•  Beranda /
  •  E-Mading /
  •  Opini /
  •  SASTRA: KARYA SENI YANG MENGISAHKAN SESUATU SERENTAK MENGUSULKAN SESUATU

SASTRA: KARYA SENI YANG MENGISAHKAN SESUATU SERENTAK MENGUSULKAN SESUATU

img

Sastra Sebagai Karya Seni

            Hakikat karya seni adalah keindahan. Atau dengan kata lain, tidak ada karya seni yang tidak mengandung unsur-unsur keindahan. Karya seni itu identik dengan keindahan.[1] Dalam sejarah peradaban dunia, keindahan (yang punya korelasi dengan karya seni), sering didiskusikan atau diperdebatkan mengenai eksistensinya. Ada banyak orang yang cendrung skeptis dengan keindahan yang harus dikaitkan dengan karya seni. Bahwa keindahan itu tidak selalu memiliki hubungan dengan karya seni, karena ada hal-hal lain juga yang seharusnya diidentikkan dengan keindahan itu sendiri. Bertalian dengan ini, Plato sendiri memiliki pandangan yang khas tentang keindahan. Hemat Plato, keindahan itu hanya terkandung dalam dunia ide-ide, dunia yang mengatasi kenyataan, yang tidak secara langsung terjangkau oleh pikiran manusia.[2] Menurut Plato, hanya filsuflah yang dapat menangkapnya. Berarti tidak ada orang lain lagi yang dapat melihat dan memaknai keindahan itu selain mereka yang diakui sebagai filsuf atau yang menyebut diri sebagai filsuf. Oleh karena itulah, karya seni dalam hubungan ini dianggap bermutu rendah sebab merupakan mimesis, tiruan dari tiruan, karya seni yang subordinasi kenyataan.

            Dalam hubungan inilah tampil Aristoteles, khususnya dalam bukunya yang berjudul Poetica, yang kemudian menjadi nama cabang ilmu sastra, sebagai mediator sekaligus mengembalikan fungsi karya seni dalam kehidupan manusia.[3] Menurut Aristoteles, karya seni tidak bermutu rendah sebab berfungsi sebagai katarsis (penyucian). Lebih dari itu, karya seni memiliki misi yang jauh lebih tinggi, membentuk dunianya sendiri sehingga mengatasi kenyataan yang ada. Karya seni justru meningkatkan kehidupan masyarakat. Pandangan Aristoteles di atas adalah benar sebagai usaha mumpuni untuk mengembalikan fungsi karya seni bagi kehidupan manusia dan juga sebagai jalan untuk memantik kesadaran masyarakat bahwa keindahan itu terdapat dalam karya seni yang dihasilkan oleh manusia. Aristoteles di sini serentak menyadarkan masyarakat untuk memaknai karya seni yang mencakup keindahan itu yang tentu berguna bagi perjuangan hidup mereka. Ada banyak karya seni yang kita kenal dari dulu hingga sekarang. Di antaranya ialah seni lukis, seni rupa, seni arsitektur, seni tari dan seni sastra. Masing-masing karya seni ini menampilkan kekhasannya melalui keindahan yang langsung terpancar dan terlihat ke permukaan. Di antara karya-karya seni yang lain, ciri khas karya sastra ialah manifestasinya sebagai model kedua sesudah bahasa. Artinya aspek-aspek keindahan karya sastra sebagian terbesar ditampilkan melalui medium bahasanya. Dalam karya sastra, gaya bahasa memegang peranan yang sangat penting.[4] Bahasanya tentunya dibentuk melalui huruf, kata dan kalimat dan oleh karena itu siapa pun yang ingin ‘mengonsumsi’ karya sastra maka dia harus memperhatikan secara baik unsur-unsur itu. Keindahan sastra sebagai karya seni tidak langsung ditunjukkan melalui tubuh tulisan, melainkan dapat diperoleh melalui kemauan para pembaca untuk menelisik huruf per huruf, kata per kata dan kalimat per kalimat dari karya sastra tersebut. Maka tidaklah cukup berdasar apabila kita menyebut keindahan dari sebuah karya sastra apabila kita belum menyentuh karya sastra yang dimaksud untuk kemudian coba membaca dan memaknainya secara seksama. Selain memberi atensi khusus pada unsur-unsur itu perlu juga bahwa diingat penilaian dan pemaknaan terhadap karya sastra sangat tergantung dari subjektivitas seorang pembaca atau penilai. Apa yang dimaksud oleh penulis (sastrawan/i), belum tentu ditemukan oleh para pembaca dalam seluruh hasil karyanya. Atau apa yang dipahami oleh penulis bahwa karyanya amat cocok untuk membahasakan sesuatu belum tentu cocok bagi para pembaca. Dengan demikian, keindahan karya sastra sebagai karya seni dapat ditemukan oleh masing-masing pembaca yang sempat membacanya. Yang terpenting sebenarnya ialah bagaimana karya sastra itu berbicara dan bagaimana pula respon atau komentar para pembaca terhadap karya terebut dan serentak dapat memberi manfaat lebih bagi mereka. Sampai pada aras ini, kita perlu bertanya: apakah karya sastra hanya sekadar karya seni? Apa lebihnya karya sastra bagi perkembangan kebudayaan dan masyarakat?

Sastra: Mengisahkan Sesuatu Serentak Mengusulkan Sesuatu

            Sastra tidak terbatas sebagai karya seni saja. Sastra lebih dari sekadar sebagai karya seni. Ia tidak sebatas sebagai karya yang memenuhi kesenangan seorang penulis. Ia tidak terbatas pada ruang gerak seorang pengarang. Usaha untuk mengolahnya sebagai karya seni memang merupakan sebuah pergulatan dan hasil pembatinan pribadi dari pengarang. Namun, karya itu amat berarti jika ada pengungkapan keluar untuk dibaca dan dinikmati oleh orang lain, karena bisa saja karya itu dapat berbicara banyak mengenai pergulatan hidup pembaca sekaligus membantu pembaca memahami sebuah realitas secara lain. Dan karya seni yang diciptakan semata-mata demi kepuasan diri pribadi seniman, sebagai seni untuk seni, khususnya dalam visi kontemporer justru dianggap melemahkan semangat.[5] Tanpa mempermasalahkan keberadaan karya sastra tertentu yang hanya sebagai seni untuk seni, di sini penulis berantensi untuk menggambarkan secara sederhana karya sastra yang merupakan karya seni yang mengisahkan serentak mengusulkan sesuatu.

            Karya sastra tidak dapat dibuat begitu saja oleh pengarang tanpa ada pengalaman akan sesuatu. Pengarang tidak bisa menulis dari ketiadaan. Pengarang menulis, apalagi sastra berangkat dari apa yang terjadi dalam realitas. Dia berpuisi dari kenyataan yang barangkali sangat mengekang dan memaksanya untuk harus berbicara dan berkomentar mengenai kenyataan itu. Misalnya, sekarang bangsa kita dikacaukan oleh pelbagai problem pelik, seperti, korupsi, perdagangan manusia, pungutan liar, pemerkosaan, ketidakadilan gender, masalah SARA dan masalah-masalah kemanusiaan lainnya. Seorang penyair yang hatinya amat terbuka untuk melihat dan membaca realitas akan masuk dalam keheningan guna menginternalisasi berbagai patologi sosial yang terjadi di atas. Dia akan berbicara dari sisi tiliknya sebagai penyair dan memenuhi tubuh tulisannya dengan gaya fiksi namun sesungguhnya sedang berbicara mengenai relaitas yang sebenarnya tidak perlu muncul di negara yang bersistemkan demokrasi ini. Di sini, sastra bisa membantu masyarakat untuk mengetahui akan apa yang sedang terjadi serentak menyadarkan publik bahwa ternyata ada begitu banyak masalah yang pelan tapi pasti mengancam eksistensi negara ini sebagai negara kesatuan yang berdasarkan pada Pancasila. Dalam opininya, Rm. Ino Mansur[6] menerangkan bahwa hampir dipastikan bahwa makna yang terkandung dalam sastra-sastra kita di Indonesia adalah saling menghargai, saling mencintai, sikap ksatria, romantisme, menerima perbedaan, mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sastra di Indonesia selalu mengajarkan keutamaan-keutamaan hidup.

            Dalam mengisahkan segala realitas ini, sastra juga serentak mengusulkan sesuatu yang baru. Sebuah dunia yang baru. Apa yang diusulkan itu dirindukan supaya sanggup menghadirkan situasi dunia yang baru, situasi bangsa Indonesia yang baru. Dan kebaruan itu tentu mengarahkan pada hal-hal yang sudah disebutkan oleh romo Ino Mansur dalam opininya atau selalu mengusulkan hal-hal yang selalu baik demi kemajuan dan integritas bangsa dan negara tercinta, Indonesia. Sang penyair penting sekali mengusulkan dunia yang baru itu agar menjadi semangat dan akhirnya menjadi habitus yang membentuk sikap warga negara dalam memaknai kehidupan yang dinilai serba rumit ini. Atau dalam bahasa Hemnut Peukert sebagaimana dikutip Paul Budi Kleden[7] bahwa tujuan sastra adalah mengasingkan pembaca dari situasinya dengan mengisahkan sesuatu yang lain dari dirinya sendiri, kemudian menggoncangkan pemahamannya akan realitas untuk pada akhirnya membuka ruang bagi tindakan dan pemahaman baru akan kenyataan.

Penutup

            Sastra merupakan karya seni yang memakai bahasa seabagai medium utamanya. Keindahannya sangat ditentukan oleh pemilihan diksi dari seorang penyair. Namun, secara komprehensif, tatkala karya sastra sudah menjadi bahan konsumsi publik maka subjektivitas seorang pembacalah yang dapat menilai akan keindahan dari sebuah karya sastra. Dan apa yang dibahasakan oleh sang penulis akan ditafsir secara berbeda oleh para pembaca. The last but not least, yang menjadi inti dari karya sastra adalah dia tidak sekadar sebagai karya seni yang terbatas memenuhi keinginan pengarang atau pembaca, tetapi dia sesungguhnya membahasakan atau mengisahkan segala problem yang mewarnai cerita hidup masyarakat serentak pada saat yang sama mengusulkan sebuah ‘dunia baru’, yakni selalu mencakup keutamaan-keutamaan hidup-dalam konteks kita-bangsa Indonesia. 

 



[1] Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 154.

[2]Ibid., hlm. 26.

[3]Ibid.

[4]Ibid., hlm. 143.

[5]Ibid., hlm. 300.

[6] Inosentius Mansur, “Dialektika Sastra, Pancasila dan Kebinekaan”,  Flores Pos, 19 Agustus 2017, hlm. 12.

[7] Paul Budi Kleden, “Sastra Dalam Pendidikan Calon Imam”, Jurnal Ledalero, 6:1 (Ledalero: Juni 2007), hlm. 79.

BAGIKAN