MENYULAM BUDAYA: INOVASI DESAIN KAIN TENUN NAGEKEO DI ERA GLOBAL[1]
“Saya senang dan bangga karena busana daerah hasil desain kami dapat diperlihatkan kepada orang banyak. Selain itu, sebagai pendamping, saya juga bahagia karena anak-anak didik saya dapat tampil di depan banyak orang dan memperlihatkan keindahan busana daerah yang orang Nagekeo miliki”, kenang Nana Benga, salah seorang pendamping peserta lomba fashion show busana daerah dalam Festival One Be, yang dihelat dari tanggal 23-25 September 2024 di Lapangan Berdikari Mbay, ibukota Kabupaten Nagekeo. Nana yang saat itu sedang sibuk dengan kegiatan persekolahan tersenyum puas saat mengingat kembali dua anak didiknya, Maria Fatima Payu Bupu dan Cicilia Miquella Moreng berhasil menyabet juara dalam salah satu perlombaan yang diselenggarakan di festival tersebut. Ini adalah kali kedua ia menyaksikan anak didiknya meraih juara dalam perlombaan fashion show busana daerah. Usaha keras mereka untuk mengoptimalkan bakat serta minat anak didik berjalan beriringan dengan upaya pelestarian budaya lokal dalam balutan busana daerah.
Festival One Be yang diselenggarakan tahun 2024 ini merupakan even tahun kedua yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Nagekeo melalui Dinas Pariwisata. “Kami menggagas dan mengemas festival ini sedemikian rupa dengan target pada dua hal, yakni pergerakan orang atau kunjungan wisatawan dan akselerasi perputaran rantai ekonomi. Festival menghasilkan kunjungan dan pergerakan orang, sekaligus menjadi ajang pergerakan ekonomi di tengah warga dan pelaku UMKM yang ada di Kabupaten Nagekeo”, jelas Silvester Teda Sada, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Nagekeo ketika dihubungi via WhatsApp. Lebih lanjut, Sil Teda menjelaskan bahwa tema yang diusung tahun ini adalah Kebangkitan Kampung atau The Revival of Village.
Pertama kali even ini diadakan tahun 2023 dengan misi ‘menjual’ budaya dan kearifan lokal Nagekeo ke kancah dunia. Secara harfiah, nama festival ini diambil dari perbendaharaan kata dari bahasa lokal di Kabupaten Nagekeo. One yang berarti di dalam dan Be atau Bere, tas khas Nagekeo yang dibuat dari anyaman pandan. Karena itu, pelafalan Festival One Be bukanlah menggunakan pelafalan bahasa inggris. “Festival ini akan menjadi sarana revitalisasi peradaban lokal yang berkelanjutan. Kami menghadirkan pertunjukan budaya dan tradisi dari tujuh rumah adat di tujuh kecamatan di Kabupaten Nagekeo. Ini diharapkan bisa menjadi daya tarik bagi turis dan generasi muda yang ingin kembali merasakan kehidupan pra-modern”, pungkas Sil Teda.
Dengan mengusung tema Kebangkitan Kampung, pihak penyelenggara festival hendak menggali kembali nilai-nilai kebudayaan lokal yang saat ini sudah tergerus oleh kemajuan zaman. Salah satunya adalah penggunaan kain tenun di kalangan orang muda. Sebagai warisan budaya yang harus dijaga keberadaannya, kain tenun Nagekeo harus mendapatkan kesempatan untuk ditampilkan kepada publik sesering mungkin. Untuk merealisasikan hal tersebut, pihak penyelenggara festival mengadakan lomba fashion show dengan menggunakan busana daerah yang telah didesain secara lebih kekinian namun tetap menonjolkan kekayaan dan keunikan kain tenun Nagekeo.
Mengutip Giorgio Babo Moggi, kain tenun Nagekeo memiliki keunikan karena memiliki dua macam proses tenun.[2] Pertama ialah proses ikat (pete) dan kedua ialah proses sulaman (wo’i). Hasil dari proses ini adalah pola pada bahan tenun. Hal menarik lainnya ialah penggunaan warna pada kain tenun Nagekeo, di mana terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pada kain tenun laki-laki, warna kain didominasi oleh warna hitam dengan motif belah ketupat berwarna kuning. Warna kuning tersebut sejatinya memberikan kesan klasik dan elegan pada kain tenun laki-laki Nagekeo. Sedangkan untuk kain tenun perempuan, warna yang dominan adalah hitam, putih dan merah dengan motif atau corak bunga-bunga yang indah.[3]
Kain tenun Nagekeo terdiri dari tiga jenis kain, yakni Hoba Nage, Ragi Woi dan Dawo. Perbedaan ketiga jenis kain terletak pada proses pembuatan, motif dan corak serta asal dari sarung tersebut.[4] Lebih lanjut, Maxi Ali Perajaka memaparkan beberapa fungsi dan makna kain tenun Nagekeo.[5] Adapun fungsi dari kain tenun Nagekeo adalah sebagai pakaian keseharian, penanda identitas gender (pria-wanita), simbol status sosial dan gengsi, hadiah istimewa dalam acara adat tertentu, benda suci yang dikenakan oleh pemuka adat ketika menghadiri berbagai upacara adat, perangkat dan aksesoris utama dalam pentas kesenian tradisional, serta berfungsi sebagai denda adat untuk mengendalikan gangguan atas keseimbangan sosial yang disebabkan oleh sebuah perbuatan tercela.
Dalam pandangan orang Nagekeo sendiri, kain tenun Nagekeo memiliki beberapa makna.[6] Secara sosial, kain tenun mengekspresikan semangat gotong royong (to’o jogo waga sama) dan saling membantu (kua kesa boza penu). Dari aspek mitologis, kain tenun menjadi simbol kesukuan yang diagungkan. Selain itu, kain tenun juga dimaknai secara spiritual dan berdaya magis, sebab selama proses penenunan, dilakukan ritual adat dan doa, serta diwajibkan menjalani pantangan tertentu.
Sebagai salah satu komoditi yang dapat memikat hati konsumen, kain tenun Nagekeo yang indah harus dipamerkan dan dipromosikan secara lebih intens. Untuk itulah, Festival One Be yang diselenggarakan pihak Pemda Nagekeo menjadi even yang tepat dalam mencapai goals tersebut. “Menurut saya, lomba seperti ini sangatlah penting untuk dibuat secara rutin”, terang Nana dalam wawancara via WhatsApp. “Pertama, kami dapat melestarikan pakaian adat budaya kami sekaligus mempertunjukkan pakaian adat kepada banyak orang yang mungkin belum mengetahui kain tenun ataupun pakaian adat Nagekeo. Kedua, mental anak-anak yang mengikuti perlombaan tersebut akan dilatih secara lebih baik. Sejak kecil mereka sudah dilatih untuk berani tampil di depan umum, melatih mereka apa artinya perjuangan serta kerja keras, serta mengingatkan mereka untuk tidak melupakan adat-budaya mereka sendiri. Nilai-nilai inilah yang harus ditanamkan sejak kecil kepada generasi yang akan datang”, jelas Nana sambil menghela nafas panjang.
Untuk mendapatkan hasil desain yang maksimal dan menawan, dibutuhkan kreativitas tersendiri dari para peserta. Sambil mengatur posisi duduknya ketika video call, Nana yang sedang beristirahat sejenak dari aktivitas mengajar menuturkan kembali persiapan mereka dalam mengikuti lomba fashion show. “Modifikasi busana fashion yang kami suguhkan merupakan hasil kolaborasi dengan para taylor atau penjahit. Ide-ide yang ada kami keluarkan dan coba kami salurkan lewat desain-desain pakaian yang ada. Desain pakaian kami ini terinspirasi dari putri desa. Kami ingin memperlihatkan kecantikan dari putri desa dengan balutan kain budaya daerah kami, yakni kain daerah Nagekeo. Selain itu, kami tetap berusaha menambah kesan modern pada busana kami tersebut sehingga tetap terlihat modis dan menawan”, jelas Nana dengan mata berbinar.
Perjuangan mereka untuk mendapatkan desain busana yang cantik tidak hanya berhenti di situ saja. Dengan suara lirih Nana menuturkan kembali penolakan-penolakan serta nada-nada miring yang mereka terima ketika harus mencari dan menemukan aksesoris yang pas dalam meramu desain busana daerah mereka. “Kami cukup kesulitan ketika harus mencari aksesoris asli daerah yang hendak kami tambahkan dalam desain kami tersebut. Aksesoris asli daerah saat ini tidak terlalu banyak dimiliki oleh masyarakat karena sudah sering tidak dipakai dalam keseharian. Untungnya kami bisa menghubungi beberapa orang yang masih menyimpan aksesoris daerah asli”, tutup Nana sambil tersenyum bangga.
Setiap usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Demikian pun apa yang diterima dan dialami oleh Nana dan anak didiknya ketika mempersiapkan diri mengikuti perlombaan fashion show busana daerah di Festival One Be. Mereka pulang ke tanah Boawae dengan berhasil menggondol juara. Mereka percaya, potensi budaya orang Nagekeo sangatlah kaya. Tinggal sekarang bagaimana mereka diberikan wadah yang pas dan tepat untuk menyalurkan bakat sekaligus mempertahankan kekayaan budaya yang mereka miliki.
Penulis: Marselinus S. D. M Cola, Mahasiswa IFTK Ledalero
[1] Artikel Juara 2 Lomba Jurnalistik Nasional 2024 yang diselenggarakan oleh Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero
[2]https://www.kompasiana.com/warna-dan-motif-yang-elegan-pesona-kain-tenun-nagekeo-dari-nusa-tenggara-timur, diakses pada 27 September 2024, pukul 10.00.
[3]Ibid.
[4]Ibid.
[5]https://ampproject.org/plus-minus-inovasi-warna-motif-kain-tenun-nagekeo, diakses pada 27 September 2024, pukul 18.00.
[6]Ibid.
BAGIKAN
PROGRAM STUDI SARJANA FILSAFAT PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK PROGRAM STUDI SARJ0
Penerimaan mahasiswa baru IFTK Ledalero tahun akademik 2025/2026 Prodi Ilmu Filsafat (S1) Prodi Pend0
Pendaftaran Online Program Studi Sarjana Filsafat, PKK, DKV, Kewirausahaan, Sistem Informasi & Magis0
© Copyright 2025 by Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - Design By Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero