Penyuling Rupiah[1]

img

Penyuling Rupiah[1]

Sopi mendatangkan pundi-pundi rupiah. Sopi, minuman alkohol khas wilayah Manggarai, memperbaiki kehidupan ekonomi Ino Hasu. Baginya, menjadi penyuling sopi berarti menjadi penyuling rupiah.

Ino Hasu (38) meminggirkan sepeda motornya di tepi jalan. Ia memarkirkan motornya di bibir jalan. Kemudian dari sana, ia berjalan kaki, melewati tanjakan kecil dan, akhirnya, sampai di kebunnya. Di sebelah kebunnya, bukit terbentang. Di bukit itu, dia merawat tumbuhan enau. Dari pohon enau itu, ia mengumpulkan pundi-pundi rupiah.

Selama lima tahun terakhir, ia mencari nafkah dengan menjadi peyuling sopi. Pundi-pundi rupiah diperoleh hanya dengan menjadi penyuling sopi. Kemahirannya menyuling sopi telah membantunya untuk membiaya hidup sehari-hari. Karena itu, menjadi penyuling sopi, bagi Ino Hasu, adalah menjadi penyuling rupiah.

“Ini tuak bakok. Nanti disuling supaya menjadi sopi e.” Ino menuang tuak bakok dari jerigen yang berukuran 25 liter ke dalam kuali, tempat tuak bakok akan dimasak. Jerigen itu berukuran besar dan berwarna hitam. Tuak bakok memenuhi satu jerigen hitam. Tuak bakok sebenarnya adalah mentahan sopi yang baru diambil dari pohon enau. Walakin, tuak bakok bisa dikonsumsi.

Tuak bakok diambil dari pohon enau di seberang bukit, tempat ia menyuling Sopi. Di sana, ia mempunyai dua belas pohon enau. Satu pohon enau bisa mendapatkan 12 liter tuak bakok. Biasanya, 12 liter tuak bakok diperoleh dalam waktu tiga hari. Kalau beruntung, tuak bakok bisa diambil lebih cepat, kira-kira dalam waktu dua hari.

Satu jerigen hitam, bila ditakar, dapat dipenuhi dengan 25 liter tuak bakok. Walakin, jika tuak bakok berukuran 25 liter telah dimasak, ia hanya akan menghasilkan 5 liter sopi. Jadi, untuk mendapatkan 5 liter sopi, Ino harus mengumpulkan tuak dari dari dua pohon enau.

Tuak bakok, bagi sebagian besar pengiris sopi Pocoleok, masih dimasak secara tradisional. Tidak ada penyulingan modern. Tuak Bakok masih dimasak menggunakan api dari kayu bakar. Wadah dibuat dari tanah liat, karena tahan lama dan besar. Pada bagian tengah penutup wadah, dibuat lubang. Lubang itu ditaruh dengan bamboo, yang dihubungkan dengan dengan bamboo yang lain. Maksudnya, uap sopi bisa mengalir melalui bamboo tersebut.

Cara masak ini diwariskan secara turun temurun. Kebanyakan para penyuling sopi mendapatkan teknik ini dari orang tua mereka. Orang tua mereka mendapatkannya secara turun-temurun. Teknik ini menjadi semacam warisan. Warisan ini membuktikan bahwa orang-orang Pocoleok sejak dulu paham tentang teknik penguapan. Walaupun tidak mempelajari kimia di sekolah, mereka paham tentang teknik penguapan. Teknik penguapan tidak dipelajari di ruang kelas, tetapi didapatkan dari tradisi. Tanpa sekolah, orang Pocoleok belajar dari tradisi.

“Kalau tuakbakok dimasak, ia akan seperti ini” Ino menyodorkan sopi. Dari tuak bakok yang berwarna putih, ia kemudian menjadi tampak bening. Rasanya juga berbeda. Tuak bakok mengandung rasa manis, sebaliknya sopi terasa pahit di lidah, tetapi hangat di sepanjang tenggorokan. Juga, aroma sopi terasa menyengat ketimbang tuak bakok.

Tetesan pertama, bagi kebanyakan penyuling, disebut Sopi Bakar Menyala “Ini, kami sebut BM,” cerita Ino, “bakar menyala”, lanjutnya. “Saya tidak tidak tahu sebutan di tempat lainya. Rasanya berbeda dengan tetesan selanjutnya. Lebih nikmat”. Tetesan pertama, menurut Ino Hasu, selalu memberikan kesan yang terbaik dalam sekali proses penyulingan.

“Nanti, BM dijual dengan harga Rp. 50.000,00, dengan ukuran botol kecil. Sedangkan, sopi biasa dijual dengan harga Rp. 30.000,00 untuk ukuran yang sama.” Ino menjelaskan sambil menunjukkan satu botol kecil, berukuran 330 mililiter. Ia menambahkan, satu jerigen 5 liter bisa mendapat estimasi keuntungan Rp. 250.000,00. Kadang kala, ia menjual sopi dengan harga Rp. 35.000,00 untuk satu botol. Bila permintaan sopi banyak dan produksinya sedikit, harga bisa dinaikkan. Ia bisa mendapat untung dari selisih harga tersebut.

Ia tidak hanya menjual secara ecer. Banyak pengusaha dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, datang membeli sopi. Biasanya, mereka membeli dengan jumlah yang banyak. Namun, ia lebih memilih untuk menjualnya kepada keluarga yang mempunyai kios kecil di Ruteng. “Untungnya lebih besar. Nanti, untungnya bisa bagi dua, saya dengan keluarga yang jual di Ruteng. Jadi rezeki tidak dimakan sendiri”.

Dari sopi, Ino Hasu dapat mengubah hidupnya. Ia tidak pernah membayangkan, ia akan membangun rumah yang bagus, hanya dengan menjual sopi. Satu tetes sopi membawa berkah untuk dirinya, dan juga untuk kelurga kecilnya. Sekarang, sumber pendapatannya datang dari penjualan sopi.

Tak Paham Desain

 “Apa itu desain?” Ino Hasu mengeleng kepala, sesekali mengaruk kepalanya ketika ditanyai rencana untuk mendesain kemasan sopi supaya menarik perhatian pembeli. Ada raut kebingungan.

Ino Hasu adalah generasi milenial yang tidak akrab dengan teknologi. Ia hanya bisa menggunakan handphone untuk menelepon dan mengirim pesan. Selebihnya, ia tidak paham. Ia juga sangat merasa asing dengan komputer. Ia tumbuh di Pocoleok, di mana jaringan internet menjadi hal yang asing. Bahkan, listrik baru masuk dua tahun terakhir. Ketika merantau, ia cukup gagap dengan teknologi. Ia berusaha belajar. Namun, ia hanya mampu belajar menelepon dan mengirim pesan.

Karena itu, ia tidak paham dengan desain kemasan sopi. Ia tidak mencantumkan brand khusus dalam sopinya. Ia tidak mengemas produknya secara bombastis. Bahkan, ia hanya menggunakan botol bekas minuman air mineral. Sopi, menurutnya, tidak ditentukan dari bungkusan luar. Sopi dinilai berkualitas, ketika memberikan kepuasan untuk pelanggan. Sopi terbaik pasti memberikan hasil terbaik. Lapisan luar, bagi Ino, tidak selalu menjamin kualitas dari substansinya.

Promosi sopi juga tidak ada. “Bagaimana mau promosi ke Ruteng, jalan di sini rusak. Bayangkan pada jalan menanjak dan rusak ini, kami harus bawa sopi yang berisi 25 liter. Sengsara e.” Akses jalan di Pocoleok buruk. Banyak lubang di sana-sini sepanjang jalan. Juga, ada beberapa tempat yang tidak tersentuh aspal. Makin berbahaya, karena medan perjalan yang menanjak dan cukup ekstream. Di seberang jalan, jurang menganga. “Seadainya kalau kami jatuh, untung jualan sopi hanya digunakan untuk membayar biaya rumah sakit.” tukas Ino.

Namun, beberapa penyuling sopi, dalam pengamatan Ino, masih berani untuk menjual ke Ruteng dan wilayah lain di Manggarai. Mereka berhasil menaklukkan infrastruktur yang buruk. Namun, sebagian dari mereka itu tidak menjual dengan mengunakan label yang bombastis. Jualannya cukup dengan botol bekas air mineral, berukuran 330 mililiter.  

Ino Hasu dan banyak penyuling sopi di Pocoleok tidak paham tentang desain dan promosi produk. Ia hanya mengetahui bagaimana mengiris enau, menanak tuak bakok, dan menyulingnya menjadi sopi. Ino hasu adalah salah satu generasi milenial yang tidak melek teknologi. Pembangunan yang tidak merata memicu ketimpangan ini. “Saya tidak paham dengan desaian. Saya mau belajar, tetapi bagaimana caranya? Saya tidak mungkin berhenti menyuling sopi untuk belajar yang itu. Juga, mau belajar dimana. Tidak mungkin di Pocoleok ini”.

Ino tidak mengangap remeh kemasan sopi. Akan tetapi, ia lebih bersikap pasrah karena kemampuan yang rendah dan infrastruktur yang minim. “Saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk memperbaiki kemasan sopi. Mau bagaimana lagi” tutur Ino sambil mengangkat bahunya.

Penulis: Fransisco Salvedorein Pondang, Mahasiswa IFTK Ledalero

 


[1] Artikel Juara III Lomba Jurnalistik Nasional 2024 yang diselenggarakan oleh Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero

BAGIKAN