Politisi Boneka: Quo Vadis Para Cendekiawan Muda?

img

KONVIK SEMINARI TINGGI ST. PETRUS RITAPIRET


Politisi Boneka: Quo Vadis Para Cendekiawan Muda?

Oleh: Ans Gara

            Diskursus terkait pilkada kembali mencuat dan menjadi trending topic akhir-akhir ini. Hajatan pesta demokrasi tersebut akan kembali digelar di tiga daerah kabupaten/kota  di Provinsi kita ini, yakni Lembata, Flores Timur dan kota Kupang. Berbagai manuver politik tengah dipertontonkan oleh para kontestan untuk menggaet minat para konstituaen. Di sini jelas, para kontestan mempunyai ambisi untuk bisa menang dalam pertarungan politik ini.

            Terhadap berbagai tawaran yang ada, para konstituen kerapkali merasa gamang dalam menentukan pilihan yang tepat. Para kontestan tampil dengan begitu anggun, memikat, percaya diri dan terlampau transendentis bak malaikat. Berbagai kepedulian dan keprihatinan sosial diungkapkan dengan begitu gamblang. Visi dan misi disusun dengan begitu konsisten demi kemaslahatan hidup bersama. Ibarat makan buah simalakama, para konstituen diperhadapkan pada tawaran-tawaran dilematis.

            Kenyataan demikian memang menjadi sebuah fenomena yang jamak kita temukan dalam perhelatan pemilu, entahkah eksekutif pun legislatif. Setiap kontestan dengan begitu lantang mengungkapkan ambisinya untuk meletakan politik pada tahta yang sebenarnya, bonum commune. Platform-flatform politik yang diusung niscaya mengarah kepada kepentingan rakyat. Sebagaimana demokrasi yang mengusung misi dari, oleh dan untuk rakyat, politik pun seyogyanya mesti mengarah pada cita-cita yang sama yakni kesejahteraan masyarakat. Tampak sangat mulia.

            Berkaca pada realitas yang ada, pandangan dan ambisi seperti itu rupanya hanya berkutat pada ranah spekulatif dan tampak jauh panggang dari api tatkala dikonfrontasikan dengan ranah praksis. Politik dengan demikian hanya dipahami secara teoretis dan bukan praksis. Kecenderungan seperti ini telah berhasil mencetak potisi-politisi boneka yang dengan begitu mudah mengangkangi asa para konstituen (baca: masyarakat).

            Tulisan ini menjadi sebuah awasan dan juga memuat pertanyaan menantang bagi kita sebagai seorang insan akademik dan seorang calon imam yang tak bisa mengelak dari realita kebobrokan politik demikian. Selain itu intensi dasar penulisan karya sederhana ini ialah untuk mengetuk kesadaran kita terkait hegemoni politisi boneka dalam hajatan demokrasi dalam waktu dekat ini. Lantas, apa dan bagaimana politisi boneka itu?

Politisi Boneka: produk tawar-menawar kaum kapitalis dan penguasa pragmatis-hegemonik

            Kapitalisme telah berhasil merasuki setiap sendi kehidupan masyarakat dunia. Marx mengidentifikasi kapitalisme bukan semata-mata sebagai sebuah persoalan ekonomi pasar. Kapitalisme adalah sebuah paham multidimensional yang juga bersentuhan dengan persoalan ideologi, formasi sosial, dan dominasi politik (Denar, 2015: 3). Kapitalisme berhasil hadir sebagai figur determinan bagi arah dasar setiap dimensi kehidupan manusia tersebut. Hegemoni multidimensional inilah yang membuat kapitalisme berakar kuat dalam konstelasi hidup umat manusia dan militan dalam percaturan alternatif.

            Lankskap perpolitikan negeri kita, dari pusat hingga perpolitikan akar rumput, menunjukan secara eksplisit bagaimana dominasi kapitalisme sungguh-sungguh berakar kuat. Kapitallisme tidak kehilangan daya pesona kendati ia sering membawa dampak negatif bagi praktik perpolitikan kita. Keberadaan kapitalisme merupakan sebuah faktum yang menguntungkan seorang penguasa pragmatis-hegemonik. Dalam rangka merebut dan atau melanggengkan kekuasaannya, seorang penguasa pragmatis-hegemonik rela membangun suatu relasi yang akrab dengan kelompok-kelompok kapitalis.  Di sini terjadi proses tawar menawar antara kaum kapitalis dan penguasa pragmatis. Pada satu titik, seorang penguasa pragmatis membutuhkan kekuatan modal kaum kapitalis dalam memperebut, mempertahankan, dan melanggengkan kekuasaannya. Pada titik lain, sang penguasa menjadi penyokong utama  keberlangsungan hidup kaum-kaum kapitalis teristimewa dalam menyediakan faktor-faktor produksi dan lokus pemasaran.

            Pola relasi tawar menawar antara kaum kapitalis dan penguasa pragmatis tersebut dapat diidentifikasi dari dua fenomena miris berikut.  Pertama, pada masa pra-pemilu. Kehadiran kaum kapitalis dengan tawaran modal ekonominya amat kental pada masa-masa pra pemilu. Modal menjadi syarat yang penting dalam sebuah pertarungan politik. Namun, kenyataan-kenyataan yang nampak pada tahapan pra pemilu menunjukan tendensi politisi untuk mereduksi modal pada taraf ekonomi semata. Seorang politisi dapat menguasai ranah pollitik apabila ia mempunyai basis modal ekonomi yang kuat. Konsekuensi praktis dari kerangka berpikir demikian adalah penggunaan uang yang begitu kental dalam persaingan politik semisal praktik money politic.

             Kedua, moment pemilu. Para pemilik modal kerapkali memainkan peran penting pada tahapan ini. Seorang penguasa pragmatis-hegemonik mempunyai ambisi yang amat besar untuk memenangi kontestasi politik. Ia tidak segan-segan menggunakan cara-cara kotor untuk merealisasikan ambisinya. Sekai lagi, politisi demikian memanfaatkan kekuatan kerangka berpikir pasar untuk memulukkan hasrat tersebut. Pada titik inilah kita akan bersua dengan praktik-praktik suap, kolusi dan nepotisme terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pemilu.

            Pasca pemilu, pola relasi yang pada awalnya berlangsung mutual ini lambat laun akan berubah menjadi sebuah relasi subordinatif. Kaum kapitalis dengan begitu jumawa mendominasi ranah politik sedang para penguasa legitim kehilangan daya dan taji berhadapan dengan kaum kapitalis. Mereka seakan diinstrumentalisasikan untuk mengejar tujuan-tujuan kaum kapitalis. Peraturan perundang-undangan dibuat, kebijakan politik disusun, propaganda-propaganda politik dipekik. Semuanya hanya menjadi katalisator yang memulukan hasrat ke-kapitalisasi-an kelompok kapitalis. Panggung politik adalah milik kelompok kapitalis.

            Faktum demikan telah berhasil menelurkan politisi-politisi boneka. Politisi boneka adalah politisi yang tidak punya pendirian dan jati politik. Kebijakan politik mereka hanya digerakan oleh kepentingan kelompok pemilik modal. Pada praksisnya politisi boneka tidak mempunyai platform politik unggulan. Praktik politik yang ditampilkan mempunyai tendensi untuk menegasikan cita kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kendati muak, rakyat selalu disuguhkan oleh berita-berita miris semisal korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahkan, secara ekstrim politisi demikian juga kerap menunjukan pembangkangan secara gamblang terhadap kehendak rakyat demi sembah baktinya terhadap kaum kapitalis. 

Quo Vadis Para Cendekiawan Muda

            Tampang politik sebagaimana yang diulas penulis pada bagian sebelumnya menjadi sebuah tantangan yang tidak bisa diingkari oleh seorang cendekiawan muda (baca: mahasiswa) dalam upayanya membawa terang bagi masyarakat. Pada titik ini harus dibangun sebuah kesadaran bahwa pembicaraan politik bukan melulu menjadi tupoksi dari kelompok pemerintah dan masyarakat tertentu. Dengan demikian para cendekiawan muda lantas bersikap indiferen dan tidak peduli dengan faktum kekelaman praktik politik demikian. Dalam konteks pembicaraan terkait pilkada yang sudah berada di ujung mata ini, seorang cendekiawan muda harus bisa hadir membawa terang yang akan menyingkap setiap kegelapan yang lahir dari rahim para politisi boneka.  Lantas, kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan menantang demikian, strategi apa yang dapat kita buat untuk mencegah kehadiran politisi-politi boneka tersebut dalam perhelatan pilkada kali ini?

            Sebagai seorang insan terdidik yang sedang dijejali oleh berbagai konsep Filsafat, para cendikiawan muda dapat memainkan kemampuan rationya dalam membedah berbagai fenomena sosial-politik. Filsafat telah mengajarkan setiap kita untuk bisa melihat sebuah fenomena sacara komprehensif dan inklusif. Praktik politik yang dipolarisasi untuk kepentingan kelompok tertentu sudah barang tentu mengangkangi nilai- nilai mendasar Filsafat tersebut. Namun, yang menjadi problemnya adalah kemampuan ratio yang berkutat pada ranah abstrak itu mesti bisa dikonkretisasikan agar taringnya tampak secara nyata. Pada titik inilah penulis menemukan relevansi aktivitas menulis di media massa sebagai salah satu (bukan satu-satunya) langkah konkretisasi pengetahuan abstrak tersebut.

Pada hemat penulis, habitus menulis di media massa menjadi sebuah langkah yang cukup efektif dan efisien dalam melawan hegemoni politisi boneka. Alasannya dapat dilihat dari dua kacamata berbeda berikut. Pertama, secara kuantitatif media massa memberikan ruang yang begitu luas sebagai lokus artikulatif dari setiap pemikiran kita. Menulis di media massa semisal koran lokal memungkinkan ide atau gagasan kita bisa dibaca oleh masyarakat luas. Dengan demikian tulisan kita dapat memberi pengaruh kepada masyarakat umum. Di sini, masyarakat luas akan disadarkan tentang kiprah para politisi boneka pada panggung politik. Kedua, secara kualitatif isi tulisan kita akan mempengaruhi mindset masyarakat. Hal yang terpenting di sini adalah fungsi kritis dari setiap tulisan yang dibuat. Dalam kaitannya dengan fenomena politisi boneka, tulisan kita hendaknya  mampu mengajak masyarakat untuk bersikap kritis terhadap setiap manuver politik yang dipertontonkan oleh para kontestan politik. Politisi boneka kerap menggunakan kekuatan pasar dalam setiap manuver politiknya. Kekuatan uang menjadi satu-satunya kekuatan mengingat ia tidak mempunyai basis modal lain semisal massa atau pogram politik unggulan. Kehadirannya dalam sebuah pertarungan politik semata-mata disebabkan oleh ambisi untuk memenangi kontestasi politik dan menduduki tahta kekuasaan.  Fenomena-fenomena nyata yang umumnya menyertai keberadaannya adalah praktik money politik dan kampanye hitam dengan menghina kontestan lain. Selain itu, sebagaimana dikemukakan sebelumnya politisi boneka juga hadir secara implisit dalam momen penyelenggaraan pemilu. Pada tahapan ini, mereka kerap melakukan suap dengan lembaga pemilihan umum untuk memanipulasi jumlah konstituen yang berhak memilih dan atau memanipulasi perolehan suara pada institusi penyelenggara pemilu.

            Melihat beberapa alasan di atas, penulis melihat bahwa aktivitas menulis di media massa menjadi sebuah aufgabe yakni suatu tugas yang mesti dilaksanakan oleh setiap cendekiawan muda dalam menghadapi pilkada mendatang. Menulis di media massa adalah sebuah kemendesakan dan karena itu aktualisasinya tidak bisa ditentang atau bahkan ditunda. Diharapkan, melalui aksi ini, praktik politik kita tercerahkan dan kelompok-kelompok politisi boneka bisa ditobatkan. Dengan demikian hajatan demokrasi kali ini dan selanjutnya bisa melahirkan politisi dan penguasa yang sungguh-sungguh berintegritas dan bebas dari kongkalingkong dengan kelompok-kelompok kapitalis. Semoga!



 Mading Edisi III November 2016

BAGIKAN