Sabtu, 08 Februari 2019 bertempat di ruangan kelas mahasiswa Pendidikan Keagamaan Katolik (PKK) STFK Ledalero terjadi seminar yang melibatkan para dosen STFK Ledalero. Seminar tentang migrasi di wilayah Flores diberikan oleh peneliti dari Puslit Candraaditya Maumere, P. Huber Thomas, SVD. Seminar tersebut dimoderatori oleh dosen HAM STFK Ledalero, Emilianus Yakob Sese Tolo.
Seminar tersebut diawali dengan kata sambutan Ketua STFK Ledalero, P. Otto Gusti Madung, SVD. Dalam kata sambutannya, beliau menyoroti rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. “Menurut para ahli, ada dua penyebab utama rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Pertama, sistem pendidikan yang feodalistis. Kedua, kurangnya kebebasan berpikir”, tegas Ketua STFK Ledalero. Selain menyoroti rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, beliau juga menyoroti penyakit akut yang melanda masyarakat modern yang dalam bahasa Paus Fransiskus disebut sebagai globalisasi ketidakpedulian. “Saya berharap agar seminar tentang migrasi hari ini tidak hanya memperluas wawasan kita, tetapi juga mampu memperkokoh komitmen sosial kita terhadap kelompok-kelompok rentan seperti korban perdagangan orang, para buruh, dan para perantau”, harap Ketua STFK Ledalero.
Sebelum memberikan kesempatan kepada narasumber untuk mempresentasikan hasil penelitiannya tentang migrasi, Emilianus Yakob Sese Tolo sebagai moderator dalam kata pengantarnya menegaskan bahwa migrasi bukanlah topik yang baru dalam dunia dewasa ini, Sudah ada banyak sarjana yang menulis tema tentang migrasi. “Secara umum di kalangan para sarjana ada dua pendekatan yang digunakan untuk membahas tema tentang migrasi. Pertama, pendekatan dualistis yaitu pendekatan yang menegaskan bahwa orang terdorong bermigrasi karena adanya ketimpangan pembangunan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Kedua, pendekatan neo-klasik yaitu pendekatan yang menegaskan bahwa orang terdorong bermigrasi karena ingin mendapatkan upah yang tinggi di wilayah perantauan. Sangat jarang, para sarjana menganlisis tema tentang migrasi dengan menggunakan pendekatan Marxis. Dalam perspektif Marxis, orang bermigrasi karena dikondisikan oleh sistem ekonomi dan politik seperti ketimpangan produksi atau ketimpangan agraria”, jelas moderator seminar.
Narasumber seminar yaitu P. Huber Thomas, SVD memulai paparannya dengan terlebih dahulu menyampaikan definisi umum tentang migrasi. “Migrasi adalah satu ekspresi aspirasi manusia untuk pencarian martabat, keamanan dan masa depan yang lebih baik. Migrasi sebagai pergerakan manusia adalah ciri inheren kondisi manusia. Ia ada di dalam seluruh sejarah manusia dan seluruh kisah dalam Kitab Suci”, jelas sosiolog tersebut. Ada beberapa faktor yang mendorong orang bermigrasi di antaranya yaitu bencana alam, konflik dan perang, kesulitan ekonomi, dan ingin meningkatkan pendapatan. Singkatnya, orang bermigrasi agar bisa menikmati hidup yang lebih baik.
Penelitian yang dilakukan oleh P. Huber Thomas, SVD dan beberapa teman peneliti dari Candraaditya Maumere terjadi di beberapa tempat yang berbeda yaitu di Flores, Lembata, dan Malaysia. Di wilayah Flores dan Lembata, pemilihan paroki-paroki yang dipelajari didasarkan pada pertimbangan keterwakilan wilayah dan semua perantau dari paroki terpilih didatakan. “Pemilihan responden di wilayah Flores dan Lembata didasarkan pada sebaran waktu pertama kali merantau (di bawah tahun 1990, 1991-2000, 2000-2010, 2011-2016), keterwakilan KBG, dan keterwakilan jenis kelamin”, jelas P. Huber, SVD. Di Malaysia, semua pekerja migran yang ditemuai di dua lokasi yaitu Kampar (2016) dan Teluk Intan (2018) diwawancarai.
P. Huber, SVD dalam paparannya menyajikan data yang sangat komprehensif dan valid. Dari 46 paroki yang didata, ditemukan 27.108 orang yang pernah dan sedang merantau yang terdiri atas 19.402 (71,6%) pria dan 7.706 (28,4%) wanita. Sampai dengan tahun 1970, jumlah perantau sangat sedikit yaitu 158 orang yang tercatat pernah merantau dari Flores dan Lembata. Sejak dekade 1970-an, jumlah perantau meningkat secara tajam. Peningkatan absolut perantau lebih besar terjadi pada dekade 1990-an dan dekade terakhir. Semakin ke wilayah Timur semakin besar jumlah perantau. Secara tradisional, perantauan terutama terjadi di wilayah Lembata, Flores Timur, dan Sikka. Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah perantau dari tiga kabupaten di Keuskupan Agung Ende pun semakin membengkak. Sebelum merantau, pekerjaan mayoritas perantau adalah petani (60.5%) dan belum memiliki pekerjaan yang tetap (36,3%).
Dalam kesempatan diskusi, beberapa dosen menyampaikan pertanyaan-pertanyaan kepada narasumber. P. Puplius, SVD bertanya apakah Gereja lokal juga berperan dalam mendorong orang bermigrasi karena tuntutan-tuntutan iuran yang membebankan umat. P. Juan, SVD menyoroti satu fenomena yang menarik yaitu di tengah kenyataan bahwa banyak orang Flores yang pergi merantau di Jawa, Kalimantan, Papua, atau bahkan Malaysia, namun tidak sedikit juga orang yang berdatangan ke Flores untuk mengadu nasib dan mereka bisa bertahan hidup di Flores. P. Juan, SVD menyentil ketidakmpuan orang-orang Flores untuk melihat peluang di wilayah sendiri. P. Hendrik, SVD bertanya tentang tindak lanjut apa yang mesti dilakukan setelah memperoleh data para perantau dari wilayah Flores.
Narasumber menanggapi beberapa pertanyaan tersebut dengan kritis. Tentang keterlibatan Gereja, narasumber mengakui bahwa Gereja bisa terlibat secara positif dan juga secara negatif. Pada intinya, Gereja tidak bisa melarang orang untuk pergi merantau karena menghalangi pergerakan seseorang sebagai ekspresi kebebasan seseorang. Hal penting dan mendesak yang harus dibuat oleh Gereja adalah memastikan bahwa orang-orang yang pergi merantau adalah orang-orang yang benar-benar sudah siap dalam banyak aspek yang meliputi administrasi dan keterampilan agar mereka laku di pasar tenaga kerja. Negara harus berperan untuk memberikan pelatihan keterampilan kepada masyarakat yang hendak merantau. Gereja bisa mendesak negara untuk melakukan tugas tersebut. “Atas dasar itu, keterlibatan Gereja dalam dunia politik menjadi sangat penting. Tujuannya bukan untuk mendapatkan jabatan politik tertentu, tetapi agar kebaikan bersama sungguh-sungguh terwujud”, tegas narasumber yang juga menjadi dosen di program pasca sarjana teologi dengan pendekatan kontekstual di STFK Ledalero.
Menanggapi komentar P. Juan, SVD, narasumber menegaskan bahwa perlu dibuat studi dan penelitian yang serius terkait fenomena banyak orang dari luar yang datang ke Flores untuk mengadu nasib dan mereka bisa bertahan hidup. Narasumber menyetujui pendapat P. Juan, SVD yang mengatakan bahwa masalah utamanya ada pada ketidakmampuan melihat peluang di wilayah sendiri. Atas dasar itu, P. Huber berpendapat tidak salah kalau orang-orang Flores belajar banyak hal dari orang-orang Jawa yang bisa bertahan hidup di wilayah Flores. “Saya yakin orang-orang Flores juga memiliki kemampuan untuk membuka kewirausahaan seperti yang dibuat oleh orang-orang Jawa yang sudah lama menetap di wilayah Flores”, tutur narasumber.
Menanggapi pertanyaan P. Hendrik, SVD, narasumber menjelaskan bahwa studi dan penelitian yang sudah dibuat bersama dengan teman-temannya di wilayah Flores dan Lembata baru menjadi tahap awal. “Ada banyak hal yang akan kami teliti lagi. Ada baiknya juga kalau teman-teman dosen bisa mempelajari data-data yang sudah kami kumpulkan dan menganalisisnya dari berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, teologi, moral, pastoral, hukum Gereja, sosiologi, dan lain-lain sehingga bisa menghasilkan studi yang lebih komprhensif dan berguna bagi masyarakat luas”, harap P. Huber, SVD.
Narasumber juga menyampaikan bahwa hasil studi dan penelitian tentang migrasi di wilayah Flores akan dibuat dalam bentuk buku sehingga bisa dibaca oleh publik. “Kendala utama kami adalah dana untuk menerbitkan buku. Kami sudah berusaha untuk mendapatkan dana dan kami yakin harapan kami untuk menerbitkan buku akan tercapai”, jelas P. Huber, SVD. Menanggapi masalah dana penerbitan buku, P. Yosef Keladu Koten, SVD menyarankan agar hasil studi dan penelitian tersebut bisa dipublikasikan di jurnal Ledalero edisi bulan Juni. “Kita tidak membutuhkan biaya yang terlalu mahal untuk menerbitkan jurnal Ledalero. Sebelum buku berhasil diterbitkan, ada baiknya hasil penelitian tersebut dipublikasikan terlebih dahulu di jurnal Ledalero bulan Juni sehingga publik lebih cepat mengakses data tentang migrasi di wilayah Flores”, harap P. Yosef, SVD.
Mengakhiri seminar tentang migrasi di wilayah Flores, moderator menegaskan bahwa pembahasan P. Huber, SVD tentang migrasi menggunakan dua pendekatan sekaligus yaitu pendekatan dualistis dan pendekatan neo-klasik dan belum menggunakan pendekatan Marxis. “Kita tentunya mengapresiasi kerja serius P. Huber, SVD bersama teman-teman peneliti dari Candraaditya Maumere. Kita juga berharap agar seminar ini menjadi modal bagi kita untuk lebih mendekatkan diri dan berbuat sesuatu yang berguna bagi masyarakat luas”, tandas Emil. (Jean Loustar Jewadut).
SHARE THIS
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum volutpat tortor nec vulputate pe0
Cras consectetur suscipit nisi a fermentum. Class aptent taciti sociosqu ad litora
Vivamus convallis lobortis dolor, eu varius ipsum tincidunt sed. Suspendisse sit amet ante ullamcorp0
Nulla vitae urna orci. Nunc at dictum ligula, vel suscipit nunc.
© Copyright 2025 by Ledalero Institute of Philosophy and Creative Technology - Design By Ledalero Institute of Philosophy and Creative Technology