Seksi akademik Senat Mahasiswa (SEMA) STFK Ledalero, dalam salah satu program kerja pada semester gazal, mengadakan seminar tentang tanah, politik, dan korupsi di Flores. Seminar yang dilaksanakan pada Jumat, 04 Oktober 2019 di ruang Heekeren dihadiri oleh para mahasiswa semester 7 STFK Ledalero dan juga beberapa peserta lain dari luar STFK Ledalero. Narasumber utama dalam seminar ini adalah Bapak Emilanus Yakob Sese Tolo, dosen STFK Ledalero dan jalannya seminar dimoderatori oleh Jean Loustar Jewadut, mahasiswa semester 7 STFK Ledalero.
Ketua Senat Mahasiswa STFK Ledalero, Rio Nanto, dalam komentar singkatnya sebelum memulai diskusi, menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Emil yang telah memenuhi permintaan seksi akademik untuk menjadi pemantik diskusi dalam kesempatan seminar tentang tanah, politik, dan korupsi di Flores. Selain itu, Rio Nanto juga menyampaikan terima kasih kepada para peserta yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi bersama.
Tanah, Politik, dan Korupsi di Flores
Mengawali paparannya, Bapak Emil, secara optimis menegaskan bahwa pendekatan moral teknik dan pendekatan legal formal tidak efektif digunakan untuk mengatasi persoalan korupsi yang semakin marak saat ini karena kedua pendekatan tersebut tidak menyentuh akar persoalan yang menyebabkan lahirnya korupsi dalam segala aspek kehidupan masyarakat. “Dalam menganalisis masalah korupsi, di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Flores, saya tidak menggunakan pendekatan moral teknik dan pendekatan legal formal yang biasa digunakan oleh para intelektual lainnya, termasuk para civitas akademika di STFK Ledalero. Pendekatan yang saya gunakan, yang menurut saya efektif untuk menemukan akar korupsi adalah pendekatan ekonomi politik”, jelas Bapak Emil, dosen STFK Ledalero.
Dalam perspektif pendekatan ekonomi politik, korupsi di Flores disebabkan oleh ketimpangan agraria yang sangat tinggi. Di satu pihak, sekelompok orang mengklaim dirinya sebagai tuan tanah yang mempunyai hak untuk menguasai tanah kolektif, sedangkan di pihak lain, masyarakat akar rumput yang lebih banyak jumlahnya terpaksa menjadi pekerja di tanah-tanah yang dimiliki oleh para tuan tanah. Realitas seperti ini semestinya tidak perlu hadir di Flores karena sebagai bagian dari bangsa Astronesia, masyarakat Flores di NTT sejatinya tidak mengenal konsep tuan tanah (landlord) kecuali penjaga tanah (land guardian). Namun, akibat pengaruh modernisme dan kapitalisme kolonial, terutama kolonialisme Belanda, penjaga tanah mengaku diri sebagai tuan tanah baik pada masa kolonial maupun setelah kolonialisme berakhir di Flores.
Pada masa kolonial, ketimpangan agraria di Flores telah menyebabkan segelintir elite mendapatkan posisi politik tertentu melalui sistem politik patron-klien. Pemerintah Belanda biasanya mengangkat para raja dan pemimpin politik pada level kecamatan atau desa di Flores dari golongan para penjaga tanah, yang mengontrol tanah suku yang luas. “Kenyataan seperti itu di satu pihak membuat para penjaga tanah harus mendukung proses kolonialisme di Flores. Yang menolak mendukung pemerintah kolonial akan diasingkan dari Flores. Sementara di pihak lain, para raja dan para pemimpin lokal yang dipilih dan diangkat oleh pemerintah kolonial cenderung sewenang-wenang mengklaim tanah adat sebagai milik privat”, tegas Bapak Emil.
Dengan kepemilikan privat atas tanah dan dukungan politik dari pemerintah kolonial, para penguasa lokal terus mereproduksi kekuasaan di panggung politik lokal dalam sistem kekuasaan pemerintahan kolonial di Flores dulu dan bahkan terus direproduksi hingga kini oleh keturunan-keturunan mereka yang menempati berbagai jabatan publik strategis dalam institusi modern di Flores. Keturunan tuan tanah yang menempati jabatan publik di Flores akhir-akhir ini kerapkali terlibat dalam kasus korupsi. “Korupsi yang dilakukan oleh para kepala desa dari golongan atau keturunan tuan tanah, misalnya, selain bertujuan untuk memperkaya diri tapi juga untuk mereproduksi kekuasaan sebab di Flores, akhir-akhir ini ada gejala bahwa para politikus desa yang berasal dari golongan atau keturunan tuan tanah menjadikan jabatan kepala desa sebagai batu loncatan untuk menjadi politikus di tingkat kabupaten dan tingkat yang lebih tinggi lagi”, papar Bapak Emil di hadapan para peserta seminar.
Kemendesakan Reforma Agraria
Sebagai langkah solutif terhadap persoalan tanah dan korupsi di Flores, narasumber menawarkan proposal reforma agraria. Reforma agraria, menurut Bapak Emil, terbagi atas dua yaitu reforma agraria sebagai pemberian atau hadiah dari pemerintah dan reforma agraria yang diperjuangkan dari bawah oleh masyarakat akar rumput. Itulah sebabnya, para buruh atau para pekerja di Flores pertama-tama mesti memiliki kesadaran tentang dampak buruk kerja politik dan ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat publik yang berasal dari golongan atau keturunan tuan tanah. “Tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah dan Gereja Katolik dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) bisa dijadikan sebagai obyek reforma agraria. Selain itu, sejumlah tanah di Flores yang belum dibagi atau tidak jelas kepemilikannya dapat segera dijadikan obyek reforma agraria”, tandas Bapak Emil mengakhiri presentasi makalahnya.
Demokrasi Asal-Asalan
Paparan materi yang dibawakan oleh Bapak Emil memantik gairah intelektual para peserta untuk menggali lebih dalam lagi dengan menyampaikan tanggapan dan pertanyaan-pertanyaan kritis. Bagaimana tampilan wajah demokrasi di Flores dan bagaimana peran mahasiswa menanggapi persoalan tanah, relasi patronase, dan korupsi di Flores?, tanya Patrisius Sigar, mahasiswa semester 7 STFK Ledalero.
Demokrasi di Flores, menurut Bapak Emil, adalah demokrasi asal-asalan karena terlalu memberikan aksentuasi yang berlebihan pada aspek prosedural tapi minus substansi. Demokrasi disederhanakan menjadi suatu mekanisme politik elektoral semata. Namun, nyatanya politik elektoral hanya menjadi akses orang-orang berduit, yang dalam konteks Flores berasal dari golongan atau keturunan tuan tanah. Tanah yang diklaim sebagai aset privat dengan mudah dijual dengan harga yang mahal agar memiliki modal ekonomi yang mumpuni untuk bisa bersaing merebut jabatan publik tertentu.
Mahasiswa sebelum melakukan gerakan perlawanan dalam konteks yang lebih luas sudah semestinya melakukan kritik diri: apakah saya juga berasal dari golongan atau keturunan tuan tanah? Hal ini penting karena untuk konteks Flores, tuan tanah menjadi pihak yang bisa menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah yang mahal, bahkan di seminari yang biaya pendidikannya tergolong sangat mahal. “Dalam catatan sejarah, anak-anak tuan tanahlah yang lebih banyak mendapatkan kesempatan mengakses pendidikan hingga ke jenjang tertinggi karena mendapat dukungan dari pemerintah kolonial Belanda. Dukungan tersebut pada waktunya harus dibayar karena anak-anak tuan tanah yang berpendidikan digunakan sebagai alat di tangan pemerintah kolonial dalam mewujudkan kepentingan ekonomi dan politik mereka”, jelas Bapak Emil.
Bukti Kepekaan Sosial Kampus Filsafat dan Teologi
P. Dr. Otto Gusti Madung, SVD selaku ketua sekolah menegaskan bahwa berfilsafat berarti berani berpikir sendiri. Berpikir berarti mengkonfrontasikan diri dengan realitas atau fenomen. Beliau juga menghimbau agar mahasiswa filsafat tidak boleh hanya terobsesi pada fenomen, tapi harus mampu menggali substansi yang ada di balik sebuah fenomen. Menurut Pater Ketua Sekolah seorang mahasiswa filsafat tidak hanya dituntut untuk mempelajari gagasan-gagasan filosofis para filsuf pendahulu dan seorang mahasiswa teologi dengan pendekatan kontekstual tidak hanya dituntut untuk membaca Kitab Suci dan mendalami tradisi sebagai sumber untuk berteologi, tetapi juga terbuka untuk melihat konteks sosial, ekonomi, budaya, dan politik dan berani menilai konteks tersebut dengan pendekatan interdispliner yaitu mendialogkan filsafat dan teologi dengan ilmu-ilmu lain seperti ilmu sosial dan ilmu humaniora. “Saya mengapresiasi kegiatan seminar yang dilaksanakan oleh senat mahasiswa STFK Ledalero, Kegiatan seminar seperti ini menjadi bukti keprihatinan sosial kampus Filsafat dan Teologi. Filsafat dan teologi mesti terlibat dalam membaca, menganalisis, dan memberikan tawaran solutif bagi konteks kehidupan masyarakat Flores”, tegas Pater Ketua STFK Ledalero yang sekarang sedang berada di Australia ketika dimintai pendapatnya via media sosial facebook oleh seksi website STFK Ledalero.
Senada dengan Pater Ketua Sekolah, ketua seksi akademik senat mahasiswa STFK Ledalero, Anno Susabun menegaskan bahwa pemilihan teman “Tanah, Politik, dan Korupsi di Flores” berguna bagi pengembangan proyek akademik demi memahami konteks Flores secara spesifik, terutama persoalan ekonomi politiknya, yang selama ini jarang disentuh oleh kalangan intelektual Flores. “Kultur akademik seperti ini mesti tetap dipertahankan sebagai sebuah bentuk pengabdian sosial bagi masyarakat luas”, harap Anno Susabun.
SHARE THIS
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum volutpat tortor nec vulputate pe0
Cras consectetur suscipit nisi a fermentum. Class aptent taciti sociosqu ad litora
Vivamus convallis lobortis dolor, eu varius ipsum tincidunt sed. Suspendisse sit amet ante ullamcorp0
Nulla vitae urna orci. Nunc at dictum ligula, vel suscipit nunc.
© Copyright 2025 by Ledalero Institute of Philosophy and Creative Technology - Design By Ledalero Institute of Philosophy and Creative Technology