Jum'at, 2 December 2016 00:15 WIB Penulis: Otto Gusti Dosen Filsafat dan HAM di STFK Ledalero,Maumere,Flores
KEBERAGAMAN yang menjadi warisan tradisi masyarakat Indonesia seharusnya dipandang sebagai anugerah Tuhan yang harus disyukuri. Hal itu ditegaskan Presiden Joko Widodo pada 12 November lalu ketika menghadiri Silaturahim Nasional Ulama Rakyat 'Doa untuk Keselamatan Bangsa' di Ancol, Jakarta. Tanpa pengakuan akan kebinekaan dalam semangat kesetaraan dan penghargaan, bangsa Indonesia akan hancur berkeping-keping. Untuk mengatasi bahaya perpecahan, pemahaman yang benar tentang kemajemukan dan penghargaan atasnya perlu terus dikomunikasikan kepada masyarakat luas, terutama kepada generasi muda.
Tiga model keberagaman
Seorang pemikir politik abad ke-20, Isaiah Berlin (1909-1997), mengemukakan tiga model konsep keberagaman atau pluralisme. Pertama, konsep keberagaman digunakan dalam perspektif netral untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang bineka dan terdiferensiasi. Di sini keberagaman ialah buah dari kebebasan berpikir dan berpendapat yang dijunjung tinggi dalam masyarakat demokratis. Setiap warga bebas memilih dan menentukan pandangan hidup, pekerjaan, atau pandangan politik sesuai dengan seleranya.
Dalam konteks ini kemajemukan sebagai deskripsi keberagaman sosial yang faktis merupakan esensi sebuah masyarakat demokratis. Kedua, keberagaman atau pluralisme dipandang sebagai sebuah nilai positif. Pluralisme tidak diartikan secara deskriptif sebagai gambaran masyarakat heterogen, tetapi secara normatif diinterpretasi sebagai basis nilai sebuah kehidupan bersama. Justru karena setiap orang boleh bebas berpikir, bertindak, dan percaya, bisa muncul apa yang dinamakan sebuah masyarakat liberal di saat manusia dapat hidup berdampingan secara damai.
Artinya, pluralisme memastikan ikatan sosial dan ditafsir sebagai garansi kohesi sosial. Ketiga, keberagaman mendapat konotasi negatif. Keberagaman atau pluralisme dipandang sebagai bahaya untuk kesatuan sosial. Alasannya, Keanekaragaman pada pelbagai bidang (ideologi, politik, budaya, dll) menghancurkan kohesi sosial. Pluralisme ditafsir sebagai gejala lemahnya norma sosial atau ungkapan hilangnya norma kolektif. Pluralisme merupakan simtom raibnya solidaritas sosial masyarakat kompleks.
- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/80422/anugerah-keberagaman/2016-12-02#sthash.EngmMkvQ.dpuf
BAGIKAN
PROGRAM STUDI SARJANA FILSAFAT PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK PROGRAM STUDI SARJ0
Penerimaan mahasiswa baru IFTK Ledalero tahun akademik 2025/2026 Prodi Ilmu Filsafat (S1) Prodi Pend0
Pendaftaran Online Program Studi Sarjana Filsafat, PKK, DKV, Kewirausahaan, Sistem Informasi & Magis0
© Copyright 2025 by Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - Design By Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero