•  Beranda /
  •  E-Mading /
  •  SASTRA YANG PARTISIPATIF DAN BAHAYA PRODUK DAGANG SASTRA (Sebuah Apresiasi dan Kritikan)

SASTRA YANG PARTISIPATIF DAN BAHAYA PRODUK DAGANG SASTRA (Sebuah Apresiasi dan Kritikan)

img

            Proses perkembangan dunia sastra kini telah mencapai suatu tahap yang cukup tinggi dari segi ruang lingkupnya dimana sudah banyak karya-karya sastra yang mulai menyebar di berbagai media-media cetak maupun elektronik. Surat kabar dan media cetak seperti Flores Pos dan Pos Kupang juga pun turut menjadi wadah publikasi karya-karya sastra. Mereka menyediakan tempat, halaman, dan kolom-kolom yang dikhususkan untuk memuat hasil karya sastra.  Bahkan juga sudah terdapat beberapa surat kabar yang mengabdikan dirinya hanya untuk mempublikasi hasil karya sastra, di antaranya di NTT seperti Flores Sastra dan majalah Flobamora. Hal itu mau menunjukkan semakin meluasnya ruang publikasi sastra.

Secara bersamaan juga muncul para sastrawan-sastrawan muda yang mempublikasikan karya-karya sastra mereka di berbagai media tersebut. Puisi dan cerpen adalah dua bentuk hasil karya sastra mereka yang sering kita jumpai. Melalui tulisan-tulisan itu mereka hendak menyuarakan dan membahasakan berbagai fenomen-fenomen aktual yang terjadi dalam masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural ke ruang publik dalam bentuk kekhasan gaya bahasa mereka sendiri yang sakraistik.          

Perkembangan Sastra yang Kontekstual dan Relevansi Partisipatifnya dalam Membahasakan Penderitaan Masyarakat 

            Ketika mempelajari filsafat Yunani kuno, di sana kita akan temukan bahwa sastra sudah merupakan bagian dari kehidupan dan kebudayaan masyarakat Yunani. Kemampuan dalam arti berbakat seni secara khusus dalam bersyair dan bercerita merupakan aspek internal yang secara sungguh-sungguh terintegrasi dalam diri dan kebudayaan mereka. Dan justru ketika mereka memberi tempat kepada perkembangan karya sastra, saat itulah filsafat terlahir dan memperoleh tempatnya. Di Yunani hal itu dapat kita temukan dalam karya-karya sastra Homeros dan Hesiodos. Syair Homeros terkenal karena imajinasinya yang sangat kaya dalam mengisahkan berbagai peristiwa dan fenomena-fenomena yang terjadi dalam kebudayaan mereka dengan memperhatikan keteraturan dalam bersyair. Dua karya besarnya yakni Illiad yang mengisahkan perang Troya dan Odyssee yang mengisahkan petualangan Odyssee yang tersesat setelah berakhirnya perang Troya. Demikian pun dengan Hesiodos dalam Theogonia yang menggambarkan bahwa dunia para dewa tidak bisa dipisahkan dari dunia manusia dan kemudian karyanya ini menjadi dasar dari kosmologi filosofis.[1]

            Dalam konteks historis Indonesia, kita dapat membedakan perkembangan sastra Indonesia dalam dua periode.[2] Pertama, sastra Indonesia lama yang adalah sastra Melayu kuno, sastra Sansekerta, dan sastra Jawa kuno. Namun intensitas sastra Melayulah yang lebih kuat berpengaruh karena adanya hubungan langsung kedua pendukung kebudayaan termasuk agama, dalam hal ini agama Islam. Kedua jenis sastra ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kaitannya dengan perkembangan kebudayaan, bahasa, dan sastra Indonesia secara keseluruhan. Karena itu disebutkan bahwa kelahiran sastra dan bahasa Indonesia merupakan suatu keputusan politis.[3] Secara historis bahasa dan sastra Indonesia dikonstruksikan atas dasar sastra Melayu dan hal itu tampak dalam aspek keindahan yang merupakan ciri khas sastra Indonesia lama. Sastra melayu sangat kaya akan aspek estetisnya dan keindahan merupakan aspek sentral di dalamnya. Sastra melayu atau sastra Indonesia lama banyak memuat nasihat, etika, hukum, adat-istiadat, ilmu pengetahuan, dan bahkan juga sistem kepercayaan  dan sistem religi.

            Kedua, sastra Indonesia Modern. Sastra Indonesia modern merupakan perkembangan sekaligus pembaharuan dari sastra Indonesia lama. Berbeda dari sastra Indonesia lama yang masih kuat dipengaruhi oleh sastra Melayu, sastra Indonesia modern berusaha untuk memperbaharui diri dengan memisahkan diri dari pengaruh sastra Melayu, diputuskan dari akar kulturalnya semula dan kemudian memulai dengan semangat nasionalnya dalam menggunakan bahasa Indonesia. Namun tidak berarti bahwa keduanya tidak memiliki hubungan. Justru karena alasan politis seperti yang dijelaskan sebelumnya, telah memungkinkan berkembangnya sastra Indonesia modern. Perkembangan sastra Indonesia modern ditandai dengan ciri-cirinya antara lain, menggunakan bahasa Indonesia, dipengaruhi oleh sastra Barat seperti: cerita pendek, novel, drama, dan puisi, dan dari segi isinya telah mengungkapkan kehidupan praktis sehari-hari, ilmu pengetahuan dalam berbagai bentuknya.[4] Pada tahun 1920-an diterbitkan novel Azab dan Sengsara (Merari Siregar) dan kumpulan puisi Tanah Air Beta (Mohamad Yamin) dan lahirnya kelompok sastra Indonesia modern pertama yakni kelompok sastra Balai Pustaka yang membahasakan masalah-masalah kontekstual seperti kawin paksa, Pujangga Baru sarat dengan nasionalisme, Angkatatan ’45 dengan semangat kemerdekaan. Kehadiran mereka menjadi tanda kelahiran baru munculnya pengarang dan sastrawan-sastrawan hampir di seluruh Indonesia.

            Nyoman Kutha Ratna menyebutkan bahwa di dalam sebuah karya sastra terkandung trilogi yakni indah (estetika), baik (etika), dan benar (logika).[5] Trilogi itu merupakan nilai yang harus diprioritaskan dalam hakikat sastra sebagai sebuah karya seni. Artinya bahwa sastra sebagai  sebuah karya seni tidak hanya didominasi oleh nilai estetika, tetapi di dalamnya juga terkandung nilai etika dan logika.[6] Lebih lanjut dia menulis bahwa “dalam pengertian yang lebih luas, kesusastraan sebagai hasil kebudayaan yang pada gilirannya harus berfungsi untuk masyarakat, maka masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran, moral pada umumnya, tidak bisa dilepaskan dari ciri-ciri karya sastra secara keseluruhan.”[7]

            Dari penjelasan di atas kita dapat memahami bahwa karya sastra merupakan hasil konstruksi kebudayaan yang mengalami perkembangan dalam bentuknya tersendiri. Kita dapat melihat perkembangannya yang bermula dari sastra Melayu, sastra Sansekerta, dan juga sastra-sastra daerah (sastra Jawa Kuno). Karena itu, menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia yang berkebudayaan plural dan begitu pun juga dengan karya sastranya.  Melalui proses perkembangan itu sastra mengintegrasikan dirinya dalam kehidupan masyarakat. Sebagai objek kultural karya sastra juga mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan dengan pengungkapan bahasanya yang sakraistik-kreatif-imajinatif. Selain alasan kultural ia juga memiliki nilai ekonomis, politis, dan sosiologis.

            Sastra merupakan salah satu satu sarana yang memberikan kepuasan rohani.[8] Artinya bahwa dengan dengan aktivitas kreatif imajinatifnya ia mampu menempatkan pengarang maupun pembaca dalam suasana kontemplatif. Aristoteles seorang filsuf besar Yunani, dalam konsepnya tentang etika menjelaskan bahwa fungsi utama manusia adalah mengaktualisasikan akal budi dan tingkat kebahagiaan tertinggi adalah kontemplasi dan berpikir.[9] “Aktivitas berpikir merupakan kekhasan manusia untuk memenuhi kebutuhan rohani manusia sebagai makhluk berakal budi.”[10] Dari pengertian ini dapat kita menarik kesimpulan bahwa berpikir merupakan kemampuan rohani manusia yang membedakannya dari makhluk hidup lain. Selain itu kepuasan rohani yang dimaksudkan dalam arti dimana sastra berusaha mengangkat peristiwa-peristiwa faktual dan membahasakan kebenarannya secara tekstual seperti berbagai peristiwa bersejarah tertentu, upacara-upacara adat dan religi yang merupakan bentuk penghargaan terhadap leluhur. Hal itu memberikan kedamaian kepada mereka. Demikianlah beberapa alasan yang mampu penulis paparkan untuk menjelaskan perkembangan sastra yang kontekstual.

Bagaimana menjelaskan relevansi sastra dan partisipasinya dalam penderitaan masyarakat?

            Estetika dan keindahan merupakan hakikat sastra. Hakikat estetisnya itu pun berkaitan dengan keteraturan, keharmonisan, dan keutuhan yang merupakan prinsip substansial.[11] Dalam prinsip keteraturan itu terbuka peluang baginya untuk mengulas pemandangan yang tak teratur. Prinsip keharmonisan adalah dasar bahasan terhadap keadaan yang tanpa harmoni, tanpa kesatuan. Prinsip keutuhan menjadikannya tergerak untuk mengalami yang tidak utuh, yang hancur, yang terserak. Yang tak teratur, tanpa harmoni, tanpa kesatuan, tidak utuh, hancur, dan terserak merupakan fenomena kehidupan masyarakat yang kontekstual, yang dapat disimpulkan dalam sebuah term yakni penderitaan.

            Melalui beberapa sumber tertulis kita dapat menemukan bagaimana sastra digunakan untuk merumuskan kehidupan masyarakat dengan berbagai permasalahan terutama masalah penderitaan (malum). Kitab Suci agama Kristen diperkayai dengan berbagai jenis sastra yang berusaha membahasakan pengalaman-pengalaman manusia akan Allah dalam bahasa sastra. Khususnya dalam Kitab Mazmur, pemazmur berusaha membahasakan disposisi batin manusia berhadapan dengan penderitaan selama perbudakan di Mesir. Dalam buku Membongkar Derita karya Paul Budi Kleden, juga ditemukan peran sastra berhadapan dengan penderitaan.[12] Novel dan roman Elie Wiesel, puisi-puisi Paul Celan, dan Nelly Sachs adalah pengarang Yahudi yang merekam penderitaan orang-orang Yahudi di bawah rezim Nazi-Hitler. Novel Keluarga Gerilya karya Pramoedia Ananta Toer yang menggambarkan keadan darurat zaman revolusi Indonesia. Puisi-puisi yang menggambarkan perjuangan dan penderitaan rakyat dan mahasiswa pada tahun 1965-1966. Dan juga Seno Gumira Ajidarma yang berusaha mengenang penderitaan bangsa Indonesia dalam buku-bukunya, antara lain Mengapa Menculik Anak Kami?, Penembak Misterius, dan Dunia Sukab. Beberapa contoh ini kiranya mewakili perjuangan sastra dan beberapa tokoh lain dengan keterlibatannya dalam situasi malum dalammasyarakat.

            Sastra yang partisipatif adalah sarana untuk terlibat aktif dalam berbagai situasi dan kondisi masyarakat. Sastra berusaha untuk membedah permasalahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengalami kepincangan. Sastra dengan kamampuan imajinatifnya menghadirkan permasalahan-permasalahan tersebut ke dalam ruang diskursus sastra dan juga ruang kritik sastra. Sastra sebagai Advocatus diaboli (setan pembela atau setan pengganggu) yang berpikir secara kritis-diskursif-konstruktif.[13] Sastra menawarkan suatu paradigma berpikir integratif dalam arti bahwa tidak hanya aspek estetis yang diperhatikan tetapi juga aspek etis dan logis. Aspek populis-pragmatis juga menjadi tujuannya. Sastra melingkupi keindahan, moralitas, dan kebenaran yang dapat diterima masyarakat. Bentuk partisipasinya direalisasikan dalam implikasi etis yang berguna bagi masyarakat sebagai  objek kajian  sastra terutama sebagai bentuk advokasi prioritas bagi penderitaan suara-suara minor.

            Perjalanan perkembangan sastra ini tidak terlepas dari peran para fondator sastra yang berawal dari kelompok sastra Balai Pustaka dan selanjutnya para sastrawan terkenal yang menginventarisasikan bakat dan kemampuan mereka untuk suatu tujuan yang mulia. Hal itu  patut diapresiasi dan mereka pantas digelari “pahlawan” sosial.[14] Namun, apa yang terjadi jika hakikat sastra itu sendiri mengalami penyimpangan dan diperdagangkan?

Bahaya Perdagangan Sastra: Tantangan Internal Bagi Sastrawan

            Merupakan suatu kebenaran bahwa sekarang kita sedang memasuki suatu masa “peradaban sastra”.[15] Sastra telah menjadi suatu kegemaran yang mampu menarik sekian banyak orang untuk terlibat dalam ruang diskursus sastra. Sastra menjadi tema yang menarik untuk diperbincangkan di ruang pubik. Mulai tumbuh benih-benih subur dalam diri para sastrawan muda dengan menghadirkan sejumlah karya sastra melalui majalah, surat kabar, internet, dan lain sebagainya. Tentunya perkembangan ini merupakan suatu bentuk kemajuan dunia sastra kita dan merupakan kebanggaan bagi anak-anak bangsa kita.

            Wacana seputar sastra yang berobjekkan manusia tidak pernah terlepas dari kaitannya dengan nilai sosial, politis, ekonomis, dan budaya. Dalam kaitannya dengan nilai ekonomis, publikasi karya sastra bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi pengarang maupun lembaga penerbit atau pihak yang mempublikasikannya. Tentunya hal itu bukan merupakan suatu penyimpangan karena pengarang, penerbit, atau pun pihak yang mempublikasikannya berhak memperoleh apa yang menjadi hak mereka. Namun, akan menjadi suatu masalah dan bahaya apabila pihak-pihak itu menyimpang motivasi terselubung di balik karya sastra mereka dengan menginstrumentalisasikan sastra semata-mata sebagai lahan ladang untuk memperoleh keuntungan ekonomis sebesar-besarnya.

            Perkembangan sastra saat ini, tampillah pengarang yang mampu membaca kuantitas permintaan masyarakat modern yang lebih cenderung tertarik dengan tampilan dari pada isinya. Hal itu tentu berbeda dengan sastra Indonesia lama yang syarat akan nilai moral, nasihat, dan pengajaran. Sastra kontemporer kini terkesan hanya memperhatikan seni penampilan namun krisis dalam pemaknaan. Sastra terkurung dalam konsep rasionalitas instrumental dengan berusaha memprioritaskan penampilan dari pada tujuan. Demikianlah para pengarang terjebak dalam suatu konsep estetika yang dangkal bahwa judul dan pemilihan kata harus dirangkai sedemikian menarik agar mudah dibaca. Pada titik ini mereka mengabaikan kedua unsur lainnya yakni etika dan logika yang merupakan trilogi sastra sebagaimana disampaikan Nyoman Kutha Ratna.

Dalam upaya agar karya sastra laku di pasaran, tidak berlebihan jika kita mengatakan sastra kini telah mengangkangi kepentingan komoditi pasar. Sastra telah menjalin suatu kooperasi dengan industri pasar dan menciptakan suatu kultus ekonomis demi meraih keuntungan yang besar. Pengorganisasian tulisan sastra lebih berdasarkan daya jual bukan daya kritis. Sastra seolah-olah dipengaruhi oleh logika dan orientasi pasar dalam sistem permintaan dan penawaran. Di satu pihak kini kita memasuki masa peradaban sastra, namun di pihak lain kita juga seharusnya menyadari bahwa sastra kini mengalami krisis akan bahaya produk dagang dan tantangan internal yakni tersubordinasi dari hakekat dasar dirinya sendiri.

Rekonstruksi Motivasi Para Sastrawan Muda

            Sampai dengan saat ini Indonesia belum pernah meraih hadiah Nobel dalam bidang sastra. Namun, beberapa sastrawan besar Indonesia di antaranya Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, dan Mangunwijaya sudah berusaha untuk membawa khazanah sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia dan dengan demikian secara politis sastra Indonesia juga adalah bagian integral masyarakat internasional.[16]  Selanjutnya prestasi ini perlu dipertahankan dan bahkan ditingkatkan oleh generasi baru atau para sastrawan muda.

            Sebuah pertanyaan mendasar bagi mereka: apakah prestasi itu dapat dipertahankan dan ditingkatkan ataukah malah hancur berkeping-keping di tengah situasi penderitaan masyarakat.

Dalam hal ini perlu rekonstruksi motivasi para sastrawan muda terhadap keinginan mereka untuk menjadi subjek kreator sastra. Mereka harus berpengang pada pemahaman bahwa yang menjadi persoalan bukan apakah sastra mampu menarik perhatian publik, tetapi apakah ia mampu mempertahankan idealisme. Begitu banyak realitas yang menyebabkan kesedihan bagi masyarakat, distorsi politik, masalah-masalah yang menyangkal kemanusiaan, ketika citra masyarakat dimanipulasi, dilupakan, disalahgunakan, dan ketidakteraturan dalam kehidupan masyarakat yang harus mereka bahasakan. Mereka harus membawa sastra keluar dari situasi nyaman dan beralih kepada partisipan yang tergugah, menempatkan penderitaan masyarakat sebagai kenangan publik, dan berdaya merubah serta menggerakkan masyarakat.

            Bahaya produk dagang sastra bukan tidak mungkin akan menjadikan mereka distigmatisasi dari masyarakat dan bahkan kredibilitas mereka sebagai sastrawan akhirnya runtuh dan dipertanyakan.

 

 



[1] Yosef Keladu, “Sejarah filsafat barat kuno” (Bahan Kuliah, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, 2016), hlm. 10-11

[2]Prof. Dr. Nyoman Kutha Rathna, Estetika Sastra dan Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 355-379.

[3]Ibid., hlm. 356.

[4]Ibid., hlm. 371.

[5]Ibid., hlm. 152.

[6]Ibid., hlm. 153.

[7]Ibid., hlm. 154.

[8]Ibid., hlm. 161.

[9] Yosef Keladu, op. cit., hlm. 128-129.

[10]Ibid., hlm. 128.

[11] Paul Budi Kleden, Membongkar Derita (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006), hlm. 34.

[12]Ibid., hlm. 26-28.

[13] Inosensius Mansur, “ Sastra NTT sebagai Adcocatus Diaboli”, Majalah Akademika, Vol. X, 1 (Agustus-Desember, 2016), hlm. 20.

[14]Ibid., hlm. 24.

[15]Ibid., hlm. 18.

[16] Prof. Dr. Nyoman Kutha Rathna, op. cit., hlm. 371.

BAGIKAN