Seminar Paralel AFTI: Toleransi, Sikap Trust dan Dialog Antar Agama di Tengah Masyarakat Multikultural

img

     Dr. Georg Kirchberger dan Dr. Felix Baghi, diundang sebagai pembicara dalam seminar paralel yang diselenggarakan oleh Asosiasi Filsafat dan Teologi Indonesia (AFTI) dan Sekolah Tinggi FilsafatKatolik (STFK) Ledalero. Tema seminar kali ini adalah “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia”. Seminar ini diselenggarakan pada Jumat, (04/03/22), berlangsung di ruang Braun, salah satu ruang kelas STFK Ledalero. Hadir dalam seminar ini ialah mahasiwa/mahasiswi tingkat III Prodi Filsafat dan Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik (PKK) Ledalero.

     Dr. Georg Kirchberger, dosen Teologi STFK Ledalero, membuka seminar ini dengan mengulas secara khusus “Dasar Teologis Bagi Implementasi Etos Global Dalam Perspektif Kristen”. Ia mengatakan bahwa saat ini, manusia telah secara global lebih mengedepankan kejahatan dan kekerasan daripada kebaikan dan keadilan. Deretan kekerasan dan kejahatan itu dapat dilihat dalam realitas hidup manusia, seperti egoisme, cemburu sosial, lupa diri, penindasan dan sebagainya.

     “Kita hanya perlu ingat nasib para pengungsi yang ditolak di mana-mana dan mengalami nasib yang sangat malang karena semua bangsa hanya ingat diri, membangun pagar penghalang di batas-batas mereka dan berusaha sekuat tenaga untuk menghalang pengungsi masuk ke dalam wilayah mereka. Inilah fakta kekerasan dan kejahatan global yang marak terjadi hari-hari ini. Realitas ini secara jelas menampilkan bagaimana sikap manusia yang egoisme dan tidak peduli dengan manusia yang lain. Sikap ini akhirnya membuat manusia lupa diri dan mulai menaruh curiga terhadap Allah,” kata Dr. Kirchberger.

Sikap Curiga Terhadap Allah

            Dr. Kirchberger mengungkapkan bahwa, sikap curiga manusia terhadap Allah pertama-tama ditandai dengan sikap manusia yang tidak mengandalkan Allah sebagai dasar dan jaminan hidupnya. Allah dianggap sebagai Allah yang tidak mampu memberikan segala sesuatu kepada manusia. Manusia terlanjur menganggap Allah sebagai Allah yang tidak mampu menolong dan membantu mereka. Di sini, manusia mulai mendewakan kekuatan dan kemampuan dirinya. Bahkan berambisi bahwa ia sendiri mampu menjamin dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

     “Keyakinan ini membuat manusia berani bahwa dirinya mampu menjadi dasar untuk dirinya sendiri tanpa melibatkan eksistensi dan campur tangan Allah. Di bawah sikap curiga itu manusia mulai mempersalahkan Alah sebagai Allah yang tidak mau membantu manusia,” jelas Dr. Kirchberger.

      Selanjutnya ia menerangkan, manusia yang mencurigai Allah sebagai Allah yang tidak adil dan tidak mampu serta tidak mau mengandalkan Allah sebagai jaminan hidupnya, sebetulnya suatu konsep manusia yang hanya mau memperpanjang penderitaannya di dunia ini.

     “Manusia akan menerima wujud-wujud masalah yang kompleks dalam hidupnya. Hal ini dapat kita lihat dalam realitas harian manusia, seperti Allah yang menyiksa manusia, mengutuk manusia bahkan membunuh manusia. Allah menjadi marah dan tidak memberi berkat kepada manusia. Inilah reaksi Allah terhadap manusia,” tegasnya.

Beragama: Suatu Realitas Pilihan Bebas Manusia

      Sementara itu, Dr. Felix Baghi selaku dosen Filsafat STFK Ledalero, memandang manusia sebagai makhluk yang bebas. Dengan ulasannya “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Ikhwal Kesulitan dan Tantangannya Dari Perspektif Fenomenologi dan Hermeneutika Kesanggupan”, ia menegaskan bahwa beragama adalah suatu pilihan bebas manusia.

     “Kita mesti melihat lebih jauh ke dalam diri kita. Kita mesti mengakui bahwa beragama merupakan suatu pilihan bebas manusia di dunia ini. Pilihan bebas manusia merupakan suatu gambaran konkret yang mau menunjukkan eksistensi manusia di dunia ini sebagai makhluk yang “ada”. Manusia yang “ada” bersama makhluk lain di dunia ini”, tukas Dr. Felix.

            Lebih lanjut, dia menerangkan,  beragama dan berkeyakinan sebetulnya merupakan suatu pilihan. Pilihan ini berhubungan dengan kebebasan manusia sebagai makhluk yang “ada” di dunia ini. “Ada bisa berarti ada sebagai fakta dan ada sebagai normatif”. Kendati demikian, manusia tetap sebagai makhluk yang bebas.

     “Manusia itu sanggup sekaligus tidak sanggup. Manusia kuat sekaligus lemah. Manusia penuh dengan sukacita sekaligus penuh dengan penderitaan. Manusia yang bebas sekaligus terpenjara,” ungkapnya.

      Ia juga menjelaskan agama sebagai suatu ruang yang sangat dalam dan luas. Agama dilihat seperti suatu ruang besar bagi manusia untuk menyelam ke dalam dirinya. Di dalam ruang itu bila ia mendapatkan terang maka ia akan membawa kebaikan, keadilan dan kedamaian bagi manusia yang lain. Sebaliknya, bila manusia menemukan kegelapan di dalamnya maka ia akan membawa deretan kekerasan dan kejahatan bagi manusia yang lain.

     “Orang-orang beragama bila memiliki pemahaman yang benar maka ia akan bertindak benar. Akan tetapi, bila ia memiliki pemahaman yang keliru atau salah maka ia hanya menjadi alat yang memperpanjang kekerasan dan melahirkan kejahatan di dunia ini. Orang-orang beragama pun dapat menjadi sumber kejahatan itu sendiri. Hal ini dapat digambarkan sebagai kemalangan manusia,” tegas Dr. Felix.

Toleransi dan Sikap Trust: Sebuah Jalan Menuju Dialog Antar Agama yang Sehat di Tengah Masyarakat Multikultural

     Sikap saling percaya, trust menjadi dasar bagi manusia untuk bersatu dan kembali kepada Allah. Sikap ini dapat mempertemukan dan mempersatukan manusia untuk membangun dialog yang lebih bermoral, bermartabat dan lebih manusiawi.

      “Sikap ini dapat mengantar manusia pada suatu kebenaran yang hakiki. Di dalam kebenaran itu, manusia akan akan bertindak secara moral dan memperlakukan manusia yang lain secara adil dan damai,” kata Dr. Kirchberger.

      Dr. Felix Baghi menambahkan, sikap ini pun dapat memampukan manusia untuk pantang kekerasan, solidaritas dalam keadilan, kejujuran, kesetaraan dan kemitraan antara pria dan wanita, serta tanggung jawab moral dan toleransi di tengah ruang multikultural.

      “Toleransi sebagai kekuatan, karena ada kekuatan di dalamnya. Ada tendensi yang mengantar kita untuk mencapai kebaikan bersama. Di dalamnya kita dapat mencegah kejahatan sosial yang ada di dunia ini,” tutup Dr. Felix.

Kanis Bauk

SHARE THIS