•  Beranda  /
  •  Mahasiswa  /
  •  STFK Ledalero Gelar Seminar Nasional Human Trafficking

STFK Ledalero Gelar Seminar Nasional Human Trafficking

img

Kristo Suhardi

Kontributor      

 

Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero menggelar seminar nasional tentang human trafficking (perdagangan orang) di aula Santo Thomas Aquinas Ledalero, Sabtu (6/5). Seminar ini menghadirkan dua pembicara utama yakni peneliti sekaligus pendiri Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi dan Dosen STFK Ledalero Pater Dr. Alexander Jebadu SVD, serta dimoderasi oleh Pater Yohanes Orong SVD.

Hadir dalam seminar ini Ketua STFK Ledalero Pater Bernardus Raho SVD, Ketua Yayasan Persekolahan Santo Paulus Pater Alfons Mana SVD, Ketua DPRD Sikka Rafael Raga, tokoh agama, tokoh pemerintah, aktivis Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRUK), civitas akademi STFK Ledalero, serta ratusan undangan lainnya yang memenuhi ruangan aula Santo Thomas Aquinas.

18386956 1452809164740113 2098898174 nSri Palupi dalam makalahnya yang berjudul “Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Upaya Pencegahannya” mengungkapkan Indonesia saat ini belum serius memberantas perdagangan orang (human trafficking). Indonesia, kata Palupi, sejak 2007 sampai 2016 masih tergolong dalam negara yang memiliki instrumen untuk pemberantasan perdagangan orang namun tidak digunakan secara efektif.

Sri Palupi mengatakan Indonesia masih lemah dalam perlindungan korban, lemah dalam pencegahan perdagangan orang, dan belum sepenuhnya memenuhi standar minimum pemberantasan perdagangan orang. Indonesia merupakan negara dengan korban perdagangan orang tertinggi nomor tiga di dunia.

            “Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Rencana Aksi Nasional (RAN) penghapusan perdagangan orang, diketahui bahwa penanganan masalah ini masih dilakukan secara parsial, belum terpadu, masih sangat terbatas, dan lebih banyak berfokus pada pemulangan korban. Selain itu, kerja pemerintah masih sebatas proyek. Pemahaman dan komitmen penegak hukum dalam pemberantasan perdagangan orang masih lemah. Jumlah kasus yang ditindaklanjuti tak sebanding dengan yang dilaporkan,” kata Palupi.

Palupi menambahkan evaluasi ini juga menunjukkan bahwa penanganan perdagangan orang dilepaskan dari akar masalahnya, pemahaman terhadap masalah ini sangat lemah terutama dalam kebijakan migrasi, serta lemahnya pendataan terpadu terhadap masalah ini dan lemahnya koordinasi antarkementerian. Hal-hal ini, kata Palupi, menandakan lemahnya komitmen dan kurang seriusnya pemerintah dalam memberantas perdagangan orang.

“Hasil investigasi terhadap pelaksanaan RAN penghapusan perdagangan orang tahun 2008 menunjukkan gambaran tentang kondisi korban bahwa kebanyakan korban berasal dari keluarga miskin, mayoritas korban adalah perempuan, tingkat pendidikan dan informasi minim. Selain itu, korban umumnya memiliki masalah dalam keluarga termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), putus sekolah dan sebagian terjebak utang,” kata Palupi.

Faktor Korupsi

18337357 1452809334740096 580893800 nPater Alexander Jebadu SVD dalam makalahnya mengungkapkan meningkatnya tindak pidana perdangangan orang (TPPO) mempunyai relasi yang kuat dengan aparat pemerintah yang korup. Kalau para aparat pemerintahan negara cukup bersih dan tidak gampang disuap oleh organisasi-organisasi kejahatan, kata Pater Alex, maka TPPO tidak akan memiliki cukup ruang untuk beroperasi; tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya.

“TPPO tidak beroperasi di dalam ruang hampa. Korupsi yang dilakukan aparat pemerintah merupakan lahan subur bagi praktik TPPO. Sebuah data dari Dewan Negara-negara Eropa menunjukkan bahwa korupsi merupakan salah satu biaya pengeluaran yang paling besar dari para pelaku TPPO. Tanpa korupsi dari para penegak hukum, polisi, pejabat konsuler, diplomat, pengacara, petugas keamanan dan sektor transportasi, praktik TPPO tidak bisa ada dan tidak bisa beroperasi,” kata Pater Alex.

Pada bagian lain makalahnya, Pater Alex mengungkapkan upaya memerangi TPPO merupakan sebuah keharusan bagi negara dan seluruh rakyat Indonesia karena perjuangan ini merupakan upaya untuk merealisasikan nilai luhur Pancasila, khususnya sila ketiga yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. TPPO bertentangan dengan nilai Pancasila karena para pelaku memperlakukakan sesamanya sebagai barang atau hewan yang diperdagangkan.

Dalam sesi diskusi banyak persoalan yang dikemukakan peserta. Aktivis TRUK, Heny Hungan, mengungkapkan kebanyakan pelaku perdagangan orang merupakan keluarga atau orang terdekat dari korban. Pada saat ini, katanya, warga masyarakat, tokoh pemerintah, tokoh agama, dan akademisi belum fokus pada isu ini. Karena itu, Heny menantang para peserta seminar untuk tidak hanya berhenti pada diskusi di mimbar tetapi terjun ke lapangan dalam upaya pemberantasan perdagangan orang ini.

BAGIKAN