•  Beranda  /
  •  Mahasiswa  /
  •  “PERGELARAN FESTIFAL SASTRA DAN TEATER PADA SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO”

“PERGELARAN FESTIFAL SASTRA DAN TEATER PADA SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO”

img

*Oleh: Jivansi Helmut. Penikmat sastra. Jurnalis Flores Editorial.

 

  • Menyimak realitas sosial dalam seni sastra dan teater

“Jangan jadi pegawai negri, jadilah mejikan atas dirimu sendiri. Jangan makan keringat  orang lain, makanlah keringatmu sendiri. Dan buktikanlah itu dengan kerja. Jangan takut pada kerja, sebab kerja itu mulia.”

Demikian Fr. Yanto Lobo dalam sambutannya membuka secara resmi pergelaran kegiatan workshop, seminar, launching, dan bedah buku serta pementasan teater di bawah spirit dan juga visi menyimak realitas sosial dalam sastra dan teater yang berlangsung di aula kampus STFK ledalero sore hari (29/16).

Dalam penjelasannya, ketua senat mahasiwa STFK Ledalero periode 2016/2017 tersebut mengatakan, penyelenggaraan kegiatan festifal sastra oleh senat mahasiswa STFK Ledalero seutuhnya dilatarbelangi oleh tingginya minat dan bakat serta ketertarikan mahasiswa STFK Ledalero dalam bidang sastra dan teater.Karena itu, ia pun berharap agar kegiatan semacam ini terus berlanjut sehingga mampu menjadi ruang ‘menjadi’, dalam proses pencarian dan penemuan diri.

“Melihat tingginya minat dan bakat, serta ketertarikan mahasiswa STFK Ledalero dalam bidang sastra dan teater, maka SEMA STFK Ledalero menyelenggarakan kegiatan festifal sastra. Harapannya, semoga kegiatan semacam ini bisa terus berlanjut sehingga mampu menjadi ruang ‘menjadi’, dalam proses pencarian dan penemuan makna diri”, kata Fr. Yanto Lobo.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa tema seminar yang diusung dalam pergelaran festifal sastra ini adalah membaca Pramoedya Ananta Toer. Hal yang dimaksud, menurutnya adalah untuk melihat visi nasionalisme yang digagas oleh Pramoedya dalam relevansinya dengan situasi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.

Sastra NTT Mesti Tampil sebagai ‘Advocatus Diaboli’

            Sementara itu, pembicara I, Rm. Ino Mansur, dalam seminarnya berjudul “Sastra NTT sebagai ‘Advocatus Diaboli’ menegaskan bahwa untuk konteks kita di Indonesia, khususnya di NTT, peran sastra sebagai ‘Advocatus Diaboli’ seutuhnya sangat dibutuhkan, khususnya dalam situasi dimana rakyat mengalami penderitaan oleh banyaknya janji politik yang belum sepenuhnya direalisasikan. Sastra yang berperan sebagai advocatus diaboli adalah sastra yang senantiasa membela rakyat dari berbagai bentuk marginalisasi dan mengganggu berbagai kebijakan publik yang tidak mengakomodasi kepentingan rakyat. Sastra harus mengadvokasi kepentingan rakyat. Sastra tidak boleh membiarkan rakyat ditindas.

            “sebagian besar rakyat NTT masih menderita. Impian untuk hidup sejahtera masih jauh dari harapan. Berbagai janji politik yang pernah diberikan kepada rakyat tentang hidup baik, belum sepenuhnya direalisasikan. Di saat seperti ini, rakyat membutuhkan pembela yang mengadvoksi hak-hak mereka untuk mendapatkan hidup layak.Di sinilah peran sastra NTT dibutuhkan. Sastra NTT mesti tampil sebagai advocatus diaboli yang senantiasa membela rakyat dari berbagai bentuk marginalisasi dan mengganggu berbagai kebijakan publik yang tidak mengakomodasi kepentingan rakyat. Sastra yang mesti berbicara mengenai kepeduliaan sosial dan politik”, kata Rm. Ino Mansur.

Kekuasaan Bukanlah Sesuatu yang Diturunkan dari Langit

            Selain itu, bapak Agustinus Fahiksebagai pembicara II, dalam seminarnya dengan topik ‘Membedah Wacana Kekuasaan Bersama Pramoedya Ananta Toer’, mencoba melihatbagaimana pertalian antara pengetahuan dan pemahaman sejarah dengan kekuasaan, ditambah dengan hadirnya empat faktor dalam anggapan Pram serta relevansinya dengan situasi sosial politik yang melanda tanah air saat ini.

Menurutnya,lewat roman Arok Dedes, Pram membalikkan pandangan tradisional timurbahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang durunkan dari langit, sesuatu yang diberikan oleh dewa sebagai warisan yang mengalir dalam urat nadi kaum bangsawan  berdarah biru dengan menunjuk bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang bisa dikonstruksikan dengan bertumpu pada pengetahuan. Namun hal tersebut belum menjamin diraihnya kekuasaan. Diperlukan empat faktor lainnya, yakni teman, kesetiaan, uang, dan senjata.

“Pram dalam roman Arok Dedes sejatinya mau menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang diturunkan dari langit tetapi merupakan hasil konstruksi yang bertumpu pada pengetahuan manusia. Dan untuk mnjannya dibutuhkan empat factor tambahan, yakni teman, kesetiaan, uang, dan senjata”, kata Agustinus Fahik.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa jika roman  Arok Dedes dipakai untuk melhat situasi sekarang, maka saya memilih fenomena tampilnya Ahok sebagai calon DKI Jakarta yang kerap dihantam dengan isu SARA oleh lawannya. Ahok  memang tidak memiliki latarbelakang kemunculan mistis tetapi Ahok menemukan penggantinya yang sepadan, yakni media. Namun demikian, ia mengingatkan bahwa Ahok sendiri setidaknya memiliki 5 dari 6 unsur yang digambarkan Pram dalam analisisnya terhadap peristiwa Tumapel, yaknipengetahuan, senjata, teman, kesetiaan dan uang.

“Sekilas terlihat permainan isu SARA dalam perseteruan di DKI Jakarta, tetapi sebetulnya isu itu hanya bungkus luarnya saja. Subsatansi yang ada dibalik permainan isu itu tidak lain adalah persoalan kekuasaan, baik politk maupun ekonomi. Dan orang lain boleh saja memiliki lima unsur yang ada dalam kaca mata Pram, namun unsur terakhir, yakni media, masih memberi keunggulan kepada Ahok”, lanjutnya.

Ia pun menambahkan tentang posisi kaum intelektual yang berpengetahuan. Baginya, jika pengeetahuan dianggap bertalian dengan kekuasaan maka kaum intelektual yang mempunyai pengetahuan jelas memliki peran kunci dalam sebagan atau seluruh proses merebut kekuasaan itu.

Launching dan bedah buku

            Setelah kegiatan seminar selesai, dilanjutkan dengan acara launching dan bedah buku puisi ‘Minggu Pagi’ karya Ardi Suhardi dan ‘’Mausoleum’ karya Erik Lengobelen. Kegiatan ini dipandu oleh Fr. Reinald L. Meo dengan menghadirkan penerbit dari kedua buku kumpulan puisi tersebut.

            Media ini mencatat, selama kegiatan bedah buku berlangsung,kedua penulis dihadapkan dengan pelbagai macam pertanyaan seputar judul dan isi buku serta inspirasi dibalik karya tulis yang dihasilkan. Selain itu, penulis juga diminta untuk membagi pengalamannya dalam penulis.

            Menjawabi pertanyaan yang ada, penulis buku puisi‘mouselsumi’,Fr. Erik Lengobelen mengatakan, kumpulan puisi yang kini hadir dalam bentuk buku seutuhnya bukan tanpa proses yang panjang. Ia mengaku bahwa terkadang satu puisi itu dihabiskan atau diselesaikannya dalam waktu yang berbulan-bulan dan bahkan memakan waktu satu tahun.

            “Saya menulis puisi untuk puisi.Bagi saya, puisi itu suatu perjumpaan yang lebih jauh dari suatu perjalanan. Dan saya menulis puisi itu bukan dalam sekali jadi. Akan tetapi memakan waktu atau proses yang cukup lama. Kadang, satu puisi saya habiskan dalam waktu yang berbulan-bulan dan bahkan satu tahun”, kata Fr. Erik Lengobelen.

            Berbeda dengan yang disampikan oleh Fr. Erik Lengobelen, penulis buku ‘Minggu Pagi’Fr Ardi Suhardi mengatakan bahwahampir seluruh bangunan puisi yang ia tulis itu seutuhnya tidak lari jauh dari pengalaman hidupnya sehari-hari.

            “Saya menulis puisi tentang sesuatu yang saya temukan dalam kehidupan sehari-hari. Di dalamnya tersirat suatu harapan dari saya agar kita tidak mengabaikan banyak hal dalam hidup, kendatipun hal yang kita temukan itu sangat sederhana dan dianggap biasa”, tegas Fr. Ardy Suhardi.

            Sementara itu, kedua penerbit yang sengaja didatangkan dalam acara launching dan bedah buku tersebut mengungkapkan harapannya agar kedua penulis puisi tetap mengembangkan kemampuannya dalam menulis. Bahkan mereka mengaku bahwa mereka masih tetap menunggu karya-karya baru, baik dari kedua penulis maupun dari mahasiswa STFK Ledalero lainnya yang juga mempunyai minat dalam membuat berpuisi.

 

Pementasan teater

            Seluruh rangkaian kegiatan festifal ini pun ditutup dengan pementasan sastra dan teater yang dibawakan oleh SMAK Bhaktiarsa (deklamasi puisi), Aletheia (teater: Merdeka belum merdeka), SMAK Yohanes Paulus II (Deklamasi Puisi,: Jembatan-Sutardji CalZoum Bachri), teater perempuan biasa (Monolog aku perempuan), Kahe (deklamasi Puisi), Teater Tanya (Monolog), Teater Tanya (Teater Naga lalang).

            Disaksikan oleh media ini, kegiatan yang sedikitnya dihadiri oleh ratusan mahasiswa STFK Ledalero ini nampaknya memang mengesankan. Pelbagai mata acara seperti pembacaan puisi dan beberapa nomor lagu dari STFK Band dan anak anak muda Maumere ikut meramaikan kegiatan festifal sastra tersebut. Tidak heran jika para mahasiswa dan puluhan undangan lainnya tampak enggan untuk meninggalkan aula tempat pergelaran festifal tersebut hingga waktu menunjukan pukul 10.00 malam hari.

 

BAGIKAN