•  Beranda  /
  •  Public  /
  •  Fredy Sebho: Percuma Menjadi Dosen IFTK Ledalero, Kalau tidak Menulis Buku

Fredy Sebho: Percuma Menjadi Dosen IFTK Ledalero, Kalau tidak Menulis Buku

img

            Segenap anggota komunitas Wisma Arnoldus Janssen Nitapleat melakukan diskusi dan peluncuran buku Mengemas Perih Menjahit Rindu karya Fredy Sebho pada Jumat (15/03/2025). Ferdinandus Sebho atau biasa disapa Fredy Sebho adalah dosen Teologi moral di IFTK Ledalero. Bertempat di kamar makan Wisma Arnoldus, kegiatan diskusi yang dimoderasi oleh Atro Sumantro, Mahasiswa Prodi Filsafat IFTK Ledalero itu menghadirkan beragam pandangan sastra yang bermula dari cerita proses menulis kreatif penulis dan gambaran isi buku yang ditampilkan.

            “Acara kita pada malam hari dibagi dalam dua sesi. Pada bagian pertama, penulis akan menceritakan sedikit pengalamannya tentang proses menulis kreatif dalam penulisan novel. Pada bagian kedua, kita akan menyaksikan secara bersama-sama peluncuran karya sastra yang ke-10 dari Pater Fredy Sebho. Buku ini dikemas dengan diksi-diksi yang tidak hanya mengundang pembaca kepada memahami imajinasi penulis, tetapi juga menampilkan realitas-realitas hidup manusia yang kadang tidak pernah terpikirkan sebelumnya,” tandas Atro di awal diskusi.

            Sejak awal diskusi, Fredy Sebho menceritakan secara singkat alasan mengapa ia bertekun dalam dunia menulis dan sampai pada menghasilkan karya-karya sastra seperti sekarang ini. Baginya, menjadi dosen, seseorang dituntut untuk membaca, menulis dan menghasilkan tulisan.

            “Perjumpaan saya bersama Pater Hendrik Dori Wuwur sejak awal menjadi dosen di Ledalero adalah suatu pengalaman yang menantang saya. Beliau menantang saya dengan sebuah pernyataan yang menggugat hati saya. ‘Percuma menjadi dosen, kalau tidak menulis buku.’ Kata-kata beliau sungguh menantang saya, bagaimana saya menghasilkan buku yang bisa dikonsumsi oleh banyak orang. Saya berterima kasih kepada beliau yang sudah memotivasi saya, membimbing saya sehingga saya mampu menghasilkan tulisan-tulisan saya seperti sekarang ini,” cerita awal alumnus Seminari Todabelu Mataloko itu mengawali diskusi.

            Pada tahun 2016, Fredy sudah berhasil menyelesaikan buku pertamanya, Monologio, Ketika Kata Bertingkah. “Buku pertama ini diinspirasi oleh pengalaman-pengalaman dan studi saya di Pontificial Roma pada waktu itu,” cerita alumni Pontificia Lateranensis Academia Alfonsiana Roma itu singkat.

            Lebih lanjut, dalam bukunya Mengemas Perih Menjahit Rindu, Fredy menjelaskan dua hal pokok yang penting dalam penulisan karya-karya sastranya sehingga memiliki kekhasan tersendiri. Pertama, Fredy menjelaskan pentingnya kekuatan membangun imajinasi persuasif penulis terhadap isi cerita yang dibangun. Baginya, membangun imajinasi itu membutuhkan ketekunan sebagai proses yang membawa penulis jauh ke dalam teks yang hendak ia gambarkan. Ia juga menambahkan, kekuatan imajinasi itu tentunya juga ditopang oleh pengalaman-pengalaman yang telah dilalui penulis atau pun realitas dalam kehidupan yang dilihatnya secara mendalam. Kedua, diksi-diksi yang digunakan penulis lebih merujuk kepada diksi-diksi “liar” yang bisa membawa pembaca ke dalam penafsiran yang lebih terbuka dan luas. “Bagi saya, diksi-diksi liar itu adalah hasil dari pikiran-pikiran liar saya ketika sedang bergumul sendiri di kamar, tempat saya menulis karya ini. Toh, konteks pornografi yang ditafsir terletak pada otak pembaca itu sendiri,” tegas Prefek Wisma Arnoldus itu singkat.

            Dalam penutup diskusi, Pater Ve Nahak, SVD juga memberikan apresiasi penuh kepada penulis. Baginya, karya sastra yang dihasilkan oleh penulis merupakan hasil proses meditasi yang mendalam. “Buku-buku yang dihasilkan oleh Pater Fredy itu lahir dari meditasi dan disiplin akademik yang tekun dan konsisten. Sejak membaca awal hingga beberapa halaman selanjutnya, saya menemukan adanya konsistensi penulis dalam menghadirkan kata-kata kunci yang membuat pembaca sadar akan kedalaman isi dari novel itu sendiri. Hemat saya, ini adalah hasil dari proses menulis yang konsisten,” tandas Dosen Teologi IFTK Ledalero itu singkat.

            “Menulis adalah salah satu bentuk meditasi terbaik karena ketika menulis seseorang mesti bergumul serius dengan bahasa. Dalam menulis orang dituntut untuk berkonsentrasi pada saat sekarang,” jelasnya lebih lanjut.

            Ia juga menambahkan, proses peluncuran buku Mengemas Perih Menjahit Rindu itu juga mengingatkan sejarah Nitapleat sebagai tempat awal berdirinya Penerbit Ledalero oleh almarhum Tuan George Kirchberger, SVD dan Pak Josi. Ia berharap bahwa akan ada semakin banyak karya-karya yang dilahirkan dari alumni dan anak-anak Wisma Arnoldus ke depannya

 

(Sie Akademik Nitapleat)

lounching buku fredy sebo 2lounching buku fredy sebo 3

BAGIKAN