ADAKAN DISKUSI PUBLIK, PMKRI CABANG MAUMERE DAN SEMA STFK LEDALERO ANGKAT TEMA KORUPSI DI TENGAH PANDEMI

img

            Maumere - Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Maumere Santo Thomas Morus menggelar diskusi publik bersama SEMA STFK Ledalero pada Kamis (30/09/2021). Diskusi publik ini bertajuk “Korupsi di Tengah Pandemi”. Diskusi ini diikuti oleh anggota PMKRI Cabang Maumere dan SEMA STFK Ledalero. Kegiatan ini berlangsung di ruang kelas Clemens Pareira, STFK Ledalero, pada pukul 16.00 WITA.

            Diskusi publik ini menghadirkan dua pembicara. Kedua pembicara ini datang dari latar belakang yang berbeda. Paulet Djie Mbomba menjabat sebagai Ketua Presidium Hubungan Perguruan Tinggi Cabang Maumere, sedangkan Sarnus Joni Harto adalah Ketua SEMA (Senat Mahasiswa) STFK Ledalero.

            Dalam diskusi ini, Paulet Djiae berbicara tentang praktik korupsi yang marak terjadi di tengah pandemi covid-19. Korupsi menjadi praktik yang lumrah terjadi dalam konteks Indonesia. Misalnya, penyelewengan pengadaan bantuan sosial (bansos) covid-19. Menyitir Mohammad Hatta bahwa korupsi di Indonesia sudah begitu masif dan sangat sulit untuk diberantas. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Amien Rais bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari Indonesia atau dengan kata lain, korupsi tidak terlepas dari kehidupan masyarakat Indonesia, kata Paulet.

            Selanjutnya, Paulet menegaskan bahwa pandemi covid-19 menjadi musibah yang menyeluruh. Musibah ini memberikan penderitaan bagi seluruh umat manusia. Di tengah penderitaan ini, praktik korupsi malah semakin menjadi-jadi. Tentunya, praktik ini memberikan ‘penderitaan baru’ bagi masyarakat di tengah musibah ini. Jika ditelaah dalam Undang-Undang yang berlaku, tindakan ini dikenakan pada pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 bahwa kejahatan yang dilakukan pada saat bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana dengan hukuman mati. Peraturan tersebut merupakan langkah progresif dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dinilai masih tumpul dalam segi prakmatiknya.

Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah berjalan dengan baik, akan tetapi harus ada dukungan dari pihak lain, termasuk para Mahasiswa/I. Bentuk dukungannya tersebut salah satunya ialah dengan melapor orang-orang yang terindikasi melakukan penyelewengan dalam instansi-instansi tertentu. Ada banyak kasus, baik pada tingkat lokal maupun nasional yang melibatkan orang-orang penting pada instansi tersebut. Kerugian yang ditaksir pun cukuplah besar. Akan tetapi sampai sejauh ini, penanganan akan hal tersebut kerap menimbulkan banyak tanda tanya dan masih ditutup rapat, ujar Paulet.

 Korupsi adalah tindakan amoral yang tidak patut untuk dilestarikan. Apalagi pada saat sekarang di mana banyak masyarakat yang hidup dalam garis kesusahan akibat situasi pandemi. Melestarikan tindakan korupsi sama artinya dengan melestarikan penderitaan yang dialami oleh masyarakat. Sehingga dalam konteks ini, korupsi dapat dipandang sebagai ancaman yang mengharuskan kita untuk mencari dan menemukan solusi yang nyata dan berdampak bagi kehidupan masyarakat. Apa yang harus kita lakukan sebagai generasi muda dalam menyikapi fenomena ini? tutur, Paulet.

Urgensi pendidikan tentang korupsi di perguruan tinggi sangat dibutuhkan. Hal ini perlu dilakukan, supaya setiap Mahasiswa/I mampu memliki wawasan pendidikan kewarganegaraan, sebagai upaya untuk menanggulangi praktik korupsi. Adanya pendidikan korupsi ini akan melahirkan individu-individu yang jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja sama, sederhana dan berani, tegas Paulet.

            Dalam menyikapi fenomena ini, PMKRI Cabang-Maumere telah melakukan pelbagai macam aksi. Misalnya: peduli terhadap rakyat yang menjadi korban dari praktik korupsi. Biasanya “Kami melakukan sosialisasi kepada masyarakat, melakukan diskusi dengan lembaga-lembaga pemerintahan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menanggulangi praktik korupsi yang marak terjadi. Sebab, korupsi merupakan praktik yang tidak baik, praktik itu hanya menyebabkan penderitaan bagi masyarakat” ujar Paulet.

Kemudian Ketua SEMA STFK Ledalero, Sarnus Joni Harto memaparkan materi diskusinya dengan judul “Mendefinisikan Korupsi Seperti Mengejar Fatamorgana”. Harus ada pembatasan terhadap definsi korupsi, sebab jika tidak hukum dan dunia politik modern tidak akan memberi sumbangan apa-apa terhadap tatanan masyarakat dunia.  Terdapat bias terhadap definisi korupsi, yakni bias hukum, bias sentrisme negara, dan bias ekonomi. Menyitir Dr. B. H. Priyono, Sarnus mengatakan, tafsir konsep tentang korupsi dalam masyarakat Antik mesti dilakukan secara simtomatis yaitu menurut konteks penggunaannya, dan bukan secara anakronis yaitu melihatnya dari sudut pandang kita saat ini. Kelanjutannya ialah kita harus menghindari jebakan anakronisme dan membaca secara simtomatis, jika sedang menginterpretasikan korupsi.

Diskursus tentang korupsi dalam masyarakat kuno, seperti dalam kehidupan orang yunani dan romawi kuno. Tidak membuat perbedaan dikotomis antara hadiah dan suap. Keduanya dilakukan dalam konteks relasi kesalingan (resiprositas). Tatanan sosial justru menjadi mungkin berkat hubungan kesalingan itu, sebab jika antara pemberi dan penerima tidak terjadi hubungan timbal balik. Prinsip do ut des berlaku, ungkap Sarnus.

Pada abad pertengahan. Korupsi diinfiltrasi secara teologis, di mana hal tersebut dilihat sebagai dosa, sebagai sebuah bentuk kejatuhan. Jika dilihat secara transenden, manusia dilihat sebagai ada yang korup dan Allah dilihat sebagai ada yang sempurna.

Era modern. Pembedaan pada era ini dapat dilihat secara lebih jelas, di mana tidak ada perbedaan yang jelas antara yang publik dan yang privat. Pada era modern, permasalahan korupsi meningkat.

Era postmodern/kontemporer. Pemahaman tentang korupsi ada kaitannya dengan perkembangan pemahaman dari era sebelumnya. Korupsi pada era ini dibicarakan dalam hubungannya dengan pembangunan. Tindakan korupsi menggurita dimana-mana, baik dalam negara demokratis maupun non-demokratis.

Setelah menjelaskan dinamika/historiografi konsep tentang korupsi, Sarnus melihat bahwa praktik korupsi marak terjadi Indonesia. Diskursus tentang korupsi di Indonesia selalu diwarnai oleh dua sudut pandang: korupsi sebagai suatu fenomena budaya dan korupsi sebagai suatu fenomena struktural/sistem sosial-politik.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Sarnus mencoba menggali pemikiran Mochtar Lubis dan Ajip Rosidi yang membaca korupsi dari perspektif kultural, dan Syed Hussein Alatas yang membaca dari perspektif sosiologis. Mochtar Lubis, seperti dikutip Sarnus, menemukan gejala koruptif dalam diri manusia Indonesia melalui 6 ciri watak.

Terdapat 6 ciri manusia Indonesia, versi Mochtar Lubis. Hipokrit, enggan bertanggung jawab, feodalistik, percaya pada takhayul, artistik dan watak yang lemah. Menurutnya, watak korupsi sudah ada dalam budaya, masyarakt indonesia. Menurut Ajip Rosidi, korupsi merupakan hasil persilangan antara mentalitas manusia indonesia dan kekuatan kolonial belanda. Ajip juga melihat tindakan korupsi di Indonesia bukan hanya merupakan hasil suatu budaya masyarakat yang tidak sehat, tetapi juga hasil sistem politik yang mengkultuskan korupsi, kata Sarnus.

Sarnus mengakhiri pemaparannya dengan menawarkan solusi yang mesti dilakukan dalam menyikapi fenomena ini. Solusi yang ditawarkan ialah; transformasi kebudayaan, perbaikan sistem, dan penguatan masyarakat sipil.

            Dalam sesi dialog, Ari Laka Mahasiswa STFK Ledalero, bertanya tentang, pertama: Bagaimana PMKRI bisa mengetahui adanya tindakan korupsi di instansi pemerintahan?

Dalam PMKRI, ada kelompok khusus yang mempunyai peran untuk menyelidiki dan menganalisa kasus korupsi yang terjadi di tingkat lokal, contohnya di kabupaten sikka. Namanya ialah Germas, gerakan masyarakat. Kelompok ini biasa melakukan advokasi kasus secara bertahap, ada audiens terbuka(surat), bedah lagi kasus atas jawaban yang diangkat oleh germas dan kemudian bisa memutuskan apakah kasus tersebut dapat tindakan lanjut atau tidak, jawab Paulet.

            Kedua: Dalam tubuh lembaga agama yang dinilai bermoral pun ada tindakan korupsi, bagaimana pemateri dapat menjamin bahwa wacana nilai moral bisa menjadi senjata yang ampuh untuk memberantas tindakan korupsi? Sebagai anggota gereja, ada tanggung jawab untuk lebih dekat dengan gereja, uskup, imam dan lain-lain. Jika ada kasus-kasus yang terjadi, akan ada upaya konsultasi kepada bapa uskup, demi memikirkan dampak lanjutan dari tindakan tersebut, baik dari sisi ekonomi, politik, sosial maupun budaya, jawab Paulet.

            Pertanyaan dari sudut pandang yang berbeda juga diajukan oleh Defri Ngo Mahasiswa STFK Ledalero. Defri memberikan catatan kritis, mengapa diskusi pada sore hari ini harus mengambil judul korupsi di tengah pandemi? Menurutnya, tema ini lebih menjurus ke arah naratif-deskriptif dan bertendensi hanya untuk mendeskripsikan korupsi tanpa ada penghadiran upaya konkrit yang bisa dibuat.  Narasi tandingan seperti apa yang bisa pemateri berikan atas kasus korupsi yang terjadi di tengah pandemi?

            Menanggapi catatan kritis ini, Paulet memberikan jawaban bahwa diskusi yang diadakan ini berusaha memberi upaya edukasi terhadap mahasiswa pada umumnya tentang korupsi dan efek lanjutan apabila korupsi masif dilakukan. Diskusi dihadirkan sejatinya lebih menjurus ke arah tindakan preventif, sehingga para pendengar dapat mengambil langkah yang tepat jika berhadapan dengan situasi-situasi di tengah masyarakat yang bertendensi korupsi. 

            Sama halnya, Sarnus memberikan jawaban, “Secara pribadi baru mendalami tema korupsi ini sehingga lebih banyak mengutip dari buku. Menurutnya, krisis merupakan hasil rekayasa kekuasaan politik dan ekonomi, neoliberalisme. Hal tersebut membuka kemungkinan adanya gejala yang tidak sehat yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, seperti kaum elit dan  memanfaatkan situasi pandemi covid-19 untuk kepentingan pribadi. Itulah mengapa, kapitalisme wajah baru sepertinya muncul pada saat-saat sekarang ini.

            Kemudian, Defri Ngo memberikan tanggapan balik atas jawaban yang telah diberikan oleh pemateri. Jawaban Paul yang mengambil jalan kembali ke pribadi masing-masing, bertendensi pasrah. Dalam hal ini, diskusi yang dilakukan sepertinya tidak membawa perubahan apa-apa dan justru membuat tema korupsi dan geliat di dalamnya enggan untuk digeluti secara lebih dalam dan komprehensif. Pemetaan historiologi korupsi dalam pemaparan Sarnus harus lebih jelas dan seimbang, sebab Sarnus cenderung bertitik tolak dari buku yang dikutip sehingga ada bahaya terjebak dalam konsepsi tunggal terhadap korupsi.

            Seturut pantauan tim redaksi, diskusi ini berjalan dengan baik. Diskusi ini ditutup dengan ucapa terima kasih, dari SIE Akademik, Riki Mantero. “Kegiatan ini merupakan awal bagi kita, SEMA STFK Ledalero dan PMKRI Cabang Maumere, semoga ke depannya kita dapat bekerja sama”. (sie website).  

SHARE THIS