Mahasiswa dan Pesona Teknologi Komunikasi

img

KONVIK SEMINARI TINGGI ST. PETRUS RITAPIRET


Mahasiswa dan Pesona Teknologi Komunikasi

Oleh: Anno Susabun

Pengantar

Perkembangan pesat teknologi menggiring manusia pada abad ini kepada suatu kenyataan polemis dan dilematis. Polemik kehadiran teknologi memanggungkan pertarungan paradigma konservatif-tradisional kontra paradigma modern. Dalam pandangan kaum konservatif-tradisional, teknologi yang hadir membawa wajah menyeramkan yang tak lain adalah produk kemajuan yang berimplikasi pada kemerosotan kemanusiaan mesti ditolak. Asumsi kaum ini memang intelligible, lantaran pesatnya kemajuan teknologi mempertontonkan ke hadapan kita semua suatu ketakberdayaan manusia di dalamnya, termasuk untuk mempertahankan eksistensinya sekalipun. Di lain pihak, argumentasi yang dibangun golongan yang mendukung kehadiran teknologi tidak kalah kuat dan menariknya. Tidak menggunakan teknologi berarti siap untuk teralinasi dari fakta sosial yang nota bene sudah men-teknologi. Selanjutnya, dilema yang didomino dari argumentasi ini adalah menyangkut dua ekstrem respons, entahkah menerima kehadiran teknologi yang dalam banyak hal terbukti menjadi suatu kekuatan destruktif, atau menolak teknologi itu dengan konsekuensi akan terlempar dari percaturan dunia sosial (bdk. Suseno, 2005: 25). 

Kecemasan modern dan kontemporer

Konsentrasi manusia akan teknologi memang pada awalnya berwarna optimistis, di mana teknologi disembah-sembah sebagai buah karya modernism yang menguntungkan peradaban. Dengan kata lain, teknologi dianggap membawa angin segar perubahan dari pembangunan yang bercorak tradisional dan tidak efisien (di mana tenaga manusia menjadi tumpuan) menuju pembangunan modern yang dipermudah mesin-mesin.

Kecemasan modern muncul tatkala wajah ambivalensi teknologi mulai tampak. Teknologi pada suatu saat ternyata mengalami friksi dengan kemanusiaan dan komponen peradabannya. Gejala awal tubrukan ini ditandai dengan kemerosotan makna kerja dalam hidup manusia, sehingga yang ada hanyalah manusia-manusia mesin, manusia yang dikendalikan mesin-mesin. Teknologi konon juga melahirkan kapitalisme yang hingga kini, saya yakin, masih menjadi momok menakutkan bagi banyak masyarakat, lantaran menjadi biang ketertindasan manusia oleh manusia lain atau juga pelecehan martabat manusia. Perbudakan tidak terhindarkan tatkala manusia yang satu tidak memiliki modal sebanyak yang dimiliki manusia yang lain. Orientasi kerja adalah orientasi hasil, apapun prosesnya yang penting dapat bersaing.

Kapitalisme memang belum hilang hingga saat ini. Namun gagasan hak asasi manusia yang tidak kalah kuatnya membuat kapitalisme tidak lagi seseram dulu (tanpa bermaksud membela praksis kapitalisme zaman ini, terutama yang membangun istana kemegahan dari eksploitasi sumber daya alam secara tidak tahu diri), tidak lagi dapat leluasa mempermainkan manusia dan martabat in se-nya. Kecemasan modern atas teknologi akibat implikasi kapitalisme boleh dikatakan sudah kurang relevan lagi. Lalu, apa yang menjadi kecemasan kontemporer akan kehadiran teknologi? Kecemasan itu ialah kenyataan dilematis antara keuntungan dari teknologi yang membuatnya diagung-agungkan dan ekses negatifnya yang terlalu sulit dihindari.

Mahasiswa terhimpit teknologi komunikasi

Tak dapat dimungkiri lagi, teknologi komunikasi hadir dalam wajah mempesona dan menarik minat siapapun untuk larut dalam romantismenya. Pesona teknologi komunikasi tampil dalam fitur-fitur menarik peralatan komunikasi. Jika dulu orari hanya dimiliki petugas keamanan dalm rangka berhubungan antara pos kerjanya, sekarang ini seorang bocah pun kita saksikan duduk manis di sofa sambil mengutak-atik screen Smartphone versi terbarunya.

Pesona teknologi juga tentu dialami mahasiswa atau kaum intelektual, kita yang sekarang sedang membaca ulasan ini. Pesona teknologi ini pada kenyataannya menggiring mahasiswa pada kekayaan ide-ide, keluasan wawasan, dan keakraban relasi. Di lain pihak, mesti diakui, teknologi komunikasi yang tampak dalam ornamen-ornamen modern berupa handphone, iPad, smartphone dan lain-lain dengan fitur-fitur menariknya juga menghimpit kita pada keadaan-keadaan yang kurang menguntungkan sekaligus kurang diharapkan untuk terjadi pada kita. Romo Magnis Suseno (2005: 32) sudah pernah mengingatkan bahwa masalah utama teknologi bukan terletak pada teknologi itu, tetapi pada komponen modernitas yang dimasukinya. Hal ini berarti, teknologi sama sekali tidak diciptakan dan diinovasi untuk menciptakan problem-problem. Yang terjadi sebetulnya ialah penyalahgunaan teknologi itu untuk sesuatu yang tidak bertanggung jawab sehingga harus mengorbankan atau menjungkirbalikkan banyak nilai. Masalah komponen modernitas itu menurut Romo Magnis misalnya berupa pendangkalan-pendangkalan: supermarket dan mall yang membuat orang asal trendy, iklan di televisi yang membuat orang beranggapan bahwa yang baik hanya orang sehat dan sukses.

Dalam lingkungan akademik kampus ada banyak hal miring (untuk tidak dikatakan buruk) yang ditengarai terjadi akibat penyalahgunaan teknologi komunikasi. Pertama, terhimpitnya mahasiswa pada identitas maya, di mana identifikasi dirinya lebih ia dapat dari akses-akses dunia maya lantas mengabaikan yang nyata. Hal ini selanjutnya berdomino pada kecendrungan hidup mengawang-awang, menginginkan sesuatu yang utopis dan idealis melulu serentak melupakan identitas riil, identitas eksistensial dalam lingkaran akademik. Mengagung-agungkan fitur-fitur dunia maya, misalnya hobi bercerita melulu tentang dunia maya (facebook, dll), adalah salah satu gejala dari kemiringan ini. Kedua, gejala antisosial, di mana mahasiswa cenderung hanya berkonsentrasi dengan dunia mayanya, lalu mengabaikan komunikasi verbal yang langsung dengan orang di sekitar. Singkatnya, menjauhi yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Kritik Hannah Arendt atas libralisme mungkin relevan juga dalam hal ini. Menurut filsuf Yahudi ini, liberalisme  terlampau mengagungkan kemerdekaan individu, lantas tidak hanya menjadi wadah emansipasi individu tetapi menjurus pada atomisasi, suatu keadaan ketercerabutan individu dari komunitas yang merupakan dunia yang dihayati bersama dan kehilangan identitas kolektif yang memberinya rasa ketermasukan dalam suatu kelompok (Hardiman, 2011: 28). Ketiga, teknologi komunikasi tidak pelak menerobos antibodi mahasiswa. Artinya, secara perlahan penggunaan tekbologi komunikasi secara tidak kritis dan bertanggung jawab menyebabkan ketergantungan dan selanjutnya membuat mahasiswa tidak dapat mempertahankan diri dari gencarnya serangan ekses negatif teknologi tersebut. Keempat dan yang terpenting adalah, menurunnya gelora intelektual mahasiswa. Sebagai mahasiswa atau kaum intelektual, kita senantiasa berhadapan dengan tuntutan akademik yang boleh jadi menyibukkan. Selain menyibukkan, tentu saja eksplorasi akademik yang kita lakukan itu akan menambah tinggi gairah intelektual kita terutama dalam rangka memiliki semangat dan keaktifan dalam persoalan-persoalan akademik. Teknologi komunikasi yang kita gunakan seringkali berbenturan dengan identitas ini. Ia persis membuat kita mencari gampang dan mudah menjauhi hal-hal akademik, saking asyiknya bertualang di dunia maya.

Menjadi bertanggung jawab

Teknologi memang banyak membawa petaka, tetapi hidup tanpa teknologi adalah mustahil untuk konteks zaman ini. Menghadapi keadaan keterhimpitan di tengah serbuan teknologi komunikasi, mahasiswa pertama-tama dituntut untuk bertanggung jawab. Bertanggung jawab dalam menggunakan fitur-fitur teknologi komunikasi mengandaikan ada kemauan dan kesediaan mahasiswa untuk melihat lebih jauh implikasi positif maupun negatif dari teknologi tersebut. Sebagai kaum intelektual yang darinya dituntut kepribadian yang matang, mahasiswa mesti sedapat mungkin menghindari diri dari perbudakan teknologi, di mana tidak ada ruang lagi bagi ekspresi diri yang lebih dari sekadar bertualang di media-media sosial (facebook, dll). Bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi sama sekali tidak menjadikan mahasiswa gagap teknologi, tetapi lebih mulia daripada itu, mahasiswa diajak untuk dapat melihat teknologi sebagai sarana pendewasaan diri dalam pelbagai aspek pendidikan, mulai dari intelektualitas, sosialitas, dan kesehatan, dan lain-lain.*

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 Mading Edisi III November 2016

BAGIKAN