Dari Topi Ember Hingga Aksesoris Best Ever[1]

img

Dari Topi Ember Hingga Aksesoris Best Ever[1]

     Yasashi I Evelyn Pangaribuan dalam sebuah postingan instagramnya tersenyum simpul penuh kebahagiaan menikmati liburan di Hongkong. Raut wajah pemilik suara Mezosoprano itu terlukis ceria senada dengan topi bundar yang menyelimuti kepalanya. Topi tersebut memiliki bentuk yang unik. Ia tidak memiliki lengkungan bagian depan, juga tak berbentuk lonjong khas topi musim dingin. Modelnya sangat sederhana, bundar menyerupai ember. Pesona topi itu semakin harmonis karena berbahan tenun ikat Sikka dengan  pancaran warna-warni yang anggun. Itulah topi ember motif lokal yang merupakan desain produk kriya karya Jaya Baru Ethnic Sikka.

Topi Ember alias Bucket Hat

     Topi ember merupakan salah satu fashion item yang kembali booming belakangan ini. Baik kawula muda maupun orang dewasa mengenakan topi yang dikenal luas dengan sebutan bucket hat. Keindahannya terbukti mampu menyaingi topi-topi seperti snapback, baseball cap, fedora, hingga beanie hat.  Menurut pemilik Jaya Baru Ethnic, Sherly Irawati, ketertarikannya pada topi ember bermula ketika ia berlibur ke luar negeri. “Ketika di jalan, saya melihat orang-orang memakai buckethat. Mereka mengenakannya supaya terlindungi dari terik matahari,” tuturnya. Buckethat, lanjut Sherly, sangat menunjang penampilan penggunanya karena memberi kesan stylish. 

     Sekembali melancong ke luar negeri, Sherly mulai menggeluti buckethat. Keputusan itu dibuatnya karena melihat minat masyarakat yang tinggi terhadap topi ember. Uniknya, desain topi embernya tidak menggunakan bahan jeans atau denim tetapi berbahan lokal yakni kain tenun tradisional Sikka dan beberapa daerah di NTT. Bahan lokal tersebut menjadi identitas khas topi ember Jaya Baru Ethnic. 

Inovasi dari Perca dan Kain Tenun Bekas

     Topi ember bukanlah satu-satunya produk yang ada di Jaya Baru Ethnic. Terdapat beberapa jenis aksesoris (gelang, anting, dasi, bandana, gantungan kunci), pakaian motif lokal dan kriya lainnya seperti kotak tisu serta cover Alkitab. Semua itu didesain dengan sentuhan tenun lokal Sikka sembari menerapkan desain yang tetap trendy dan kekinian. Hal itu sangat sesuai dengan kebutuhan pasar.

     Untuk menghasilkan produk itu, Sherly tidak menggunakan kain tenun baru melainkan memanfaatkan perca dan kain tenun bekas. Perca dan kain bekas tersebut memiliki kualitas yang hampir sama dengan kain tenun baru. Bahkan, kain bekas memiliki dua keistimewaan yaitu tidak berubah warna dan mudah dibentuk. Kain bekas biasanya sudah sering dipakai dan dicuci berulang kali sehingga memiliki warna yang tetap. Selain itu, kelenturan kain bekas cenderung stabil ketimbang kain baru.  “Kain bekas mudah dimodifikasi sesuai kreativitas,” timpal mentor Akusika itu.

     Inovasi perca dan kain bekas ini timbul dari keresahan Sherly menyaksikan perca tenun yang kurang dimanfaatkan oleh para penjahit. Perca tenun dibuang sebagai sampah yang tak bernilai. “Ada juga yang dibakar dan dibuang ke laut. Kalau air laut surut, banyak kain yang terdampar di sepanjang bibir pantai,” tambahnya. Demikian pun kain bekas. Para penenun tidak memiliki keterampilan mengolah kain tenun bekas menjadi barang yang bernilai tinggi. Mereka cenderung menjual tenun bekas dengan harga murah kepada para pengepul. Sherly mengisahkan bahwa ada temannya yang menjual seribu kain tenun bekas Sikka ke Jepang yang notabene dikumpul dari para pengepul.  Padahal, kain tenun bekas memiliki nilai jual yang tinggi jika diolah secara maksimal.

     Keterbatasan sumber daya untuk mengoptimalkan tenun bekas ini menjadi kendala utama. Oleh karena itu, Sherly selalu memberi pelatihan kepada sekelompok perempuan. Misalnya kepada mama-mama dari Nggela dan kepada Dekranasda Mabar. Selain kelompok itu, ia juga memberikan latihan bagi anak-anak sekolah kejuruan yang praktik di Jaya Baru Ethnic. Para siswa SMK Sint Gabriel Maumere merupakan salah satu anak binaan Jaya Baru Ethnic. Buahnya, para siswa tersebut  mampu menghasilkan aksesoris yang keren dan kece.

Masker Tenun

     Pandemi covid-19 beberapa tahun lalu telah melumpuhkan berbagi sektor ekonomi nasional maupun global. Berbagai sentra industri mengalami kemandegan. Di tengah situasi demikian, Usaha Kecil Menengah (UKM)  seperti Jaya Baru Ethnic ikut terdampak.  Toko yang beralamat di Jln.  Ahmad Yani No. 89 ini, mesti berjuang ekstra agar tetap survive. Ketika itu, mereka tetap tekun memproduksi aksesoris dan produk kerajinan lain. Sayangnya produk-produk tersebut tidak laku karena orang-orang dilarang berbelanja ke luar rumah. Kondisi itu membuat keadaan terpuruk.

     Sembari membuat analisis kebutuhan di tengah pandemi, Jaya Baru Ethnic memutuskan untuk membuat masker kain. Mulanya, masker kain yang dibuat, mengikuti masker kebanyakan yang berupa kain polos. Produk itu memang laris. Akhirnya mereka menghentikan produksi aksesoris dan fokus pada pembuatan masker. Dalam perjalanan waktu, muncul ide membuat masker tenun. Dalam pembuatannya, dipilih kain tenun baru yang berkualitas. Kain itu kemudian dicuci bersih, direndam dengan pewangi agar memberi aroma yang baik serta disetrika hingga rapi. Setelah kain benar-benar layak, barulah dibuat menjadi masker. Serly menerangkan, masker tenun ludes terjual. Bahkan penjualannya sampai ke Amerika Serikat.

Ikut Pameran

     Buckethat dan produk kriya Jaya Baru Ethnic telah dikenal luas hingga ke luar Nian Tana Sikka. Hal ini dikarenakan Jaya Baru Ethnic sering mengikuti event-event pameran berskala lokal. Tak hanya itu, Jaya Baru Ethnic pun rutin mengikuti pameran bertaraf nasional seperti Inacraft dan Kriyanusa. Bahkan pada 2021 silam, Jaya Baru Ethnic menjadi salah satu dari dua UKM NTT yang turut memamerkan kriya dalam event Moto GP Mandalika. Strategi promosi semacam itu memberi keuntungan yaitu memperluas jangkauan pasar, memperkenalkan kebudayaan lokal Sikka dan menjadi ajang analisis kebutuhan pasar. Pasalnya, trend fashion berubah setiap waktu. Dengan keikutsertaan dalam pameran, maka bisa diketahui kebutuhan pasar sehingga sehingga produk-produk yang dihasilkan menjawabi kebutuhan pasar.

Buckethat hingga aksesoris kriya karya Jaya Baru Ethnic merupakan contoh nyata desain produk berbasis kearifan lokal. Melalui desain yang inovatif, produk-produk lokal semakin mendunia serta memiliki nilai jual yang tinggi.

 

Penulis: Apolonius Kaing Sabur, Mahasiswa Universiyas Udayana, Bali


[1] Artikel Juara I Lomba Jurnalistik Nasional 2024 yang diselenggarakan oleh Institut Filsafat Teknologi Kreatif Ledalero

BAGIKAN