Dosen Islamologi STFK Ledalero Rekomendasikan Model Dialog Ekumene

img

 

Pater Hendrik Maku, SVD (kanan) didampingi Bupati Sikka Fransiskus Roberto Diogo (ke-2 dari kanan) memprensetasikan materi di hadapan puluhan pendeta yang menghadiri Sidang Istimewa Klasis Flores IV dan Sidang Majelis Klasis Flores X di Gereja Kalvari Maumere, Kamis (5/3/2020).

“Para pelaku dialog antargereja mesti sepakat untuk mengatakan 'tidak' terhadap indiferentisme, proselitisme, mengidentikkan etnisitas dengan agama, dan khotbah yang berisikan ujaran kebencian.” — Pater Hendrik Maku, SVD.

 

Maumere, Flores Pos – Dosen Islamologi STFK Ledalero, Pater Hendrik Maku, SVD merekomendasikan tiga model dialog ekumene untuk dijadikan panduan bagi stakeholders yakni untuk pemerintah, tokoh agama, awam dan para pelaku dialog antargereja di Flore-NTT, khususnya, dan Indonesia umumnya.

Pater Hendrik merekomendasikan model dialog ekumene ini ketika ia membawakan materi bertajuk “Ekumene dan Dialog Antargereja dalam Pandangan Katolik,” di hadapan puluhan pendeta yang menghadiri Sidang Istimewa Klasis Flores IV dan Sidang Majelis Klasis Flores X di Gereja Kalvari Maumere, Kamis (5/3/2020).

Tiga Rekomendasi

Dua nara sumber lainnya dalam rapat ini yakni Bupati Sikka Fransiskus Roberto Diogo dan Ketua Majelis Sinode GMIT Pendeta Mery Kolimon. Pater Hendrik pada kesempatan ini menawarkan tiga rekomendasi berikut ini, yakni, pertama, untuk para pemimpin agama. Para pelaku dialog antargereja harus move on dari eksklusivisme yang dipicu oleh klaim kebenaran, saling mempersalahkan, saling mengumpat, dan lain-lain.

“Para pelaku dialog antargereja mesti sepakat untuk mengatakan 'tidak' terhadap indiferentisme, proselitisme, mengidentikkan etnisitas dengan agama, dan khotbah yang berisikan ujaran kebencian,” katanya.

Kedua, untuk pemerintah. Sebagai orang tua dari semua penganut agama, pemerintah mesti bersikap jujur dan adil. Isu agama sering kali dijadikan sebagai komoditas politis dalam perhelatan pilkada atau pileg yang tidak sedikit meninggalkan “rasa pedih” tersendiri bagi para pelaku demokrasi, toh semua itu adalah bagian dari suatu permainan.

Meskipun pemilu dimenangkan dengan isu agama, aneka kebijakan yang diambil ketika sudah terpilih mesti adil dan merata, tanpa dikotomi kawan atau lawan, kawan dikawal sementara lawan ditampar, sahabat disayang sementara musuh dipukul, dan seterusnya.

Ketiga, awam dan para pelaku dialog antargereja. Mesti disadari bahwa dewasa ini, beragama berarti beragama bersama orang yang menganut agama lain dengan dua penekanan yakni kita tidak pernah beragama di dalam ruang tertutup, dan dalam kesendirian. Umat beragama yang tekun dalam menjalankan agamanya akan selalu berjumpa dengan yang lain.

Yang lain itu tidak harus dari agama atau aliran kepercayaan yang sama, tetapi juga dari agama atau aliran kepercayaan yang lain. Kepenuhan identitas dari umat beragama tidak hanya diukur dari kesalehan hidup yang dilaksanakan di wilayah privat, tetapi juga terbaca dari praksis atau penghayatan keagamaannya di ruang publik.

“Dalam perspektif ini, doktrin-doktrin agama dan penghayatannya mesti bisa memperkuat etika publik. Mengapa? Sebab sejatinya, agama-agama itu ada untuk manusia dan bukannya manusia untuk agama. Agama dengan demikian mesti menutrisi kemanusiaan dan bukan sebaliknya. Dari kedua arti ini, agama dapat dimengerti sebagai jembatan perjumpaan dengan yang lain dalam merajut perdamaian,” kata Pater Hendrik.

Spirit Bertetangga

Secara metaforis, lanjut Pater Hendrik, agama bisa dilukiskan seperti sebuah kampung tradisional, di mana rumah-rumah disusun membentuk lingkaran dan karena itu mereka hanya memiliki satu halaman untuk semua. Beragama dengan demikian berarti bertetangga dengan yang lain.

“Dari gambaran ini, umat beragama dan/atau para pelaku dialog antargereja mesti memiliki kualitas diri tertentu yang bisa diandalkan dalam menjalin relasi yang sehat dengan yang lain. Umat beragama mesti bisa bertentangga dengan yang lain. Umat beragama mesti siap untuk berjumpa dengan yang lain di depan halaman rumah yang satu dan sama, milik bersama dari semua penganut agama,” katanya.

Penulis: Wall Abulat
Editor: Arsen Jemarut

SHARE THIS