Salah satu hal yang diutarakan Maria Mathildis Banda mengenai tujuan menulis (sastra) ialah “mengambil kesempatan untuk berbicara dalam pembicaraan publik”. Dengan kata lain, menulis memiliki andil besar dalam menciptakan argumentasi-argumentasi, entah membangun ataupun menjatuhkan, bergantung pada kualitas menginterpretasikannya. Hal ini mau menunjukkan betapa berharganya keterampilan menulis dalam mengikutsertakan diri pada ranah ruang dan waktu. Kenyataan esensial universal manusia ini perlahan mengangkat manusia sebagai substansi yang benar-benar exist dalam universal itu sendiri. Sejauh ini, realitas esistensial yang demikian kerap dipandang sebagai partikular dari universal manusia. Artinya, sebagian manusia mempunyai kualitas pada “mengambil bagian dalam menentukan arah pendaapat umum.
Pemahaman a priori, bahwasannya sebagian itu –identik dengan minoritas- tidak mampu menggoyangkan apa yang oleh banyak orang disebut sebagai nasib bersama, ternyata cukup melunturkan ambisi untuk mengubah paradigma bersama. Hanya ada beberapa orang dari sebagian yang memanfaatkan degradasi spirit ini untuk menaikkan suku mereka bernama Sastra, kendatipun kekalutan menemani. Situasi kejatuhan terbuka lebar-lebar sehingga tidak mampu menatapnya, apalagi mencoba untuk bangkit. Alhasil, kejatuhan benar-benar berasal dari kekalutan mereka sendiri.
Sastra masih hidup, ia tidak mati, tetapi ia hanya berubah dari bentuk yang satu kepada bentuk yang lain. Fakta membuktikan bahwa periodesasi-periodesasi historis sastra mengalami evolusi; bahasa, gaya hingga pada perubahan spirit-filosofis angkatan masing-masing. Setiap angkatan memiliki kekhasan masing-masing, serta berbagai gejolak revolusionernya. Jatuh bangun pun tidak mudah dielakkan dari sejarahnya. Apa yang mereka lakukan dalam perubahan-perubahan ini? Lantas bagaimana kelanjutannya hingga sekerang?
Dalam tempat yang pertama, terdapat berrbagai kenyataan bahwa nama dan jiwa kesusatraan saat ini mengalami perubahan. Oleh orang-orang dalam zaman ini, sastra memasuki era baru, sebagai era kesusastraan kontemporer[1]. Kekhasannya yang paling menonjol ialah bahwa mereka yang bergelut di dalamnya bebas mengekspresikan apa yang dirasakan melalui kata-kata yang menawan. Bahkan pengagumnya mulai menjamur di mana-mana. Kebebasan menafsir memberi dua dampak sekaligus, ke arah yang lebih kreatif dan sekaligus ke arah yang berlawanan. Apakah kebebasan ini tidak melahirkan kematian jiwa esensial dari kesusartraan itu sendiri?
Realitas yang terjadi bahwa sastra perlahan mengalami peralihan fungsi, mungkin juga jiwa sastra itu, dari makna sesungguhnya kepada makna yang diciptakan berdasarkan keanekaragaman interpretasi. Dengan bertolak dari berbagai sudut pandang dalam ruang dan waktu, kebebasan mengambil alih seluruh perhatian sastra pada sasaran utama, yakni sastra bagi kemanusiaan. Fungsi kritis-analitis justru berubah drastis, entah sudah kehilangan arah atau tidak pernah memiliki arah, berjalan berdampingan. Bersamaan dengan itu, penghuni kelompok ini lebih mengutamakan kreativitas semu yang mereduksi makna aslinya menjadi antitesis sebuah tujuan mulia, berpedoman pada nilai estetika.
Sastra Kontemporer harus Memiliki Jiwa
Kemudahan yang dimiliki membawa tiap orang bebas melakukan sesuatu, tanpa ada batasan ataupun pedoman yang mengikat. Hal ini, secara tidak langsung, melatih tiap orang itu untuk mematikan jiwa yang sesungguhnya, dalam hal ini, jiwa sastra sendiri. Orisinalitas makna sastra digantikan oleh kedegilan berpikir, yang hanya memanfaatkan sastra sebagai ajang untuk mencari nama. Mungkin mereka beranggapan bahwa hidup ini untuk mencari keuntungan belaka. Harus ada satu pengetahuan mendasar bahwa sastra memiliki otoritas hakiki dalam berperan serta memberikan secara aktif sumbangan argumentasi-argumentasi kritis-konstruktif demi kemajuan bersama. Muncul pembelaan rasional mengenai model sastra yang terbaru, sastra kontemporer,
Sastra kontemporer pun memiliki tempat yang sama dalam kehdupan kaum muda (mahasiswa), yang menurut Frans Magnis Suseno sebagai the moral force of the Nation[2]. Setiap orang bebas mengekspresikan dirinya dalam dan melalui karya sastra bergantung pada seberapa kuat kemauannya untuk menekuni bidang ini. Banyak mahasiswa memanfaatkan sastra sebagai ajang untuk memperkenalkan diri kepada dunia publik, bahkan menganggap sastra semata-mata sebagai hobi tanpa makna. Hematnya, sastra seolah dipaksa melegalkan dirinya untuk memainkan fungsi ekonomis bagi ‘penganutnya’. Sastra telah mengalami penurunan fungsi dan makna, ketika semua melihat bahwa sastra merupakan bentuk luapan curhat yang kehilangan daya privilesenya.
Improvisasi-improvisasi bukannya memberi makna khas dan khusus bagi model sastra ini, melainkan malah mengganggu kenyamanan para penggemar, akibat melenceng dari pedoman mainnya. Apa yang menjadi latar belakang bahwa sastra kontemporer mengalami degradasi ialah, pertama, para ‘penganutnya belum mengenal lebih jauh tentang sastra kontemporer itu sendiri. Akibatnya, makna asli atau tujuan serta sasaran esensialnya menjadi tercoreng dan agak kabur. Kedua, bahwasannya ia hanyalah sastra musiman, karena muncul pada saat-saat tertentu, tanpa keberlanjutan. Output-output yang dihasilkan kerap memasuki masa vakum yang cukup lama. Hal ini mengindikasikan bahwa produktivitasnya masih jauh dari cukup. Hal yang pasti, juga bisa menjadi kekhasan, yakni, kemandekan dalam menghasilkan sebuah karya, belum lagi berdasarkan aktualitas-humanitasnya.
Sastra kontemporer, oleh para penganutnya diharapkan untuk memiliki disparitas-disparitas yang dapat memisahkan dirinya dari satra yang lain. Harapan ini yang menuntun tiap penghuninya mengubah paradigma individu demi membangun suatu bonum commune yang ideal. Kualitas para pengarang[3] ditentukan oleh seberapa besar kontribusinya bagi kemakmuran keluarga manusia, bukan dilihat dari seberapa indahnya kata-kata yang disuguhkan. Bahaya bila para pengarang kontemporer memisahkan dirinya dari kenyataan manusia yang kompleks, apalagi hanya mengejar reputasi sesaat. Para pengarang ini merupakan sebagian yang mengambil alih kepercayaan publik untuk memberi sumbangsih melalui pengambilan bagian dalam pembicaraan umum. Lantas, mereka pun mengubah kekeliruan sebagai minoritas yang mati, menjadi minoratas yang turut aktif dalam penentuan keputusan publik.
[1] Penulis memahami kontemporer sebagai sesuatu yang terjadi pada masa kini.
[2] Secara lugas, ia ingin mempertanyakan etos kerja para mahasiswa dalam menanggapi aneka persoalan dalam hidup, secara khusus bertalian dengan ketidakadilan yang menimpa keluarga manusia. Mengenai hal ini, banyak aktivitas-aktivitas mahasiswa yang terkesan membungkam kebebasan ‘menalar’ dan berekspresi.
[3] H.B.Jassin mendefenisikan manusia pengarang sebagai sesuatu yang bukan barang yang bisa diperhitungkan secara mutlak. Seniman adalah manusia yang jiwanya sendiri tidak seperto mesin. Ia melihat bahwa pengarang butuh proses untuk menjadi pengarang yang benar-benar realis-kontekstual. H.B.Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essai III (Jakarta: PT Gramedia, 1985), hlm.19.
BAGIKAN
PROGRAM STUDI SARJANA FILSAFAT PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK PROGRAM STUDI SARJ0
Penerimaan mahasiswa baru IFTK Ledalero tahun akademik 2025/2026 Prodi Ilmu Filsafat (S1) Prodi Pend0
Pendaftaran Online Program Studi Sarjana Filsafat, PKK, DKV, Kewirausahaan, Sistem Informasi & Magis0
© Copyright 2025 by Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - Design By Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero