Ledalero—Dr. Wijayanto diundang sebagai pembicara dalam seminar online yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa (SEMA) STFK Ledalero. Seminar ini tidak hanya diikuti oleh para Dosen, Mahasiswa/I STFK Ledalero, melainkan juga seluruh kaum intelektual dari berbagai kampus di Indonesia. Tema seminar online kali ini adalah “Otoritarianisme Digital dan Demokrasi di Indonesia” yang diselenggarakan pada Rabu (10/11/2021).
Pater Otto Gusti Madung, Ketua Sekolah STFK Ledalero yang membuka rangkaian seminar online mengatakan, Indonesia saat ini mengalami ‘cacat’ demokrasi. Hal ini ditandai adanya pengingkaran terhadap prinsip demokrasi, intoleransi dan anjuran kekerasan yang semakin menguat. Menyikapi hal demikian, maka dibutuhkan deliberasi publik. Deliberasi publik berperan penting dalam sebuah negara demokratis. Proses deliberasi publik mengandaikan adanya pertukaran argumentasi yang berpijak pada kebenaran fakta empiris dan normatif. Melalui deliberasi publik kebenaran menjadi unsur hakiki dalam demokrasi, ujarnya.
Selanjutnya, direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Dr. Wijayanto mengawali presentasi seminar dengan mengerucutkan kembali tema yang telah digagas sebelumnya menjadi “Pasukan Cyber, Manipulasi Opini Publik dan Otoritarianisme Digital di Indonesia”
Dr. Wijayanto mengatakan di tahun 2019 terjadi kemunduran demokrasi yang diakibatkan adanya propaganda politik di media sosial oleh pasukan cyber yang pro pemerintah maupun pro partai politik. Pasukan cyber memanipulasi opini publik secara online. Manipulasi ini tidak hanya terjadi menjelang pemilu, melainkan pada waktu pelemahan KPK, ucap Wijayanto.
Pelemahan lembaga KPK sudah terjadi sejak menjelang pengesahan RUU KPK. Di mana adanya serangan terhadap KPK di media sosial yang dilakukan oleh pasukan cyber. Di saat yang sama, muncul gelombang opini publik yang mendukung revisi RUU KPK. Ruang publik yang semestinya menjadi diskursus untuk memperoleh kebenaran, malah dipakai atau dimanipulasi untuk menyebarkan berita bohong (manipulasi opini publik), misalnya. Pertama: ada banjir bandang atau tsunami percakapan yang secara tiba-tiba menyoroti suatu narasi dan topik tertentu. Kedua: narasi yang diciptakan secara sengaja, yakni dukungan terhadap revisi RUU KPK dengan mempromosikan konten tertentu yang mendukung pentingnya revisi RUU KPK. Ketiga: ada kuis yang mengajak massa untuk ikut mendukung revisi RUU KPK lewat konten-konten menarik agar orang-orang terpengaruh dan ikut memviralkannya, sambungnya.
Dengan demikian, benar adanya temuan dari studi yang dilakukan oleh Philip N. Howard dan Samantha Bradshaw dari Universitas Oxford yang menyebut Indonesia merupakan satu dari 70 negara yang melakukan computational propaganda (sebuah propaganda menggunakan teknologi komputasi yang melakukan manipulasi di media sosial dengan tujuan propaganda politik).
“Ada perbedaan definisi dengan Oxford tentang pasukan cyber. Pasukan cyber menurut kami sebagai satu jaringan (internet) yang bersifat cair yang terdiri dari pendengung (buzzer), pesohor/pengaruh (influencer), koordinator (pembuat konten) yang bekerja sama untuk mengorkestrasi penggalangan di media sosial dengan menciptakan suatu narasi politik tertentu, di mana setiap mata rantai dari jaringan itu tidak selalu saling mengenal satu sama lain, dan tidak selalu menyadari mereka bekerja bersama-sama untuk mendukung narasi tersebut. Sehingga, internet digunakan oleh rezim-rezim otoriter untuk memperkuat diri mereka dan semakin menjadi otoriter bagi negara-negara demokrasi, sehingga demokrasi mengalami kemunduran”, beber Wijayanto.
Dalam studi kami, internet untuk kasus cyber teror, pasukan cyber dan manipulasi opini publik telah mengarah kepada otoritarianisme digital. Otoritarianisme digital dipahami sebagai praktek represi dan kontrol di ruang publik digital dalam bentuk pelanggaran privasi, penyebaran misinformasi (memasukan konten-konten yang manipulasi) atau penggunaan teknologi digital untuk mengawasi, merepresi, memanipulasi warga negara, ucapnya.
Wijayanto mengakui bahwa, di Indonesia hari ini adalah situasi di mana kita kehabisan kreativitas dan imajinasi. Sehingga, yang namanya korupsi, hoaks dan ujaran kebencian sering kita anggap sebagai satu hal yang normal setiap hari. Kita tidak boleh melangkah ke belakang menuju otoritarianisme digital dengan tidak meneguhkan untuk berpikir kritis, kreatif dan imajinatif. (#Irfan Bau)
BAGIKAN
PROGRAM STUDI SARJANA FILSAFAT PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK PROGRAM STUDI SARJ0
Penerimaan mahasiswa baru IFTK Ledalero tahun akademik 2025/2026 Prodi Ilmu Filsafat (S1) Prodi Pend0
Pendaftaran Online Program Studi Sarjana Filsafat, PKK, DKV, Kewirausahaan, Sistem Informasi & Magis0
© Copyright 2025 by Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - Design By Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero