•  Beranda /
  •  E-Mading /
  •  Opini /
  •  Membangun Politik Pengakuan dalam Menyantuni Pluralisme Agama

Membangun Politik Pengakuan dalam Menyantuni Pluralisme Agama

img

Wisma Gabriel - Ledalero


 

Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia. Lebih dari 17.000 pulau membujur dari Sabang sampai Merauke. Di sinilah sekarang hidup lebih dari 240 juta warga Indonesia dengan 200 sukunya dan lebih dari 300 bahasa Daerah.[1]Realitas ini membuat Indonesia menjadi ranah pertemuan pelbagai keunikan di atas prinsip Kebhinekaan Tunggal Ika. Di satu sisi, keberagaman itu menjadi khazanah kekayaan bangsa. Namun, di sisi lain pluralitas itu terkadang menjadi ‘scandalum’ manakala dipandang sebagai ancaman di ruang publik.

            Salah satu fenomena pluralisme di Indonesia adalah agama. Diskursus agama kerapkali menjadi sesuatu yang sensitifdi Indonesia. Agama memiliki peran sentral dan strategis untuk memupuk rasa bangga. Agama selalu ditakar sebagai parameter moralitas dan kebaikan bersama. Namun absolutisme terhadap nilai agama tertentu menjadi lahan subur bertumbuhnya friksi sosial. Pola pikir inilah yang mendominasi realitas keberagaman di Indonesia.

 

Membaca Agama dalam Sejarah

            Tendensi absolutisme terhadap nilai-nilai agama sebenarnya telah bertumbuh dalam diskursus pembentukan dasar negara Indonesia. Paham negara agama sebagai sumber hukum nasional mulai terbuka dengan keluarnya Piagam Djakarta pada tanggal 22 Juni 1945, dimana negara Republik Indonesia didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Piagam Djakarta ini pada mulanya dimaksudkan sebagai mukadimah UUD 1945[2]. Konsekuensinya syariat Islam melandasi seluruh tatanan perundang-undangan Indonesia.       

            Rumusan ini dinilai kontroversial dalam realitas keberagaman Indonesia. Oleh karena itu, Admiral Maeda - Penguasa perang di Indonesia Timur menyampaikan berita kepada Hatta bahwa orang Kristen di Indonesia Timur tidak akan ikut manakala nilai-nilai agama Islam mendasari Pembukaan UUD. Maka atas desakan Hatta rumusan itu diganti dalam bentuk sekarang ini.[3]Berkaitan dengan ini, Muslim Demokrat seperti Mohamad Roem dari Partai Masyumi melihat bahwa penghapusan tujuh kata itu tidak mengkhianati aspirasi Islam. Ia juga memahami bahwa tidak ada satu pun ayat Quran dan Haditz yang meniscayakan sebuah negara Islam (Feillard dan Madinier, 2006: 155-157).

            Sejarah penghapusan tujuh kata itu kerap memengaruhi relasi Islam dan negara. Hubungan antara keduanya kerapkali ditandai dengan fluktuasi dan pasang-surut dalam pelbagai kepentingan. Dalam momen kasus Tanjung Priuk misalnya, nalar syariatik makin menguat ketika Soeharto mewajibkan Pancasila sebagai asas tunggal melalui Ormas No. 8 tahun 1985. Ormas dan Parpol wajib berasas Pancasila dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya sebagai dasar organisasi atau partai.[4]Semenjak itu,Islam radikal mulai mengorganisir kekuatan bawah tanah melalui pembentukan nalar syariatik dengan kaderisasi usrah.

            Pasca kematian orba, benih-benih radikalisme melalui nalar syariatik menemukan momentum strategis untuk merombak dasar negara. Jika pengalaman sejarah menghukum mereka dalam rahim orde lama, orde baru, melalui keterbukaan reformasi mereka memunculkan nalar syariatiknya dalam rumah tangga politik. Isu agama menjadi semacam anti tesis terhadap kegagalan negara dalam merajut kesejahteraan bersama (bonum commune). Iklim demokrasi yang diskriminasi, patologi birokrasi, ambruknya perekonomian dan kemiskinan menyuburkan semangat pengimplementasian syariat Islam. Dalam kerangka berpikir semacam itu, produk perundang-undangan dan tatanan politik, sosial, ekonomi dan budaya yang tidak sempurna dianggap sebagai bukti nyata kegagalan “produk” manusia yang harus diganti dengan Ideologi Tuhan.[5]

            Namun, radikalisme Islam ini tidak mampu merombak dasar negara. Pelbagai anarkisme pun diluncurkan sebagai bentuk pengkultusan akan suatu revolusi Tuhan. Ada beberapa bentuk peragaaan kekerasan yang menimpa Jemaat Ahmadiayah di Cikeusik Pandeglang Banten (6/2/2011) dan pembakaran Gereja di Temanggung Jawa Tengah (8/2/2011). Kaum fundamentalisini mengekspresikan kegalauannya dengan menghilangkan keberbedaan orang lain atas nama sebuah syariat Islam. Konsekuensinya, Islam radikal kian terdesak dari diskursus publik. Isu syariat Islam menjadi dagelan dan ekspresi politik primordial yang kehilangan pamor di mata publik. Pada Pemilu 2009 isu Syariat ini memenuhi ruang kampenye. Tapi keberadaan mereka tidak mendapat dukungan dari pemilih rasional. Bahkan erosi kepercayaan terhadap isu syariat dalam ranah politik merambah ke pemilu 2014 lalu. Menurut Servei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia elektabilitas partai-partai Islama (PKB, PPP, PAN, PKS) di bawah 5% pada pemilu 2014. [6]

 

Cita Rasa Pluralisme

            Keberagaman Indonesia perlu dibangun dalam spirit Pluralisme dalam menerima keberbedaan sebagai suatu khazanah kolektif. Pluralisme sebagai sebuah faktum melekat pada esensi manusia. Bagi Hannah Arendt, pluralisme ini berasal dari kodrat manusia sebagai pribadi (Persona)[7]. Ia bersifat unik. Keunikan inilah yang membuat manusia berbeda dari yang lain. Perbedaan tersebut saling memperkaya, ada realitas resiprokal demi sebuah ‘realitas kesempurnaan’ sosial. Pada titik ini, ide manusia sebagai zoon politicon a la Aristoteles mengalami pembenaran faktual. Oleh karena itu lebih lanjut Hannah Arendt mengafirmasi bahwa takada homogenitas alamiah atau kodrati antar manusia. Yang ada hanyalah inhomogenitas.[8]

            Diskursus mengenai pluralisme ini bukanlah sebuah fakta yang tidak penting melainkan sebuah doktrin.[9] Dalam bentuknya yang lebih luas, pluralisme berbeda dengan monisme[10], tentang hakikat tertinggi nilai. Barangkali pluralisme merupakan suatu afirmasi mengenai distansi dan rasionalitasnya sendiri. Terdapat banyak hal lain yang bernilai di samping melakukan apa yang harus kita perbuat secara moral. Moralitas selalu menyajikan nilai-nilai yang menjadi standar universal tentang pola-pola kebaikan dan keburukan. Maka kita bisa saja menjadi seorang pluralis menyangkut moralitas tanpa menyangkut segi-segi lain dari kehidupan yang baik.

            Nilai-nilai dalam realitas pluralisme tidak dimaksud untuk dikomparasikan. Khazanah nilai itu memiliki rasionalitasnya masing-masing. Konsekuensinya, setiap entitas keberagaman menghayati nilai tersebut tanpa pengabsolutan di ruang publik. Berkaitan dengan ini, Isaiah Berlin seorang tokoh pluralis menulis:

untuk mencermati kehidupan sebagai yang menyediakan suatu kemajemukan nilai, yang sama-sama sejatinya, sama-sama ultimnya, dan terutama nilai sama-sama objektifnya; kemajemukan itu karena tidak bisa dan tidak boleh ditata dalam sebuah hierarkis nirwaktu, atau dinilai dalam bingkai satu patokan mutlak tertentu. [11]

Berlin tampaknya meyakini bahwa tidak ada superioritas dalam nilai-nilai. Nilai-nilai tidak berasal dari suatu sumber legitim yang sama dan tunggal. Setiap entitas agama menganut nilai-nilai kebenaran dalam dirinya. Oleh karena itu, nilai-nilai tidak ditakar atau ditimbang terhadap nilai-nilai yang lain. Setiap nilai keberagaman memiliki aspek fundamental dan substansial berdasarkan refleksi dan penggalian nilai-nilai kolektif.

 

Membangun Politik Pengakuan

            Realitas ‘Keberindonesiaan’ kita dirajut dalam bingkai heterogenitas. Pelbagai keunikan setiap entitas sosial memberi kontribusi pada khazanah bangsa. Karenanya, realitas keberagaman ini perlu disikapi dengan suatu politik pengakuan. Dalam pluralisme agama misalnya, setiap pemeluk haram menganut absolutisme kebenaran. Setiap agama memiliki timbangan kebenaran sendiri yang tak mampu diaplikasikan sebagai parameter keyakinan lain.

            Salah satu filsuf yang menganalisis tentang politik pengakuan ini adalah Charles Taylor. Dalam buku Politik Diferensiasi versus Politik Martabat Manusia, Otto Gusti Madung mengutip tesis yang ditulis oleh Taylor bahwa:

identitas kita separuhnya terbentuk lewat pengakuan atau tidak adanya pengakuan, bahkan sering juga lewat pengakuan yang keliru dari sesama, sehingga seorang manusia atau sekelompok orang dapat mengalami kerugian atau menderita deformasi, jika lingkungan sekitar atau masyarakat menciptakan gambaran yang mengekang atau menghina tentang diri atau kelompok orang lain.[12]

Di sini bisa diamati suatu korelasi antara identitas dan pengakuan. Pelecehan terhadap perbedaan identitas dapat dipandang sebagai suatu represi paling dominan terhadap pluralisme. Menurut Taylor,” Pengakuan akan perbedaan ini bukan sekedar ungkapan sopan santun terhadap sesama. Lebih dari itu, tuntutan akan pengakuan merupakan kebutuhan dasar manusia.[13]

            Konsep politik pengakuan dalam terang politik martabat manusia mengadaikan kebebasan seperti tercantum dalam katalog Hak Asasi Manusia. Politik pengakuan menuntut kita untuk mengakui pluralisme agama dengan keunikannya masing-masing. Jadi yang harus mendapat pengakuan bukan hanya keberbedaan agama tetapi ajaran-ajaran, nilai-nilai dan spiritualitas hidup setiap agama. Ini suatu perlakuan khusus terhadap “yang khas” setiap agama.

            Membangun politik pengakuan tidak mau menciptakan kembali ruang yang buta terhadap keunikan masing-masing agama. Politik pengakuan bertujuan menjaga dan merawat kekhasan politik pengakuan setiap agama sebagai suatu kekayaan bersama. Hal ini tentunya bukan sesuatu yang tentatif tapi menjadi suatu keharusan yang berlangsung secara terus-menerus. Absolutisme agama Islam yang mengklaim diri sebagai agama mayoritas dan benar ingin melandasi negara dengan syariatnya menjadi scandalum dalam realitas sosial. Absolutisme Islam radikal ini mengklaim diri sebagai agama yang benar. Konsekuensinya, kegagalan membangun negara dengan syariat Islam menjerumuskan mereka dalam tindakan anarkis dalam bentuk pembakaran rumah ibadat agama lain.

            Kompleksitas situasi ini menuntut kemendesakan kesadaran politik pengakuan. Pembentukan kesadarantersebut hanya mungkin tercapai lewat adanya pengakuan keberlainan dan kesamaan setiap agama. Jika setiap agama menghayati pluralitas ini peluang friksi atas nama pluralisme dapat diminimalisir di Indonesia. Oleh karena itu ada dua opsi yang penting dalam merajut politik pengakuan di Indonesia.

            Pertama, negara. Negara mesti mengambil peran sebagai pelindung bagi semua agama. Kehadiran negara yang memiliki monopoli otoritas dinilai strategis untuk mengayomi pluralisme agama. Dalam hal ini negara bukan hanya konsep, jadi tidak dalam keterpisahan dengan pelbagai realitas masyarakat masing-masing melainkan kesatuannya. Negara dapat disebut total, tapi bukan totaliter. Total dalam arti bahwa pelbagai segi kehidupan masyarakat bersatu dalam, serta dijiwai oleh negara, tetapi tanpa menghapus segi-segi itu.[14]Hal ini sejalan dengan apa yang ditegaskan oleh mantan ketua Pengurus pusat Muhamadiyah, Ahmad Safir Maarif yang mesti melindungi setiap warga negara, apa pun agama dan kepercayaannya, asal tidak menggangu dan patuh pada UUD 1945.[15]

            Kedua, setiap pemuka agama harus membangun dialog. Politik pengakuan mengadaikan semua agama harus menempuh jalan unending formation of oneself.[16] Ada ruang dialog sebagai tempat dimana umatnya menimba inspirasi tentang interelasi yang lebih bermartabat. Doktrin-doktrin agama harus selalu diinterpretasi kembali agar lebih bermakna dan menjadi inspirasi bagi praksis kehidupan yang dialogal.[17] Bila dialog ini tidak dilakukan dalam menyantuni gempuran pluralisme maka agama akan terperosok dalam fenomena arkais yang men’tuhan’kan kekerasan atas nama agama.

            Politik pengakuan pada dasarnya memiliki intensi dasar untuk menyantuni pluralisme agama sebagai suatu kenyataan yang perlu diolah dengan cita rasa kemanusiaan. Politik pengakuan menghargai perbedaan sebagai suatu kekayaan kolektif. Dalam pluralisme agama, tidak ada parameter superioritas dengan mendiskreditkan keberadaan agama lain. Oleh karena itu, politik pengakuan menjadi suatu keniscayaaan dalam konteks pluralisme agama di Indonesia. Melalui devosi politik pengakuan setiap agama akan menghargai realitas pluralisme sebagai suatu kekayaan dalam merajut kebhinekaan Indonesia.


[1] Musdah Mulia,”The Problem of Implementation of the right of religious freedom in Indonesia”. Makalah yang disajikan dalam Seminar Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, 11 Oktober 2014

[2] Syamsumar Damm,”Peluang dan Kendala Akuntabilitas Pemerintahan Daerah di Provinsi Sumatera Barat”, dalam Profil Politik Indoensia Pasca Orde Baru (Jakarta: Grafika Indah, 2005), p. 91

[3] Mathias Daven, “Filsafat Pancasila”, dalam Buku Kuliah pada STFK Ledalero, p.119

[4] Andar Nubowo, “Arah Baru Politik Islam Indonesia: Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Transformatif” dalam Merancang Arah Baru Demokarasi Indoensia Pasca Reformasi (Jakarta: Gramedia, 2014), p. 610

[5]Ibid.

[6]Lingkaran Survei Indonesia,”Krisis Capres dan Cawapres Partai Islam: Siapakah Pasangan Capres-Cawapres Terkuat pada Pemilu 2014?”, 17 Maret 2013

[7] Otto Gusti Madung, Politik Diferensiasi versus Politik Martabat Manusia? (Maumere: Ledalero,2011), p. 153

[8]Ibid.

[9] Felix Baghi (ed), Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi (Maumere: Ledalero, 2012), p.106

[10] Monisme adalah suatu pandangan bahwa semesta itu merupakan satu satuan tunggal. Pandangan bahwa materi dan alam pikiran itu satu. Departemen Pendididikan Nasional, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), p.927

[11] Felix Baghi (eds.), Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi , op.,cit, p. 116

[12] Otto Gusti Madung, Politik Diferensiasi versus Politik Martabat Manusia?op.,cit, p. 9

[13]Ibid.,p. 10

[14] Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan dari Adam Muller ke Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2015), p. 61

[15] Tajuk Rencana, Kompas edisi 16 Desember 2010, p. 3

[16]Ibid.

[17] Felix Baghi, Redeskripsi dan Ironi, Mengolah Cita Rasa Kemanusiaan (Maumere: Ledalero, 2014), p. 55


 

Mading Edisi II/10/ 2016                                                                                             Kaum Muda dan Pluralisme.

BAGIKAN