Saat menyalurkan bantuan kepada para korban erupsi gunung Lewotobi pada Kamis (7/11), beberapa anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero menyempatkan diri untuk menyapa para pengungsi. Para pengungsi itu berasal dari Desa Hokeng Jaya, Klatanlo dan Boru. Beberapa dari mereka menceritakan pengalaman saat Gunung Lewotobi meletus pada tengah malam Minggu (3/11) lalu. Mereka mengungkapkan derita dan harapan mereka usai diterjang abu, kerikil dan bebatuan dari perut Gunung Lewotobi.
Perpetua Nogo Malun (46 tahun) adalah salah satu korban dari Desa Klatanlo yang rumahnya terbakar akibat erupsi Gunung Lewotobi. “Waktu itu kami sudah mau tidur. Tiba-tiba ada ledakan besar yang disertai batu api. Lalu, batu itu pecah berbentuk serpihan-serpihan api. Saat itu, listrik padam sehingga kami tidak bisa lari kemana-mana. Saya sempat suruh yang lain untuk berlindung di bawah meja. Tapi, tiba-tiba batu api jatuh dan meledak tepat di meja itu. Dan kobaran api sudah besar di dalam rumah. Banyak batu api yang jatuh. Dan batu api juga sempat jatuh dan langsung melekat di jaket. Akhirnya saya robek paksa dan buang jaket itu karena saya tidak mau bakar diri sendiri lagi. Lalu saya injak jaket itu. Ternyata sendal juga melekat di batu itu. Akhirnya kaki saya juga melepuh. Kami mau selamatkan rumah sudah tidak bisa. Kami lari ke luar untuk selamatkan diri. Hanya ada baju di badan. Semua sudah habis terbakar. Ada juga batu api yang jatuh di atas lemari pakaian sehingga semua pakaian habis terbakar,” ungkapnya.
Mama Perpetua juga mengaku bahwa ia masih memiliki trauma dengan kejadian malam itu. Ketika mendengar bunyi-bunyian, ia merasa takut karena teringat dengan ledakan Gunung Lewotobi. Saat duduk sendiri di rumah pengungsian, ia sering menangis karena memikirkan keadaan rumahnya yang telah terbakar.
Ketua RT 01, Desa Klatanlo, Flavianus Angi Tlupun (62 tahun), mengatakan bahwa ada lima buah rumah yang terbakar di wilayahnya. Ia juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap petugas vulkanologi karena tidak memberikan informasi terkait keadaan gunung Lewotobi. “Saat erupsi pertama, selalu ada informasi. Tapi malam itu, tidak ada. Kami kecewa sekali. Mestinya mereka harus pantau terus dan selalu beri informasi kepada masyarakat,” ungkapnya.
Selain itu, Flavianus juga mengeluh tentang maraknya pencurian yang terjadi di wilayahnya saat para korban berada di tempat pengungsian. Ia mengungkapkan bahwa ada orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesusahan mereka. Banyak ternak dan barang-barang lain milik warganya yang hilang.
Apolinaris Agidius Peten Lewar (46 tahun) dari Desa Boru juga menceritakan pengalamannya saat terjadi letusan Gunung Lewotobi. “Kami tidak tidur karena hujan dan guntur. Saya bangun lihat, ternyata itu gunung. Kami satu keluarga lari semua. Istri dan anak lari ke tempat lain. Saya sampai menangis malam itu. Kami hanya lari untuk lindung diri. Pemerintah tidak bisa evakuasi karena bencana terjadi malam hari. Rumah kami sekarang sudah tidak layak lagi untuk kami huni. Sengnya rusak dan penuh dengan abu dan kerikil,” ungkapnya.
Sementara Matheus Boruk (48 tahun) mengungkapkan bahwa beberapa hari sebelum bencana terjadi, ia baru saja membeli seng sebanyak 176 lembar dengan harga 10 juta lebih untuk pengatapan rumahnya. Namun, semuanya rusak akibat erupsi.
Sementara itu, Veronika Sirila Kewuta (44 tahun) dan Anjela Parera (64 tahun) dari Desa Hokeng Jaya mengungkapkan bahwa bencana erupsi Gunung Lewotobi itu merupakan bencana paling mengerikan yang pernah dialami seumur hidup mereka. Mereka juga menambahkan bahwa bencana tersebut menimbulkan trauma tersendiri. “Seumur hidup, kami baru rasakan bencana seperti ini. Kami lari tanpa membawa apa-apa. Rumah kami rusak. Kebun kami hancur semua. Kalau kami pulang ke tempat penginapan, kami mulai sedih dan menangis lagi. Sampai sekarang, kami juga masih trauma. Kalau dengar bunyi-bunyian, kami takut sekali. Kami masih ingat bagaimana kejadian malam itu,” kata Veronika.
Perpetua Nogo Malun, Flavianus Angi Tlupun, Apolinaris Agidiua Peten Lewar, dan Matheus Boruk menyampaikan harapan yang sama. Mereka berharap pemerintah dapat memberikan perhatian atau bantuan atas kondisi rumah mereka yang telah rusak akibat erupsi gunung Lewotobi. Mereka mengaku bahwa saat ini mereka senang karena mendapat bantuan. Namun, mereka juga masih memiliki beban pikiran karena sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi.
“Mungkin orang lain masih ada rumah saat pulang nanti, sedangkan kami semuanya sudah terbakar semua. Kami berharap ada perhatian dari pemerintah. Harus ada kejelasan dari pemerintah untuk kami yang seperti ini. Jangan nanti setelah selesai, lalu diam. Kami yang seperti ini dibagaimanakan nanti. Apalagi di masa-masa sulit seperti ini. Kami harap pemerintah tetap perhatikan kami. Walaupun rumah yang sangat sederhana, yang penting itu kami bisa huni untuk sementara,” ungkap Perpetua.
Sementara itu, Veronika Sirila Kewuta dan Anjela Parera berharap pemerintah dapat memberikan bantuan untuk pendidikan dan kemandirian ekonomi. Menurut mereka, banyak sekolah dan kebun sebagai tempat masyarakat mencari nafkah yang rusak akibat erupsi. Selain itu, mereka juga mengharapkan agar pemerintah menjelaskan kepada masyarakat alasan ketiadaan informasi atau peringatan terkait erupsi Gunung Lewotobi.
Foto head: Salah satu anggota BEM IFTK Ledalero sedang mewawancarai ibu Perpetua Nogo Malun. Dok. IFTK Ledalero / Yohanes Ardyan Lamaroang.
Seksi Pemberitaan BEM IFTK Ledalero / Laurentius Florido Atu
BAGIKAN
PROGRAM STUDI SARJANA FILSAFAT PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK PROGRAM STUDI SARJ0
Penerimaan mahasiswa baru iftk ledalero tahun akademik 2024/2025 Prodi Ilmu Filsafat (S1) Prodi Pend0
Pendaftaran Online Program Studi Sarjana Filsafat, PKK, DKV, Kewirausahaan, Sistem Informasi & Magis0
© Copyright 2024 by Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - Design By Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero