AIR MATA DI UFUK TIMUR

img

Hari ini, tanggal 25 Desember, hari Natal. Ia tak beranjak dari kubur kakaknya. Ia membisu. Matanya memerah. Dunia sekeliling terasa gelap.” Tragis! Christian kakakku, seorang pembela kemanusiaan dan penggalang persatuan umat Kristen harus mati dibunuh tanpa cerita,” kata Baptizta geram.

Christian Taylor, seorang pemuda yang dijuluki” Jembatan kecil yang rapuh bagi sesama manusia”. Pria berperawakan tinggi dan berkulit putih kecoklatan itu akrab disapa Christ oleh teman-teman seperjuangannya. Pria muda berusia 25 tahun ini mulai mengenal dan mengakrabi perjuangan kemanusiaan saat dirinya membaca sebuah buku yang berjudul: “Muder Teresa, Jalan Pelayanan”.

Suatu waktu di senja hari, awal Mei 2000, ia (Christ) mendengar berita radio tentang pembantaian besar-besaran terhadap umat Kristen di negeri Reinha Rosari (Portugal). Hatinya seakan tertusuk sembilu saat ia mendengar bahwa mereka dibunuh secara tak tak berperikemnusiaan dan mayat-mayat mereka dikuburkan secara missal dalam satu kuburan besar tak bernisan. Seminggu kemudian, ia membaca berita di Koran, terjadi perseteruan berdarah antara Israel dan Palestina. Di mana-mana terjadi pengeboman. Anak-anak yang tak tahu soal politik harus meregang nyawa. Ia merenung jauh hingga ke sudu-sudut dunia. Dalam hati ia bergumam,” Dulu aku tak tahu tentang apakah itu peperangan dan pembantaian. Waktu itu umurku 8 tahun. Yang kutahu hanyalah kebebasan untuk bermain dan tetntang kehidupan yang diwarnai oleh cinta dan damai. Namun kini, saat menginjak usia 25 tahun, aku mulai mengerti tentang semuanya itu. Telingaku peka terhadap berita-berita tentang praksis kemanusiaan… Apalah arti hidupku jika aku hanya mendengarkan namun tidak berbuat sesuatu”.

Hari itu, tanggal 03 Mei 2000. Ia tidak tahan dengan semua yang telah terjadi. Katanya pada ibu,”Sebentar lagi aku akan pergi ke negeri Palestina bersama ke-19 temanku.kami akan menjadi relawan di sana, menggalang persatuan di antara umat Kristiani yang tercecer. Kami akan kembali awal Agustus saat musim gugur di tahun 2000”. Ibu hanya diam. Tak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Mungkin ia sedang mencari-cari suatu alasan agar rela melepas kepergian anaknya. Aku yang saat itu menguping keduanya dari balik pintu kamar hanya bisa diam dan menangis.

Senja kian merangkak. Aku bersama ibu mengantarnya ke bandara. Di sana tangisan ibu meledak dahsyat. Air mata yang ia tampung sedari pagi, ia tumpahkan keluar saat burung besi berbendera UN (United Nations) yang membawa mereka lenyap dari pandangannya. Aku dan ibu saling tatap. Kosong. Kami tak percaya. Namun itulah kenyataannya. Christian, putra sulung dari pasangan Rodri Taylor (alm.) dan Chatrine, memilih jalan itu. Ibu terus menangis tak sanggup Manahan kepedihan di hatinya. Dia pun terduduk di bangku bandara seraya berdoa agar awal Agustus 2000, Christian dapat menepati janji untuk kembali kepadanya.

            Hari terus berganti. Waktu itu, pertengahan Juli 2000. Jam dinding menunjuk pukul 03.00 dini hari. Kuteringat jelas. Aku tersadar ketika Christ menelepon ibu menggunakan HP (Hand Phone) yang katanya dipinjam dari temannya untuk melepas rindu. “Chatrine…”, sapanya lembut. “Aku bahagia berada di negeri yang gersang ini. Setiap hari aku bertugas untuk merawat orang-orang Kristen yang terluka akibat perseteruan kedua nagara, Israel-Palestina, yang tak kunjung mereda. Aku emberi mereka makan dan minum walau seadanya saja. Aku memberi tanganku bagi anak-anak kecil, memberikan perlindungan dan pelukkan saat dentuman bom menggelegar. Dan aku menguburkan orang=orang Kristen yang mati ditimpa reruntuhan bangunan akibat bom. Aku bahagia berada di siniwalau setiap hari aku tak bisa tidur nyenyak di tengah keramaian bunyi mortar…”. HP dimatikannya. Ibu mendesah pelan dan tak lama kemudian desahannya berubah manjadi tangis. Kudengar jelas isak tangis ibu setelah mendengar cerita Christian dari seberang sana. Aku ingin bangun namun tak sanggup. Kuputuskan untuk melihatnya dari balik kain selimut yang berlobang. Ibu duduk di ujung tempat tidur. Sunyi. Ia gelisah. Sebaris doa terucap dari bibirnya yang bergetar,”Tuhan, jika Engkau berkenan, pertemukanlah aku dengan Christian anakku awal Agustus 2000 nanti”. Tak berapa lama kemudian ia merebahkan tubuhnya dan seketika terlelap dalam tidurnya. Mungkin ibu bermimpi sedang berjumpa dengan putra kesayangannya.

***

            Pagi itu, 30 Juli 2000. Ia menelepon ibu lagi. Katanya, “Kemarin, di seantero negeri Palestina terjadi pemberontakan berdarah oleh orang-orang yang menamakan dirinya kelompok anti Kristen. Di sana-sini bunyi senjata membahana. Penduduk Palestina yang buta soal politik harus mati sia-sia oleh tangan-tangan pemberontak yang tak mengenal cinta. Dan aku harus menerima suatu kenyataan pahit bahwa ke-15 teman relawanku mati secara mengenaskan di tanah gersang ini. Mereka ditikam oleh sekelompok orang tak dikenal yang beringas. Aku hanya mampu menangis. Namun tangisanku ini tak mampu mengubah realitas yang terjadi. Doakanlah aku agar kuat menghadapi kenyataan ini. Salam dan cium manis dariku…”, suaranya terputus. Dan itu adalah terakhir kalinya ia menelepon ibu. Ibu pun menangis, menyebut nama Christian berulang-ulang kali sambil mencengkeram HP peninggalan suaminya itu.

            Jarum jam menunjukkan pukul 07.00 WITA. Ibu memanggilku untuk sarapan bersama. Segera kuhentikan pekerjaan membelah kayu kering dan beranjak menemuinya. Secuil senyuman manis terbentuk di wajahku saat menatap makanan kesukaanku yang telah disediakan ibu di atas meja; singkong rebus disertai sambal terasi dan sepiring ikan kering. Segera saja kulahap habis makanan kesukaanku itu. Dengan ekor mata kupandangi ibu wajah ibu yang tampak lesu. “Sepertinya ada yang ibu sembunyikan dariku”, pikirku. “Ibu, ada apa denganmu?” aku bertanya mencari sebuah kepastian. Ibu hanya diam. Mulutnya masih asyik mengunyah singkong rebus. “Mungkinkah ibu belum mampu untuk menumpahkan gemericik rasa di hatinya? Atau mungkin dia tak mau aku mencampuri urusan hatinya?” aku mulai mereka-reka. Lama ibu terdiam. Dan kesunyian itu terpecah saat matanya memandangi lalat biru yang terbang berputar-putar di atas potongan ikan kering. “Hmmm…Lalat biru!”, kata ibu. Mendengar ocehan ibu aku langsung menyahut,”Ahhh…ibu. Apa hubungannya lalat biru dengan pratanda buruk?”

            Haripun berlalu. Keesokan harinya, tanggal 01 Agustus 2000. Hari yang dinanti-nantikan ibu. Waktu itu hari masih malam. Sunti sekali. Ibu membangunkanku dari tidur. “Nak, kita harus siap-siap karena hari ini Christian akan kembali”. Dalam keadaan setengah sadar segera kuusap mataku. Pagi itu, kira-kira pukul 06.00 WIT, ibu mengajakku ke bandara tempat yang menjadi saksi bisu perpisahannya dengan Christian. Di sana telah berjubel sejumlah besar orang yang sedang dalam penantian. Ibu-ibu menanti kepulangan suami mereka dan anak-anak menanti kepulangan ayah mereka dari negeri seberang.

            Mentari masih malu memancarkan sinarnya. Aku bersam ibu memilih untuk duduk di salah satu bangku bandara. “Baptizta, ibu sangat merindukan Christian”, katanya. Aku hanya diam sembari menatap mata ibu yang berkaca-kaca. Kutahu bahwa ibu sedang memendam rasa bahagia karena sebentar lagi ia akan berjumpa dengan Christian. Pagi itu sunyi merayap di bandara itu. Lama. Namun keunyian itu terpecah menjadi riuh ketika pesawat berbendera UN dengan iringan lima pesawat Hercules mendarat pasti di landasan pacu bandara itu. Kebahagiaan ibu memuncak. Namun rasa itu berubah drastis saat matanya tak menemukan wajah Christian yang dinanti. Yang tampak dari kejauhan hanyalah barisan para tentara yang kokoh berdiri di belakang pesawat yang berbendera UN. “Christian…Christian anakku…”, sahut ibu berulang-ulang kali. Sunyi makin mencekam. Dalam sekejab kesunyian pecah berganti tangisan pilu saat lima peti jenazah diturunkan dari pesawat itu. Ibu berteriak histeris dan menangis sejadi-jadinya.”Christian, inikah janjimu untuk ibu di awal Agustus 2000?” Tubuhnya lunglai lalu ibupun pingsan. Aku yang saat itu berdiri di dekatnya pun menangis. Kupangku ibu dengan hati nan pedih. Tatapan mataku menerawang jauh ke timur matahari terbit. “Kini kusadari bahwa relawan itu cuma secercah cahaya lilin yang terayun-ayun kala dihembus angin. Nyalanya kadang redup tetapi tetap memberi harapan kecil di tengah kekelaman Christian, kau lilin kecil di tengah prahara bangsa yang konon disebut Bangsa Pilihan-Nya. Kau telah membakar dirimu untuk memberi cahaya bagi mereka. Terimakasih Christian, kau telah menepati janjimu untuk pulang di awal Agustus tahun 2000 walau hanya dalam rupa raga tak bernyawa…”

*****

 

 

BAGIKAN