCI DI STFK LEDALERO

DR. LEO KLEDEN MEMBAWAKAN SEMINAR HERMENEUTIKA KITAB SUCI DI STFK LEDALERO

img

Dr. Leo Kleden dan Dr. Felix Baghi dalam kegiatan seminar Hermeneutika Kitab Suci di Ruangan Klemens STFK Ledalero, Maumere, Sabtu (5/9/2020). Foto: Dokumentasi SEMA.

 

            Bertempat di Ruang Klemens Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Dr. Leo Kleden membawakan Seminar Hermeneutika Kitab Suci, Sabtu (5/9/2020). Seminar dengan judul “Wahyu Alkitabiah dalam Tinjauan Hermeneutika Ricoeur” ini diikuti oleh para Dosen, Mahasiwa/i pascasarjana dan juga pengurus Senat Mahasiswa STFK Ledalero. Seminar ini juga disiarkan secara langsung (live streaming) melalui channelyoutube Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero sehingga ada juga partisipan yang mengikuti seminar tersebut melalui live streaming.

Dr. Felix Baghi dipercayakan sebagai moderator dalam kegiatan tersebut. Pada bagian pembuka, ia  menjelaskan bahwa metode hermeneutika sudah sering digunakan orang dalam menafsir berbagai teks-teks biasa. Namun, menurutnya yang masih menjadi persoalan adalah metode penafsiran ini diterapkan dalam teks-teks suci. Oleh karena itu, penjelasan Dr. Leo Kleden akan membantu para pendengarnya.

SEMINAR HERMENEUTIKA 2020 4Mengawali ulasannya, Dr. Leo Kleden mengatakan bahwa ini adalah untuk kali pertama setelah 20 tahun, ia boleh memberikan lagi seminar tentang hermeneutika Kitab Suci di STFK Ledalero. Hermeneutikanya didasarkan pada seorang filsuf Prancis, Paul Ricoeur yang memahami dunia kehidupan dalam tiga rangkaian peristiwa, prefigurasi atau dunia kehidupan yang secara alamiah dialami oleh manusia, konfigurasi atau peristiwa-peristiwa kehidupan yang telah diolah dan menjadi teks, dan konfigurasi atau pencerahan lebih lanjut terhadap subjek oleh dunia konfigurasi.

            Lebih lanjut Dr. Leo Kleden menjelaskan bahwa hermeneutika tidak terlepas dari teks. Sebab manusia mengalami pengalaman dan mengungkapkannya dalam bentuk tulisan atau bahasa. Ia memahami teks dalam tiga arti yaitu wacana, karya, dan pemantapan yang kemudian menjadi satu kesatuan aktivitas. Teks itu dimulai dengan wacana. Dalam wacana itu ada dialektika. Melalui dialektika, wacana dapat menjadi sebuah karya dalam bentuk teks yang dimantapkan. Pemantapan itu dapat juga berbentuk audiovisual.

            Sebagai sebuah karya wacana yang dimantapkan juga, teks tidak terlepas dari genre literer dan gaya bahasa yang dipakai, serta konteks sosial sebuah masyarakat. Unsur-unsur ini menjadi penting dalam memahami sebuah teks.

 

Bahasa, Kitab Suci dan Wahyu diri Allah

            Ada tiga hal penting yang berkaitan dengan bahasa. Pertama, bahasa sehari-hari. Ia menyebutkan bahwa bahasa sehari-hari disebut juga sebagai polisemireduction. Hal ini mau menegaskan bahwa bahasa sehari-hari membuat setiap orang bisa saling memahami. Selain itu, yang kedua ialah strtegi bahasa ilmiah. Dengan kosa kata yang terbatas, manusia bisa mengungkapkan pengalamannya secara tidak terbatas. Ketiga, bahasa puitis. Dalam bahasa puitis, polisemi sangat ditekankan. Misalnya, dalam bahasa ilmiah, “jamak” berarti rancu tetapi dalam bahasa puitis, “jamak” berarti kekayaan makna.  

Genre Literer dalam Kitab Suci danWahyu Diri Allah

            Ada lima genre literer dalam Kitab Suci, yaitu, kisah, kenabian, hukum, sastra kebijaksanaan dan madah.

            Genre kisah sangat dominan dalam Pentateukh, Injil Sinoptik dan Kisah Para Rasul. Manusia hanya bisa memahami dirinya dalam rajutan kisah. Itu berarti identitas manusia sebenarnya adalah identitas naratif. Hal ini juga ada kaitan dengan Tuhan sendiri. Dalam kisah Kitab Suci, Tuhan Allah adalah pembebas yang membawa kebebasan dan kemerdekaan bagi umat-Nya yang berada dalam tekanan. Contohnya, peristiwa eksodus Umat Israel. Kepekaan untuk melihat Allah yang luar biasa dalam peristiwa hidup yang biasa ialah semacam kepekaan puitis.

SEMINAR HERMENEUTIKA 2020 5Wacana Kenabian Nabi selalu dihubungkan dengan konteks sosio-historis bangsa Israel. Nabi adalah orang yang setia yang siap untuk melaksanakan karya Allah bagi umatNya. Juga ia menjelaskan tentang Wacana Perintah atau Hukum yang selalu berkaitan dengan perintah dalam Kitab Suci yaitu kisah pembebasan. Contohnya ialah hukum sepuluh perintah Allah. Artinya, etika biblis adalah etika pembebasan. Perintah-perintah tersebut terus-menerus ditafsir kembali melalui Yesaya, Yeremia, Yehezkiel dan seterusnya hingga Yesus Kristus.

Sedangkan pada bagian berikutnya, ia menjelaskan bahwa secara umum sastra Kebijaksanaan mengajarkan seni hidup yang benar dalam rangka mengahadapi masalah-masalah besar seperti penderitaan, kematian dan sebagainya. Awal Kebijaksanaa adalah takut akan Tuhan. Puncak kebijaksanaan adalah juga takut akan Tuhan.

            Pada bagian terakhir, ia menjelaskan tentang genre madah. Mazmur dan doa-doa lainnya yang berisi doa syukur dan permohonan kepada Tuhan adalah contoh-contoh genre madah. Dalam genre madah, kita menemukan cara kita memuji, bersyukur dan permohonan kepada Tuhan. Dalam bentuk madah, biasanya Tuhan disapa dengan ‘ÉNGKAU’.

 

Sesi Diskusi

            Sebelum menutup kegiatan seminar tersebut, moderator, Dr. Felix Baghi membuka ruang bagi para hadirin untuk mengajukan pertanyaan guna pendalaman lebih lanjut. Pater Fredy Sebho, SVD sebagai penanya pertama meminta pejelasan lebih detail tentang teks naratif dalam Kitab Suci. Menurutnya, setiap Penginjil memiliki kebebasan untuk membagikan isi pesannya. Ia menekankan tiga hal penting yaitu translasi, transposisi, dan transformasi.

            Menjawab pertanyaan tersebut, Dr. Leo Kleden menegaskan, setiap orang memiliki kemampuan masing-masing untuk membaca sebuah teks. “Kalau kita membaca sebuah teks, kita memahami sesuai dengan kemampuan kita untuk memahaminya. Setiap penafsiran memiliki kebebasan dan kemampuan masing-masing untuk membaca dan memahami teks,” ujar Pater Leo.

            Selanjutnya, pertanyaan kedua datang dari Dosen Bahasa Indonesia STFK Ledalero, Yohanes Orong. Ia mempertanyakan tentang hubungan antara hermeneutika dan sastra juga unsur terkecil dalam wacana menurut Ricoeur. “Apakah hermeneutika itu hanya ada dan bisa dipahami dalam hubungan dengan sastra? Kata itu adalah unsur terkecil dari wacana, bukan kalimat. Hal ini harus bisa dicek lagi. Apakah ketika Ricoeur tidak menganggap kata sebagai unsur terkecil, apakah masih layak untuk menafsir Kitab Suci?” Dr. Leo Kleden menjawab, “Tuhan tidak bisa dipegang sebagai benda. Tentang kata, Ricoeur bilang kata memiliki konteks dan arti tertentu. Kata itu bisa memiliki makna ketika masuk ke dalam sebuah wacana. Dan unsur terkecil dari wacana adalah kalimat.” 

            Sedangkan Pater Sil Ule meminta penjelasan dari pemateri tentang penafsiran yang berbeda-beda pada teks Kitab Suci oleh setiap penafsir. “Apakah Pater bisa jelaskan secara baik, mana yang bisa kita sebut ortodoks atau mana yang kurang benar?”, tanya Sil Ule. Pertanyaan ini dijawab dengan sangat detail oleh Pemateri. “Tafsiran yang bermutu adalah tafsiran yang memuat hal-hal penting soal isi teks yang ada. Dalam menafsir, orang harus mengambil segala macam pertimbangan untuk bisa memperoleh substansi persoalan yang sesungguhnya”, jawab Pater Leo.

SEMINAR HERMENEUTIKA 2020 2Selain beberapa pertanyaan tersebut, ada juga beberapa pertanyaan lainnya datang dari beberapa Dosen STFK Ledalero. Pertanyaan mereka seputar hermeneutika Kitab Suci. Salah satunya Dr. Otto Gusti N. Madung, Ketua Sekolah STFK Ledalero. Pater Otto, demikian sapaannya, meminta pemateri untuk menjelaskan otoritas tafsiran terbaik dan bermutu. Ia mencontohkan pewartaan Nabi Yeremia dalam Kitab Suci adalah sangat sempurna. Namun, ketika masuk pada konteks kekinian, ada banyak sekali persoalan yang berkaitan dengan pewartaan itu. Misalnya, di AS ada banyak para pemikir yang menggunakan cara berpikir untuk misi-misi lain. “Kita bisa dengan bebas memberi interpretasi pada setiap konflik yang ada di mana saja. Kita selalu akan terlibat di dalam konteks dan konflik. Dan dalam konflik itu kita harus berani menentukan sikap yang benar”, demikian jawaban Pater Leo.

            Usai sesi diskusi, kegiatan seminar tersebutpun berakhir. Moderator, Dr. Felix Baghi menegaskan bahwa setiap pemantapan adalah apa yang belum mantap. Kalimat dari moderator tersebut sekaligus sebagai suara penutup kegiatan seminar.

 (Ius Laka dan Rian Odel).

 

 

BAGIKAN