Program Studi Filsafat IFTK Ledalero kembali menyelenggarakan kegiatan seminar. Seminar kali ini bertema “Pancasila Sebagai Ideologi dan Utopia dalam Tinjauan Hermeneutika Ricoeur” berlangsung di Auditorium St. Thomas Aquinas IFTK Ledalero, pada Sabtu (29/4).
Pemateri dalam seminar ini adalah Dr. Leo Kleden yang juga merupakan dosen Filsafat Hermeneutika dan Filsafat Manusia di IFTK Ledalero. Antonius Mbukut, S.Fil., M.Th., yang juga merupakan dosen di IFTK Ledalero menjadi moderator dalam memandu jalannya seminar.
Selain diikuti secara offline, seminar ini juga disiarkan secara live streaming. Peserta yang mengikuti diskusi filsafat ini terdiri dari para dosen IFTK Ledalero, mahasiswa program studi filsafat, serta beberapa peserta yang mengikuti acara secara online.
Pada bagian awal, moderator membagi acara menjadi dua sesi penting yaitu pemaparan materi dan diskusi. Pada pengantar materi, Pater Leo mengatakan bahwa "Pancasila adalah salah satu warisan berharga yang kita terima dari Bung Karno dan para pendiri republik ini yang telah menjadi dasar negara Republik Indonesia."
“Bung Karno juga menyatakan sendiri bahwa Pancasila bukanlah hasil karangannya sendiri, melainkan mutiara yang digalinya dari rahim bumi Indonesia, dari lubuk sejarah dan pengalaman hidup masyarakat Indonesia,” lanjutnya.
Dalam penjelasan materinya, Pater menguraikan tiga bagian penting. Pada bagian pertama, Pater memberikan gambaran singkat tentang Hermeneutika Ricoeur. Di sini, Pater menjelaskan sumbangan terpenting Ricoeur dalam perkembangan Hermeneutika yaitu gagasannya tentang otonomi semantis sebuah teks dan teorinya tentang mimesis.
Pada bagian kedua, Pater menjelaskan tentang Pancasila sebagai Ideologi dan Utopia. Ricoeur memandang bahwa sebuah ideologi memiliki tiga fungsi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yaitu integrasi sosial, legitimasi kekuasaan, dan distorsi sosial. Sementara itu, Utopia merujuk pada cita-cita luhur yang dapat direalisasikan, seperti yang dijelaskan oleh beberapa pemikir modern seperti Karl Manhein, Sain-Simon, dan Charles Fourier.
Pada bagian ketiga, Pater mencoba menghubungkan antara Ideologi dan Utopia. Menurut Pater Leo, Ideologi dan Utopia adalah dua sisi dari imajinasi sosial yang membentuk identitas bangsa sebagai naratif identitas, yang terkait dengan tegangan antara apa yang telah dicapai dengan kemungkinan baru yang harus dicapai. Ideologi berfungsi untuk mempertahankan identitas yang sudah ada, sedangkan Utopia selalu membuka kemungkinan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik.
Di akhir pemaparannya, Pater Leo menegaskan bahwa "Indonesia yang didasarkan pada Pancasila adalah apa yang sudah dicapai dan sekaligus apa yang harus terus diperjuangkan."
Setelah itu, moderator membuka sesi diskusi. Selama sesi diskusi, ada beberapa pertanyaan dari audiens. Pertanyaan pertama diajukan oleh Romo Rus Sina, seorang dosen di program studi Filsafat IFTK Ledalero. Romo Rus Sina bertanya tentang hubungan antara Hak Asasi Manusia dan Sila pertama Pancasila, yaitu "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Romo Rus Sina menyatakan bahwa konsep kebebasan dalam negara demokratis bertentangan dengan Sila pertama Pancasila. Hal ini karena Sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" memaksa setiap individu untuk beragama. Oleh karena itu, orang-orang yang tidak beragama tidak diberikan akses yang sama.
Di sisi lain, dalam konsep kebebasan sebagai negara demokratis, setiap orang diberikan kesempatan yang sama, baik mereka beragama atau tidak. Oleh karena itu, rumusan Pancasila, terutama Sila pertama, perlu diubah.
Menanggapi pernyataan Romo Rus, Pater Leo memberikan dua catatan kritis. Pertama, bahwa ketika Bung Karno merumuskan Pancasila, ia melihat bahwa nenek moyang kita percaya pada sesuatu yang Maha Tinggi.
Kedua, dalam konteks negara republik ini, ideologi dan utopia dalam hubungannya dengan Pancasila masih membuka peluang untuk diinterpretasikan ulang. Namun, yang lebih penting adalah bahwa orang yang tidak beragama tetap diberi ruang untuk mengekspresikan keyakinan mereka.
Selanjutnya, ada pertanyaan dari mahasiswa Filsafat semester enam bernama Venan Vensinyo. Dia mengatakan bahwa "Pancasila dihadapkan pada tantangan, baik oleh rezim, para pemimpin bangsa, maupun oleh peradaban itu sendiri. Apa langkah praktis yang dapat diambil untuk menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam menghadapi perkembangan internet saat ini? Apakah sosialisasi Pancasila sebagai falsafah negara masih relevan mengingat pengaruh internet yang memudahkan doktrinasi, seperti yang dilakukan oleh ISIS dan KKB?"
Pater Leo menanggapi pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa kelompok seperti ISIS dan KKB dalam konteks Indonesia masih sangat kecil. Hal itu yang disebut sebagai diskordansi bahwa akan selalu ada dan tidak bisa disangkal.
“Namun, kita harus mengakui prestasi yang luar biasa dari Soekarno dalam menyatukan berbagai keragaman di Indonesia,” tegasnya.
Pancasila, lanjut Pater Leo, bukanlah hasil karangannya sendiri, tetapi merupakan semangat hidup bangsa yang cenderung mempersatukan kembali yang terpisah. Ini adalah sebuah warisan yang sangat berharga dari para pendiri republik, di mana Bung Karno merumuskan Pancasila melalui diskusi dan kerjasama dengan banyak orang, termasuk misionaris di Ende.
“Pancasila merupakan hasil pergumulannya selama 30 tahun lamanya, dan karena itu saat mengungkapkan pidato, ia menyampaikannya tanpa teks karena sudah terkuras dalam hatinya sendiri. Hal ini menjadi sebuah warisan yang sangat berharga bagi kita dan perlu kita jaga dengan bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa ini,” tutupnya.*
*Okan Widodo
BAGIKAN
PROGRAM STUDI SARJANA FILSAFAT PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK PROGRAM STUDI SARJ0
Penerimaan mahasiswa baru IFTK Ledalero tahun akademik 2025/2026 Prodi Ilmu Filsafat (S1) Prodi Pend0
Pendaftaran Online Program Studi Sarjana Filsafat, PKK, DKV, Kewirausahaan, Sistem Informasi & Magis0
© Copyright 2025 by Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - Design By Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero