Untuk membahas tema majalah dinding yang diberikan oleh seksi publikasi, saya mencoba membuat sebuah dialog imajiner dengan sang penemu facebook yaitu Mark Elliot Zuckerberg.
Keterangan:
JLJ : Penanya
MEZ : Pemberi Jawaban (Mark Elliot Zuckerberg)
Berikut adalah dialog imajiner antara JLJ dan MEZ:
JLJ : Selamat bertemu Tuan.
MEZ : Selamat bertemu juga Tuan.
JLJ : Terima kasih karena Tuan telah berkenan memenuhi undangan saya untuk mengadakan dialog.
MEZ : Sama-sama. Mari kita berdialog!
JLJ : Oke, Tuan. Bagaimana pendapat Tuan tentang penggunaan facebook di kalangan masyarakat?
MEZ : Saya sangat berbangga karena produk temuan saya bisa digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu. Dalam penggunaan facebook, kategori-kategori yang biasa kita temukan dalam social space menjadi tidak relevan. Diferensiasi sosial yang ada dalam masyarakat berdasarkan umur, jenis kelamin, riwayat pendidikan dan pekerjaan, agama, suku, ras, dan besarnya pendapatan tidak mendapat tempat dalam penggunaan facebook. Facebook mengekspresikan suatus ifatrevolusioner yang menjunjung tinggi egalitarianisme. Selainitu, saya juga berbangga sebab produk temuan saya bisa difungsikan sebagai sarana komunikasi, bukan saja dengan orang-orang yang berasal dari negara yang sama dengan kepemilikan bahasa yang sama, tetapi juga dengan pihak-pihak yang berasal dari luar negeri dengan kepemilikan budaya dan bahasa yang jauh berbeda. Masalah jarak, waktu, dan tenaga dalam berkomunikasi dapat teratasi melalui penggunaan facebook. Facebook mendekatkan jarak, menyingkatkan waktu, dan menghemat tenaga dalam berkomunikasi.
JLJ : Saya sependapat dengan Tuan bahwa penggunaan facebook bisa mendekatkan jarak, menyingkatkan waktu, dan menghemat tenaga. Hal lain yang patut disoroti ialah penemuan facebook yang telah tuan usahakan telah menambah satu predikat baru bagi manusia yaitu selain sebagai warga negara dunia nyata, juga sebagai warga negara dunia maya. Namun, persoalan yang muncul berkaitan dengan fenomena tersebut ialah kualitas hidup sebagai warga negara dunia nyata jarang diaplikasikan dalam konteks dunia maya. Satu fenomena miris yang muncul ialah distingsi antara hal-hal privat dan hal-hal public acapkali kurang diterapkan dalam dunia maya. Orang begitu doyan menjadikan hal-hal privat sebagai konsumsi publik. Bagaimana pendapat Tuan tentang hal tersebut?
MEZ : Saya juga sepakat dengan pengamatan dan pendapat Anda. Saya sering tertawa menyaksikan tingkah segelintir orang yang tanpa rasa beban menjadikan hal-hal privatnya sebagai konsumsi publik. Dalam hal ini, terjadilah kolonialisasi ruang public oleh ruang privat atau ekspansi ruang privat untuk mencakupi ruang publik. Hilangnya batas antara ruang public dan ruang privat menyebabkan apa yang seharusnya menjadi milik privat seseorang dan berada dalam ruang privat dijadikan sebagai milik public dalam ruang publik. Contoh praktisnya adalah seorang pengguna yang memamerkan kemolekan tubuhnya di media sosial. Kemolekan tubuh yang seharusnya merupakan hal privat diekspansikan ke ruang public untuk menjadi “konsumsi” publik. Sungguh sadis dan tragis!
JLJ : Lantas, bagaimana solusi yang ditawarkan tuan terhadap fenomena miris tersebut?
MEZ : Ya, kalau ditanya soal solusi, saya berpikir etika hidup sebagai warga duni anyata juga harus dihidupkan dalam konteks dunia maya. Membuat perbedaan antara hal-hal privat dan hal-hal public menjadi tawaran solusi yang amat penting. Bukankah dalam kontek dunia nyata, semua orang wajib membedakan antara hal-hal privat dan hal-hal publik?
JLJ : Terima kasih untuk tawaran solusi yang telah Tuan berikan. Dalam pengamatan saya, hal lain yang mencuat ke permukaan ialah banyak orang kini terjebak dalam suatu kubangan yang sama yakni “keberimanan” kepada facebook.
MEZ : Keberimanan kepada facebook? Hehehe…. Bukankah itu sebuah contradictio in terminus? Beriman yang kata dasarnya iman adalah term yang sering digunakan dalam dunia keagamaan. Orang sering mengungkapkan pernyataan: Saya adalah orang yang beriman kepada Allah. Sedangkan, facebook adalah sebuah term yang merujuk pada sarana komunikasi duniawi yang ditemukan oleh manusia; jadi jauh dari nuansa keagamaan. Saya meminta Anda untuk menjelaskan lebih terperinci apa yang Anda maksudkan dengan “keberimanan” kepada facebook?
JLJ : Baik Tuan. Orang Kristen, misalnya, beriman kepada Allah sebab mereka yakin bahwa Allah sanggup memberikan anugerah kebahagiaan dan keselamatan kepada mereka. Untuk itulah, orang Kristen menyembah dan meluhurkan Allah dengan menyediakan waktuk husus untuk berdoa. Kalau dihubungkan dengan fenomena “beriman” kepada facebook, itu berarti bahwa banyak orang yang meyakini bahwa facebook dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada mereka. Untuk itulah, banyak orang mulai “menyembah” facebook dengan menyediakan waktu yang relative banyak, sampai-sampai menyita waktu untuk bekerja, waktu untuk belajar, dan waktu untuk berdoa hanya untuk berpetualang di dunia maya. Bagaimana pendapat Tuan?
MEZ : Oh, sekarang saya paham apa yang Anda maksudkan dengan “beriman” kepadafacebook. Sungguh, saya sanga tkecewa. Fenomena aneh namun nyatat ersebut menjadi tamparan keras bagi saya sebagai penemu facebook. Sedar iawal, proyek besar yang saya temukan dan yang saya namakan facebook hanyalah sarana komunikasi yang digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama tanpa harus disibukkan dengan masalah jarak, waktu, dan tenaga. Facebook tidak pernah menjamin kebahagiaan seseorang sehingga tidak perlu harus “disembah” dengan menyediakan waktu yang banyak, bahkan sampai menyita waktu yang dialokasikan untuk berbagai macam kegiatan sebagai warga negara dunia nyata.
JLJ : Tuan tentunya tidak perlu terlalu bersedih dengan realitas “keberimanan” kepada facebook sebab masih ada segelintir orang yang sungguh-sungguh menggunakan facebook sesuai dengan hakikat dan fungsinya.
MEZ : Saya sepakat dengan Anda. Setelah ini, saya akan mengumumkan kepada facebookers di seluruh dunia untuk berhenti “menyembah” dan “mengagung-agungkan” facebook. Facebook harus selalu digunakan sesuai dengan fungsinya.
JLJ : Saya berpikir rencana Tuan itu amatlah baik. Oke Tuan, saya rasa dialog kita sampai di sini saja. Dari hati yang paling dalam, saya menyampaikan terimakasih karena Tuan telah bersedia meluangkan waktu untuk berdialog dengan saya. Saya juga mengucapkan permohonan maaf kalau selama dialog berlangsung, ada tutur kata dan ekspresi saya yang menyinggung perasaan Tuan.
MEZ : Sama-sama. Saya juga berterimakasih atas waktu dialog yang sangat bermanfaat ini. Lain kali kita bisa berdialog lagi, bukan?
JLJ : Tentu saja, Tuan.
BAGIKAN
PROGRAM STUDI SARJANA FILSAFAT PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK PROGRAM STUDI SARJ0
Penerimaan mahasiswa baru IFTK Ledalero tahun akademik 2025/2026 Prodi Ilmu Filsafat (S1) Prodi Pend0
Pendaftaran Online Program Studi Sarjana Filsafat, PKK, DKV, Kewirausahaan, Sistem Informasi & Magis0
© Copyright 2025 by Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - Design By Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero