TENTANG KETERASINGAN

img
PDF

Barangkali masih segar dalam ingatan kita sebuah alegori sederhana  yang pernah ditelurkan Plato dalam rangka menyelami korpus pemikiran dunia idenya.  Sekedar memantik daya ingat itu, saya akan menarasikannya kembali secara singkat pada bagian awal tulisan ini. Anggaplah ini sebagai sebuah appetizer menuju suatu kerangka pembahasan dan diskusi yang lebih dalam tentang arah dasar karya sederhana ini. Beginilah Plato menggambarkan alegori itu “Bayangkan beberapa orang tawanan yang tinggal di dalam sebuah gua dengan tangan-kaki yang terikat. Mereka  sedikit pun tidak dapat menggerakkan tubuh. Di dalam gua, mereka duduk menghadap sebuah dinding dan membelakangi suatu api unggun.  Di belakang mereka, tepatnya di antara para tawanan dan api unggun itu, terdapat satu jalan umum yang sering dilalui manusia dan binatang. Para tawanan saban waktu hanya bisa melihat bayang-bayang manusia dan binatang yang lewat pada dinding gua. Mereka menganggap bayang-bayang pada dinding gua itu sebagai suatu realitas nyata. Kemudian, satu orang tawanan dibebaskan. Ia keluar dari gua dan melihat realitas sesungguhnya di luar sana. Ia melihat manusia, binatang, tetumbuhan, matahari dalam kondisi yang sebenarnya. Ketika ia kembali untuk memberitahukan teman-temannya bahwa realitas yang sesungguhnya ada di luar sana, dan bayang-bayang yang mereka lihat hanya lah mimesis semata, ia justru ditertawai dan dicap sinting oleh teman-temannya”.

Keterasingan Manusia

            Alegori Plato di atas, hemat penulis, merupakan sebuah gambaran autentik dari kondisi keterasingan. Term keterasingan merupakan sebuah nomina yang merujuk pada keadaan terasing. Sementara terasing sendiri merupakan sebuah verba pasif intransitif dengan kata dasar asing. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan kata asing sebagai adjectif a). aneh, tidak biasa; b). belum biasa, kaku; c) datang dari luar (negeri, daerah, lingkungan); d). tersendiri, terpisah sendiri, terpencil; dan e). lain, berlainan, berbeda. Oleh kamus yang sama, keterasingan juga disinonimkan dengan kata ‘alienasi’. Dalam telaah filsafat aufklerung, term alienasi sempat mencuat dalam korpus pemikiran Feuerbach, yang kemudian oleh Marx dipandang sebagai cahaya penyingkap kegelapan dalam hidup manusia. Ludwig Feuerbach (1841) dalam bukunya yang berjudul Esensi Kekristenan, sebagaimana diuraikan Bernard Raho (2014: 252-253), melihat agama sebagai produk konstruksi sosial manusia berhadapan dengan ketidakmampuannya dalam memahami sejarahnya sendiri. Secara gradual, konstruksi itu kemudian diproyeksikan sebagai kekuatan ilahi atau allah. Unsur ilahi yang termaktub dalam agama memberi jawaban-jawaban berarti bagi manusia terhadap berbagai kegelisahan eksistensialnya. Di sini, manusia ditransendetalisasikan dari konteks kehidupan riil. Manusia terlepas dari kenyataan hidup dan hidup dalam dunia proyektif itu. Disposisi terhadap dunia rekayasa itu lah yang kemudian membuat manusia teralienasi dari kehidupannya.

            Akan tetapi, alienasi a la Marx berbeda dengan alienasi versi Feuerback. Marx satu langkah lebih maju dengan menguraikan secara metafisis sebab-sebab terdalam dari keterasingan manusia. Berbeda dengan Feurbach, Marx tidak berhenti pada kritik terhadap realitas proyektif itu (baca: agama). Dalam menguraikan sebab-sebab keterasingan manusia, Marx sedikitpun tidak menanggalkan tesis terkenal Hegel, filosof yang amat dihormatinya, yakni ‘apa yang rasional itu nyata dan yang nyata adalah rasional’. Marx, sebagaimana diuraikan Frans Magnis-Suseno, memandang tesis Hegel sebagai sebuah dinamit yang hendak meluluhlantakan kenyamanan Prusia pada waktu itu. Dalam kerangka interpretasi Marx, yang kemudian disebut sebagai Hegelianisme Kiri, kejayaan Prusia hanya bisa menjadi real atau nyata jika sistem politiknya juga benar-benar rasional. Namun, karena kenyataannya begitu jauh panggang dari api, di mana Prusia tampak begitu reaksioner, Marx mengkritik kejayaan Prusia sebagai sesuatu yang semu (bdk. Suseno, 2016: 6). Titik tolak Marx adalah realitas riil Prusia. Titik tolak yang sama digunakannya untuk menjawabi pertanyaan penting terkait alasan manusia mau mengasingkan diri pada agama. Marx melihat bahwa kecanduan manusia terhadap rekayasa proyektif religius diasalkan pada ketidakadilan dan keterkungkungan struktural dalam konteks hidupnya. Dalam dunia proyeksinya, demikian Marx, manusia diberi ruang bebas untuk mengaktualisasikan diri. Bersama sobatnya, Friedrich Engels, Marx melihat ketidakadilan dan keterkungkungan struktural tersebut secara purnah termaktub dalam bingkai dominasi kapitalisme.

            Menjadi jelas bagi kita bahwa, keterasingan manusia dalam korpus pemikiran Marx timbul dari suatu kebutuhan psikologis akan aktualisasi diri secara bebas tanpa tekanan dan kungkungan dari realitas di luar dirinya. Di sini kita menemukan kompatibilitas antara kerangka pemikiran Marx dengan makna leksikal dari term ‘keterasingan’ itu sendiri. Manusia merasa begitu aneh, tidak biasa, terpencil, dst. dalam  konteks kehidupannya, dan karena itu ia berlari menuju pada realitas artifisial yang dicita-citakannya. Realitas artifisial itu memberikan kedamaian, kebebasan, ketentraman, dan mungkin juga status quo. Kendati agak eksentrik, toh manusia masih merasa nyaman dalam keterasingannya. Lantas, bukankah aneh jikalau manusia tidak merasa aneh dalam keanehannya?

            Keterasingan juga dipahami sebagai sebagai ‘yang lain’ atau ‘yang berbeda’. Yang lain hadir dalam kiprah relasi dialektis manusia, dalam intersubjektivitasnya, dan dalam hal ini bertautan erat dengan hakekat manusia sebagai makhluk sosial. Itu berarti keberadaan ‘yang lain’ menjadi sebuah keniscayaan sejauh manusia mampu mengaktualisasikan sosialitasnya. Pernyataan ini pun masih cukup problematis sebab tak ada manusia yang dapat berada hanya dalam dirinya sendiri (no man is an island). Lantas, apa makna yang terkandung dalam frase ‘yang lain’ itu? Dalam telaah filsafat, ‘yang lain’ (Inggris: the other; Prancis: l’autri; atau Jerman: das Andere) merujuk pada semua fenomen yang menyimpang dari rata-rata atau standar-standar normal (Hardiman, 2011: xIii). ‘Yang lain’ dipandang sebagai inkompatibilitas dari standar dominan yang ditetapkan oleh masyarakat kebanyakan. Secara kuantitaf penyimpangan itu dapat berupa kondisi defisit atau juga termasuk kondisi surplus. Kaum homoseksual dipandang sebagai yang lain dalam komunitas heteroseksual, pun sebaliknya; kelompok pecinta bola sepak melihat peminat golf misalnya sebagai yang lain, pun sebaliknya; mayoritas muslim barangkali melihat kelompok Kristen sebagai ‘yang lain’, pun sebaliknya; ditengah kelompok idiot, orang-orang jenius bisa saja dilihat sebagai yang lain, pun sebaliknya. Jelas bahwa ‘yang lain’ di sini lahir dari sebuah keberbedaan. Dan keberbedaan itu pada gilirannya bermuara pada suatu keterasingan tatkala diukur secara kuantitatif. Keterasingan itu pun tampak sebagai sebuah fenomen relatif. Entitas yang dianggap sebagai ‘yang lain’ dalam kelompok yang mayoritas berbeda darinya, akan menjadi ‘yang sama’ dalam komunitasnya. Barangkali inilah kerangka pemahaman yang menjawabi pertanyaan mendasar di atas. Manusia tidak merasa aneh dalam keanehannya karena secara kuantitatif banyak juga orang lain yang gandrung dengan keanehan itu.   

Generasi Siber: Fenomena Keterasingan Milenial

Metamorfosa peradaban manusia kini memasuki fase milenial. Fase ini ditandai oleh berbagai macam kemajuan dan perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Di antara beragam kemajuan dan perkembangan itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi barangkali menjadi salah satu dimensi yang kental dirasakan dalam kontelasi hidup manusia di era milenial ini. Perkembangan dan kemajuan iptek melesat begitu cepat. Cepatnya pertumbuhan itu telah berhasil melahirkan gejala turbulensi, suatu perubahan yang tidak dapat diantisipasi dan dikontrol. Dalam gejala tersebut, penemuan suatu teknologi atau konsep pengetahuan baru barangkali tidak berlangsung lama karena berhasil digeser oleh penemuan konsep pengetahuan atau teknologi yang jauh lebih inovatif, lebih efektif dalam memecahkan persoalan-persoalan baru yang dihadapi manusia, dan mampu menjawab kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Hal ini secara glamblang kita temukan dalam konteks persaingan produk handphone sebagai misal. Dalam rentang tempus yang teramat singkat, berbagai mode handphone berseliweran dalam arena persaingan pasar.

Efek domino dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan itu ialah terciptanya dunia siber, dunia maya. Munculnya cyberspace sebagai sebuah ruang tanpa batas dan tanpa pengawasan turut menghapus monopoli suatu lembaga pengaturan atas individu. Setiap individu diberi ruang untuk berekspresi dan mengaktualisasikan diri. Di sini, tindakan represif dan otoriter dapat diminimalisasi. Di dalamnya segala bentuk fragmentasi dan diferensiasi sosial berdasarkan kategori-kategori tertentu menjadi semakin kabur. Peran-peran sosial dalam masyarakat tidak lagi dimonopoli oleh satu kelompok saja. Dalam konteks politik misalnya, rakyat kini memiliki posisi tawar yang kuat dalam proses formulasi kebijakan-kebijakan publik. Formulasi kebijakan publik tidak lagi dimonopoli oleh politisi yang menduduki kursi pemerintahan. Rakyat bisa memberikan aspirasinya melalui media massa atau media sosial. Sungguh, dunia siber memberikan ruang seluas-luasnya bagi setiap individu untuk mengaktualisasikan diri secara bebas dan tanpa tekanan-tekanan dari realita di luar dirinya.

Apabila dipandang secara fenomenologis, dunia siber merupakan sebuah rekayasa virtual netral. Artinya kehadiran dunia maya tersebut dapat membawa pengaruh positif-kontruktif atau negatif-destruktif bergantung pada manusia sebagai subjek pengguna realitas virtual tersebut. Akan tetapi, salah satu kenyataan gamblang yang tak terelakan dari keseringan berselancar di dunia siber itu ialah terlemparnya manusia dari realitas riil hidupnya. Manusia dapat saja kehilangan jati diri dalam kiprahnya di dunia maya. Seorang pelajar bisa lupa dengan tugas hariannya karena waktunya dihabiskan hanya untuk berselancar di dunia maya. Pria yang dalam kehidupan nyata dikenal sebagai seorang yang bertampang garang dan berhati baja bisa saja tampak begitu feminim dan melankolis dalam realita virtual. Ibu rumah tangga yang dalam realitas nyata dililiti oleh hutang yang tidak sedikit dapat saja tampil dengan mimik wajah gembira di halaman facebooknya. Seseorang yang secara psikologis digolongkan sebagai anak-anak bisa saja memposting konten-konten dewasa dalam dunia siber. Singkat kata, dunia virtual adalah dunia lepas kendali dan di dalamnya manusia bebas menyeting hidupnya.

Di sini manusia sebenarnya sedang teralienasi. Ia bergerak jauh dari realitas riil dan masuk ke dalam realitas maya. Sejurus dengan pemikiran Marx, manusia merasa begitu nyaman dengan realitas maya karena di dalamnya manusia diberi kebebasan untuk mengaktualisasikan diri. Namun, aktualisasi diri yang terlampau sering dalam dunia maya dapat membuat manusia buta terhadap realitas hidup riilnya. Ia barangkali lebih mengenal dan memahami persoalan di belahan dunia nan jauh di sana ketimbang persoalan-persoalan dalam lingkungan tempat tinggalnya. Ia bisa saja lebih mengenal artis-artis Hollywood ketimbang tetangga dekatnya. Analog dengan para tawanan dalam alegori Plato, keseringan berselancar dan mengaktualisasikan diri dalam dunia maya telah menyebabkan generasi milenial kehilangan daya kritis dalam mengidentifikasi dan mendiferensiasi realitas maya dari realitas nyata. Di sini, adalah sebuah keniscayaan jika generasi milenial melihat realitas virtual itu sebagai realitas riil, ruang dan waktu ia hidup.

Mari Keluarlah!     

Mari kita kembali pada alegori di atas. Tampak bahwa, keterasingan para tawanan itu lahir dari ketidaktahuan atau ketidaksadaran mereka akan realitas semu yang mereka hadapi. Ini adalah keterasingan struktural, sebagaimana yang diuraikan oleh Feuerback dan Marx. Di sini, keterasingan itu menjadi sebuah fenomena subversif. Namun, apakah itu berarti bahwa para tawanan itu dapat dibenarkan? Pada bagian akhir alegori itu, Plato melukiskan tentang seorang tawanan yang berhasil membebaskan diri dari ikatannya, dan berjalan keluar untuk melihat realitas yang sesungguhnya. Ia kemudian kembali dan memberitahukan para sahabatnya tentang realitas yang sesungguhnya itu. Itu lah sang filosof. Para tawanan yang secara kuantitatif memang lebih banyak melihat sang filosof sebagai seorang yang aneh, dan karenanya layak untuk ditertawakan. Sebagai akibatnya, para tawanan tetap berada dalam konsep pengenalan realitas yang leliru. Mereka tetap menganggap bayang-bayang pada dinding gua sebagai realitas yang sesungguhnya

Kita barangkali sama seperti para tawanan yang merasa nyaman dengan keterasingannya, lantas menertawakan sang filosof yang seyogianya membawa suatu pencerahan. Ini didasarkan pada hasrat akan aktualisasi diri yang begitu menggebu-gebu. Kita sulit mengejawantahkan itu dalam dunia nyata mengingat dunia nyata selalu memberikan batasan-batasan moral-etis atau batasan normatif dalam kiprah aktualisasi diri manusia. Karena itu, gerakan kembali dari dunia maya dilihat sebagai sebuah gerakan mundur. Suatu aktus di mana kita masuk dalam penjara normatif yang begitu mengekang. Namun, kita tak sepenuhnya dapat hidup dalam realitas artifisial, bayang-bayang, mimesis, siber, atau maya itu. Sebab, realitas nyata sesungguhnya hidup kita hic et nunc, bukan realitas virtual yang sepintas memang menawarkan kenyamanan, kebahagiaan, kenikmatan, dan hal-hal artifisial lainnya. Mari. Dengarkan seruan sang filosof. Keluarlah. Agar kita tidak lagi menjadi terasing. Semoga. 

BAGIKAN