•  Beranda /
  •  E-Mading /
  •  DARI GEMAR MENUJU PENGABDIAN (Apresiasi dan Kritik terhadap Geliat Sastra di NTT)

DARI GEMAR MENUJU PENGABDIAN (Apresiasi dan Kritik terhadap Geliat Sastra di NTT)

img

Menarik membaca karya seorang guru besar pertama asal NTT, Prof. Dr. Konrad Kebung, SVD dalam bukunya Sejarah Senantiasa Berkisah (2016). Dalam bukunya itu ia menulis dengan suatu pengabdian yang utuh yaitu agar tulisan-tulisannya dapat dimengerti dan menyentuh pembaca sehingga pada akhirnya memberi sumbangsi pada transendensi diri pembaca. Hal ini menyata dalam salah satu tulisannya (pada buku yang sama) dengan judul “Aku Dicipta Untuk Berkarya”, suatu refleksi 25 tahun pengabdian sebagai imam sekaligus sebagai motto imamatnya.  Ia menyadari bahwa ia dipanggil dan diutus untuk meneruskan cinta Tuhan atas dirinya kepada banyak orang. Karena itu lebih jauh ia merefleksikan bahwa ia tidak hanya dipanggil untuk berkarya, tetapi juga untuk mencintai. Sekurang-kurangnya inilah intisari yang menginspirasi penulis setelah membaca bukunya itu. Ada satu hal menarik yang ditangkap penulis bahwa dengan kapasitas dan kualitas pengetahuannya itu, ia tetap menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti tetapi amat tajam mengkritisi realitas.

Mengamati realitas akhir-akhir ini di NTT, motto Prof. Dr. Konrad Kebung, SVD di atas terasa begitu nge-trend baik di kalangan muda maupun tua. Ada begitu banyak kaum muda NTT yang mulai berkecimpung dalam dunia literasi khususnya sastra. Mereka berlomba-lomba menghasilkan karya sastra yang bermutu sebagai kritik terhadap kondisi sosial-politik, sosial-budaya, sosial-religius masyarakat yang membelenggu dengan maksud konstruktif. Tak pelak ada yang sudah menghasilkan buku, baik itu novel maupun kumpulan puisi. Sebut saja Pater Fredy Sebho, SVD dengan karya-karya sastranya Eleousa, Monologion, dan lain-lain. Denis Hayon dkk dengan kumpulan puisi Perhentian Pagi.  Sastrawan muda NTT Mario F. Lawi dengan buku puisinya Memoria, Ekaristi, dan karya-karya sastra lainnya. Newcomer Fince Bataona dengan novelnya Lamafa (Pos Kupang, 6 Oktober 2017). Dan begitu banyak sastrawan muda yang tulisan-tulisannya tersebar di media cetak (Flores Pos dan Pos Kupang) dan berbagai media online (Floresa.co, Floressastra) dan media internal sekolah, kampus, komunitas-komunitas sastra, Facebook, dan media-media online lainnya (Akademika, Vol. X. No. 1, Agustus-Desember 2016). Atmosfer ini mengafirmasi bahwa sastra NTT sedang menggeliat dan sekaligus mengabsahkan dirinya (manusia) sebagai homo faber (manusia pekerja) yang senantiasa memiliki dorongan untuk berkarya sebagai betuk perwujudan diri (Kebung, 2016). Trend positif ini patut diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya bagi para penyair NTT. Mereka telah berusaha membahasakan realitas secara gamblang dan dengan bahasa yang indah (misalnya dalam buku Monologion) untuk memberi kritik dan pengetahuan bagi masyarakat. Mereka merefleksikan realitas menjadi kata dan meramu kata menjadi sebuah tulisan yang memberi kesan indrawi dan pengertian yang luas (Pos Kupang, 6 Oktober 2017).    

Meskipun demikian, masalah kemanusiaan dan ketimpangan sosial di NTT yang kian pelik membangkitkan sebuah harapan baru penulis bahwa sastra mesti menjadi bidang pengabdian baru di NTT. Sastra mesti menjadi garda dalam memberi orientasi moral terhadap manusia-manusia NTT (Kompas, 12 Januari 2014). Masalah-masalah itu antara lain korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), human trafficking, HIV dan AIDS, kemiskinan, pembunuhan, perampokan, putus sekolah, seks bebas, pemerkosaan, dan lain-lain yang bisa ditemukan dalam realitas masyarakat dan juga pemberitaan-pemberitaan melalui media masa terkusus Flores Pos dan Pos Kupang. Maka, atas dasar apresiasi dan keprihatinan di atas, sudah saatnya orang NTT menjadikan sastra sebagai suatu panggilan untuk mengabdi.

Sastra: Sebuah Pengabdian

            Dalam opininya (Akademika, 2016) Inosentius Mansur mengemukakan penyair-penyair terkemuka Indonesia seperti Chairil Anwar, Amir Hamzah, W.S Rendra, dan Wiji Tukul. Ia menulis, “Mereka tak sekedar berpuisi, tetapi berpuisi tentang keprihatinan sosial. Mereka tak sebatas bersyair, tetapi bersyair tentang kepedihan dan air mata yang barangkali tidak digubris oleh siapapun. Lewat kata-kata puitik, mereka mengafirmasi diri sebagai ens sociale”. Mereka tidak hanya sekadar gemar menulis sastra, tetapi menjadikan sastra sebagai bidang pengabdian demi perjuangan mutu kemanusiaan. Mereka tidak hanya sampai pada taraf hobi, tetapi pengabdian. Justru pesan inilah yang mau disampaikan oleh Prof. Dr. Konrad Kebung, SVD dalam ulasan pembuka di atas. Panggilan untuk berkarya mesti diimbangi dengan panggilan untuk mencintai.

            Geliat sastra yang menjamur baik di media masa maupun media sosial akhir-akhir ini mesti memiliki orientasi yang jelas dan pasti dan tidak seperti ‘cendawan di musim hujan’. Ia juga mesti dilakukan secara intens, apabila orang-orang yang menaruh minat pada sastra sungguh-sungguh mengabdi pada sastra dan kemausiaan. Sering sastra hanya dijadikan kedok untuk mencari nama atau sekadar mengikuti trend tanpa suatu motivasi yang murni untuk perbaikan mutu kemanusiaan NTT. Dalam hal ini sastrawan Pramoedya Ananta Toer patut menjadi contoh. Ia berhasil menyentuh bagian sensitif kekuasaan Soeharto pada rezim orde baru kala itu dengan romannya Arok Dedes. Akibatnya ia diasingkan ke pembuangan di Pulau Baru dan karya-karyanya pun banyak yang disensor (Agustinus Fahik, Akdemika, 2016). Keberhasilan sebuah karya sastra justru apabila ia mampu menyentuh bagian paling sensitif dari realitas sosial yang sedang terjadi. Ini bukanlah suatu usaha yang mudah tetapi bila dilakukan atas dasar pengabdian hal ini mungkin. Atas dasar pengabdian, sastrawan tentu rela menerima berbagai konsekuensi atas suara kebenaran (vox) yang digaungkannya. Mengutip kata-kata Socrates: “…hai orang-orang Athena, saya tidak berjuang untuk diriku sendiri seperti yang kamu pikirkan melainkan untuk kepentingan kamu, supaya kamu tidak berdosa terhadap Allahmu dengan menghukum saya yang juga adalah pemberian Allah bagimu semua”, marilah kita generasi muda NTT bersastra demi perbaikan dan pembentukan jati diri manusia-manusia NTT yang bermartabat.

BAGIKAN