Pasca Revolusi Industri beberapa abad lalu,kemajuan teknologi modern tidak dapat dibendung. Dalam banyak konteks, revolusi Inggris ini menjadi babak baru bagi sejarah masyarakat manusia modern terutama karena kehadirannya menggendong begitu banyak kemudahan baru. Industrialisasi yang konon berlangsung relatif cepat kala itu menjadi iklim yang sangat kondusif bagi tumbuhnya kapitalisme ekonomi. Akan tetapi, revolusi ini ternyata menciptakan paradoks. Di satu sisi terjadi limpahan barang dan sentralisasi kekayaan di tangan golongan elit (kapitalis dan birokrat). Di sisi lain pemiskinan sistemik terhadap kelas pekerja berlangsung luar biasa. Poor Law Amandement 1834, produk hukum kapitalisme waktu itu, misalnya menyebutkan “memberangus semua wujud terakhir paternalisme feodal dan melepaskan kaum miskin di segenap penjuru Inggris dari ikatan tradisional, termasuk dari perlindungan sosial”.
Perkembangbiakan kapitalisme dalam modus industrialisasi pada suatu waktu menjadi overlap. Tidak dapat dinafikan bahwa industrialisasi mendestruksi alam secara besar-besaran. Sejalan dengan itu, pabrik-pabrik industri jengah melihat produk-produknya melimpah ruah tanpa pasar. Maka dimulailah ekspansi pasar menuju ‘dunia ketiga’. Inilah cikal bakal globalisasi ekonomi.
Kapitalisme yang parasit dalam proses globalisasi ekonomi serentak mengubah dunia yang mahaluas menjadi sekadar global village, kampung global. Marshall McLuhan, dalam analisisnya mengenai globalisasi menyebut dunia sebagai kampung global di mana segala sesutau disebarluaskan, diinformasikan, dan dikonsumsi dalam dimensi ruang dan waktu yang seolah mengkerut (Hidayat, 2012:93). McLuhan optimis bahwa revolusi teknologi informasi akan membawa dampak signifikan bagi kemajuan dunia manusia secara menyeluruh. Namun, ia rupanya gagal membaca proyeksi futuristik mengenai hal ini, karena ternyata kemajuan teknologi informasi menomorsatukan dominasi media, membentuk apa yang oleh Baudrillard disebut mediascape. Global village pada gilirannya ternyata menjadi hiperreal village.
Realitas semu internet
Jean Baudrillard, filsuf postmodern kelahiran Perancis 5 Januari 1929, mengerucutkan analisisnya pada studi kultural (culture studies) postmodernisme. Hemat saya, iklim posmo tidak akan terasa lengkap apabila tidak menyertakan nama Jean Baudrillard di dalamnya. Analisisnya mengenai kebudayaan postmodern yang berangkat dari kritik-kritik atas paradigma Marxis rasanya sangat mencerahkan, terutama jika kita membacanya secara ‘kiri’.
Kritik Baudrillard atas kebudayaan masyarakat modern terutama berkaitan dengan diskontinuitas budaya. Menurutnya, masyarakat Barat dewasa ini mengalami pergeseran budaya dalam strukturnya menjadi suatu masyarakat simulasi dan hiperrealitas. Dalam opus magnum-nya berjudul Simulations (1983), ia mendeskripsikan karakter masyarakat Barat yang merupakan representasi dari dunia simulasi, yaitu dunia yang terbentuk dari hubungan pelbagai tanda secara acak, tanpa referensi rasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses produksi dan tanda semu (citra) yang tercipta dari proses reproduksi. Dalam masyarakat simulasi, ada suatu simulacra, ranah berlangsungnya proses simulasi, yang di dalamnya tanda-tanda, simbol-simbol, dan model-model berkelindan tanpa ada kejelasan, mana yang asli, yang riil, mana yang palsu, yang semu. Bahkan, masyarakat konsumtif tidak pelak sudah membangun suatu dunia hiperreal, di mana realitas-realitas semu tampak lebih riil kelihatannya ketimbang realitas riil yang sebenarnya.
Masyarakat konsumtif menurut Baudrillard berada pada suatu corong friksional nilai-nilai. Jika Marx membaca tren konsumsi hanya sekadar memiliki manfaat (nilai guna) dan harga (nilai tukar), Baudrillard melihat masyarakat era sekarang melakukan konsumsi demi status, prestise, dan kehormatan (nilai tanda dan nilai simbol). Fungsi utama objek-objek yang dikonsumsi bukan terletak pada kegunaannya, melainkan pada fungsi sebagai niai tanda atau nilai simbol yang disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup media-media, termasuk internet.
Hari ini, internet menjadi begitu populer di berbagai belahan dunia. Pengguna internet di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia tidak kalah banyaknya dengan negara-negara maju. Dengan itu, kapitalisme lanjut menebarkan konsumerisme sebagai life style baru masyarakat.
Pertama, pelbagai faktum menunjukkan internet memberi tawaran super menarik bagi para user sehingga menuntun mereka untuk selalu meng-update berbagai macam hal, termasuk iklan-iklan produk terbaru. Internet mendorong masyarakat menjadi konsumen bukan karena membutuhkan barang tertentu, melainkan karena sudah dimanipulasi oleh tanda-tanda yang menempel pada produk tersebut. Seseorang akan langsung membeli sebuah sepatu mahal yang diiklankan di tokopedia, bukalapak, dkk untuk menunjukkan bahwa ia mempunyai modal yang mumpuni dan dengan demikian secara sosial prestisenya meningkat.
Kedua, dunia hiperreal benar-benar ada dalam internet. Pelbagai maneuver akrobatik pasca kebenaran akhir-akhir ini merebak di internet. Setiap hari kita menyantap hoaks-hoaks yang ditawarkan melalui internet. Dunia maya, semu dan penuh hoaks dimanipulasi oleh internet menjadi seolah yang riil dan harus dipercaya. Sayangnya, masyarakat penyantap hoaks sampai saat ini adalah masyarakat emosional (emotional society). Dunia yang hiperreal di internet hari ini diinstrumentalisasi pula oleh para politisi miskin ideologi untuk memfabrikasi suara dalam pemilu. Tidak tanggung-tanggung, jasa Saracen digunakan untuk menebar kampanye hitam atas pesaing politik. Yang riil dibuat semu, sebaliknya kemayaan seolah kenyataan.
Apa yang perlu dibuat sebagai kemendesakan adalah gerakan counter simulacra. Melawan simulacra berarti melawan ranah di mana hoaks disebarkan, di mana konsumsi masyarakat ditentukan oleh petanda-petanda tertentu mengenai produk, dan dunia hiperreal beroperasi. Melawan hoaks berarti meningkatkan literasi konvensional maupun digital serta bersikap kritis terhadap setiap berita. Melawan nilai tanda dan simbol berarti melawan tren pasar yang menimbulkan gairah konsumsi tanpa sikap kritis.
BAGIKAN
PROGRAM STUDI SARJANA FILSAFAT PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK PROGRAM STUDI SARJ0
Penerimaan mahasiswa baru IFTK Ledalero tahun akademik 2025/2026 Prodi Ilmu Filsafat (S1) Prodi Pend0
Pendaftaran Online Program Studi Sarjana Filsafat, PKK, DKV, Kewirausahaan, Sistem Informasi & Magis0
© Copyright 2025 by Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - Design By Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero