KEINDAHAN YANG MEMBEBASKAN

img

Akhir-akhir ini, perkembangan dunia sastra di tanah NTT tercinta ini terlihat semakin menggeliat. Jika ditelisik secara lebih mendalam, terlihat bahwa panggung sastra NTT tak hanya dihiasi oleh karya-karya sastrawan senior melulu, tetapi juga mulai dibanjiri oleh beragam karya sastra racikan para kaum muda. Selain dalam bentuk buku, karya-karya mereka pun tersebar luas di jagat NTT, baik dalam media-media cetak, media-media online, maupun media-media akademis yang tersedia di setiap sekolah, kampus, dan dalam lingkup kelompok-kelompok minat yang berpanji sastra. Fakta lahirnya spirit sastra baru di kalangan pemuda ini tentunya membawa kegembiraan tersendiri bagi para pencinta sastra NTT. Pasalnya, di tengah arus teknologi yang kian meminggirkan spirit sastra kaum muda, rupanya hal yang demikian tak terlalu mempengaruhi sebagian besar pemuda NTT. Seperti halnya dunia tarik suara NTT yang melahirkan nama-nama baru semisal Azizah, Andmesh, dan Mario Klau, dunia sastra pun perlahan menjadi salah satu panggung emas bagi para pemuda NTT untuk menunjukkan dirinya sebagai kaum muda yang kritis terhadap realitas, kreatif dalam memintal aneka tulisan sastra, dan inovatif dalam merangkai nilai-nilai yang hendak disampaikan melalui karya-karya sastra mereka. Di atas semuanya itu, melalui dunia sastra, para pemuda rupanya ingin keluar dari belenggu negatif teknologi instan yang cenderung mematikan semangat membaca dan menulis kaum muda dewasa ini. Mereka ingin membangkitkan kesadaran kaum muda lainnya akan pentingnya aktivitas menulis sebagai antitesis terhadap pengaruh instan teknologi yang cenderung memandulkan kemampuan berpikir kritis kaum muda. Lewat karya-karya sastra yang ditulis, mereka sejatinya ingin menghidupkan hakikat dasar mereka sebagai kaum muda yang bereksistensi. Pada titik ini, benarlah ungkapan sederhana Anne Morrow Lindbergh, “Saya harus menulis dengan segenap karsa. Menulis adalah berpikir. Menulis itu lebih dari hidup, karena dengan menulis saya sadar akan hidup”.

Sastra pada galibnya merupakan seni berbahasa yang tentunya berakar pada pengalaman, ide, gagasan, keyakinan, kepercayaan dan nilai-nilai kebenaran. Sastra adalah rangkaian inspirasi kehidupan yang dimateraikan secara elok dalam suatu mozaik keindahan. Sastra bukanlah ilmu melainkan ekspresi pikiran akibat konfrontasinya dengan realitas yang kemudian diungkapkan dalam bahasa yang sarat makna. Sebagai seni yang sarat makna, kehadiran sastra tak pernah dapat dipisahkan dari kehidupan yang melahirkan makna itu sendiri. Dengan kata lain, eksistensi sastra sebagai seni yang sarat makna hanya akan mencapai kepenuhannya dalam kreativitasnya untuk memerangi aneka kepincangan yang membelenggu kemanusiaan. Pada aras ini, sastra tak pelak menjadi salah satu khazanah profetis yang tak pernah bosan untuk menyerukan suara-suara kaum tak bersuara yang seolah-olah dibuat bisu oleh kaum-kaum intelek tak berbudi.

Sastra itu sendiri bukan hanya tentang keanggunan meramu pengalaman dalam alunan kalimat nan menawan, atau tentang kepandaian menenun kata-kata puitis yang memikat hati setiap pembaca. Sastra bukan tentang kemapanan semu karena mengabdi pada kekuasaan seperti pada masa Orde Baru. Sastra juga bukan tentang kenyamanan bisu yang malah membuatnya mati tak bermakna (nonsens). Sebaliknya, sastra itu adalah pemberontakan positif yang menerbitkan fajar kreativitas. Sastra itu adalah dunia kehidupan kritis yang selalu berdialektika dengan dunia ketidaknyamanan manusia. “Karena seni itu sesungguhnya pemberontakan”, kata Albert Camus. Sastra semestinya menjadi prajurit kemanusiaan yang selalu memborbardir zona nyaman kaum elite, mendobrak tabir gelap kerakusan bobrok para koruptor, menggonggong beragam keputusan yang kontra rakyat serentak menawarkan aneka solusi kreatif yang konstruktif. Sastra haruslah seni yang berasal dari refleksi mendalam atas kehidupan rakyat, dipintal dalam nuansa jeritan rakyat, dan disenandungkan demi menuntut perbaikan taraf hidup rakyat. Sastra juga seharusnya menjadi alat perjuangan bagi manusia-manusia tertindas dan para wong cilik dalam menendang hegemoni kekuasaan yang selalu meniduri hak mereka dengan semena-mena dan tanpa nurani. Kehadiran sastra hendaknya selalu memberi atensi khusus terhadap aneka kebijakan penguasa yang cenderung bersifat distortif dan jauh dari cita-cita kesejahteraan dan kemaslahatan umum.

Bertolak dari hakikat dasar sastra sebagai seni yang berkiblat humanisme ini, maka kehadiran para sastrawan muda NTT dan karya-karya mereka pun seharusnya juga mengusung perjuangan kemanusiaan ini. Di tengah mewabahnya aneka wajah ketidakadilan yang serentak meluluhlantakkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, para sastrawan muda NTT dipanggil untuk berani meneropong dan menyerukan pekik pertempuran terhadap beragam kepincangan sosial tersebut dalam balutan seni sastra. Seni yang mereka hidupi tak boleh hanya berciri estetis semata, tetapi juga harus kritis terhadap pelbagai realitas dewasa ini yang cenderung melestarikan spirit pincang “penghisapan manusia atas manusia”. Dalam konteks ini, para sastrawan muda dan karya-karyanya diharapkan mampu menjadi fermentum mundi (ragi dunia) bagi Indonesia pada umumnya dan NTT pada khususnya, terutama dalam mengembangkan adonan kesadaran dalam diri masyarakat akan ketidakadilan yang tengah menindas mereka dan menghasilkan roti perjuangan kolektif demi tercapainya bonum commune yang diidealkan. Pramoedya Ananta Toer pernah berujar, “Soal keindahan itu banyak persoalan. Apa itu keindahan? Menurut Pujangga Baru, keindahan itu terletak pada bahasa. Bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan dan perjuangan untuk kemanusiaan: pembebasan terhadap penindasan. Jadi, keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa”. Seperti Bung Pram, kiranya setiap goresan sastra para sastrawan muda NTT dan semua pemuda yang mencintai dunia sastra selalu dan senantiasa berpijak dan bermuara pada perjuangan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang kian hari kian tergerus oleh badai kepincangan moral. Kiranya jiwa estetis dari karya sastra itu sendiri mampu terejahwantah secara nyata dalam suatu usaha kolektif-partisipatif demi pembebasan manusia dari aneka belenggu ketidakadilan yang tidak memanusiakan manusia. Kiranya suntikan-suntikan sastra yang sarat makna itu mampu menghentakkan kesadaran masyarakat untuk berani bangkit dari tidur panjang mereka dan mampu menyalakan lilin harapan untuk memperjuangkan kehidupan bersama yang lebih baik. Akhirnya, sebagaimana lilin harapan itu hanya akan bermakna jika dan hanya jika idealisme bersama mampu menembusi batas-batas teks menuju tapal batas kontekstual, maka adalah suatu kewajiban bagi kita semua untuk, bersama para sastrawan, berani menggaungkan dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut sehingga pencapaian kesejahteraan bersama itu sungguh-sungguh lahir dari perjuangan kita bersama.

BAGIKAN