Tentang IFTK Ledalero

IFTK LEDALERO DALAM LINTASAN SEJARAH

PADA MULANYA DI MATALOKO

Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero merupakan kelanjutan dan bagian integral dari Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. Sebagai lembaga pendidikan calon imam dalam Gereja Katolik, Seminari Tinggi ini adalah kelanjutan dari inisiatip yang sudah dimulai pada tanggal 2 pebruari 1926,  ketika uskup Arnoldus Vestralen SVD meresmikan berdirinya Seminari Menegah pertama di Sikka.

Menanggapi Seruan dan dorongan Paus Benediktus XV (1914-1922) untuk mendidik klerus pribumi lewat ensiklik Maximum Illud yang dikeluarkan pada tanggal 30 November 1919, pimpinan Gereja Katolik di Nusa Tenggara mendirikan Seminari Menengah pertama di Sikka pada tanggal 2 Pebruari 1926. Setelah 3 angkatan, seminari menengah ini kemudian dipindahkan ke Mataloko, wilayah Ngada, pada tahun 1929. Dari 26 murid 3 angkatan pertama ini, 18 orang ikut berpindah ke Mataloko .

Pada tahun 1932 angkatan pertama telah menyelesaikan studinya pada tingkat sekolah menengah. Diskusi tentang kelanjutnya pendidikan mereka belum final.  Dalam situasi transisi ini, 5 calon mahasiswa dari kelompok pertama diberikan kuliah Filsafat oleh P. C. Molenaar SVD pada tahun 1932. Baru setahun kemudian 7 orang  angkatan pertama calon imam SVD diterima dalam novisiat di Mataloko, menyusul 3 novis pada tahun 1934 dan 4 novis diterima pada tahun 1935.  Pada tahun 1936 angkatan pertama telah menyelesaikan studi filsafat dan mulai belajar Teologi. Angkatan kedua mulai belajar filsafat dan angkat ketiga masih menjalankan pembinaan di Novisiat (lihat info grafis).

Dari 14 calon imam SVD ini, 10 orang di antaranya adalah tamatan seminari Sikka, yakni 4 orang dari angkatan pertama dan masing-masing 3 orang dari 2 angkatan berikutnya.    Dari 10 orang kelompok pertama ini sebanyak 6 orang (60 %) ditahbiskan menjadi imam, salah satunya menjadi orang Indonesia kedua yang ditahbiskan menjadi Uskup, yakni Gabriel Manek SVD.

Pendidikan para calon SVD ini dijalankan di sebuah  gedung yang disebut Rumah Tinggi, berhadapan dengan kompleks Seminari Menengah Mataloko. Di tempat inilah seminari Tinggi untuk pendidikan imam primbumi dimulai, sementara dicarikan tempat baru yang dinilai lebih baik, sambil juga menanti isinan dari Vatikan.

Tempat baru yang disepakati adalah Ledalero, wilayah Kerajaan Sikka, sebuah bukit dengan luas sekitar 18 ha dan jaraknya sekitar 9 KM dari kota Maumere.  Pembangunan gedung-gedung sudah mulai dikerjakan pada tahun 1936. Tanggal 20 Mei 1937 isinan pendirian Seminari Tinggi diberikan oleh Vatikan. Atas dasar isinan Vatikan ini, tanggal 3 Juni pimpinan SVD di Roma menetapkan perpindahan Seminari Tinggi dari Mataloko ke Ledalero. Pada bulan Agustus tahun 1937 Seminari Tinggi secara resmi mulai di Ledalero. Pelindung Seminari Tinggi ini adalah St. Paulus, karena itu lembaga pendidikan calon imam ini disebut Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero.

DARI SEMINARI TINGGI KE IFTK

Jumlah calon bertambah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perkembangan pendidikan dan pembukaan seminari-seminari menengah yang baru seperti Seminari San Dominggi Hokeng (1950), Seminari St. Maria Imaculata Lalian (1950), Seminari Roh Kudus, Tuka, Bali (1953) dan Seminari Pius XII Kisol (1955). Tetapi tidak semua mereka menjadi imam.  Dari jumlah yang masuk pada tahun persiapan, rata-rata hanya 40 % saja yang menjadi imam.

Untuk memberikan peluang bagi para mantan calon imam ini melanjutkan sekolahnya di lembaga yang sama, sidang Panitia Seminari Regio Ende pada tanggal 15 April 1969, yang juga dihadiri oleh pemimpin umum SVD John Musinski, menetapkan agar Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero mengambil bentuk sekolah tinggi yang bisa memberikan gelar.  Lembaga ini diberi nama Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Katolik (STF/TK) Ledalero. Pada tahun yang sama isin operasional diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Pada tanggal 14 Juni 1971 Pemerintah memberikan status terdaftar untuk tingkat Sarjana Muda berdasarkan surat Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen P dan K No. 257/DPT/B/1971. Pada tahun 1976 STFTK mendapat status diakui dan pada tanggal 22 Januari 1981 status disamakan untuk tingkat sarjana muda dan terdaftar untuk tingkat sarjana lengkap. Pada tahun 1984 jenjang S1 mendapat status diakui dan nama lembaga berubah menjadi Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero. Pada tahun 1990 jenjang S1 ini mendapat status disamakan.

Program S2 baru diinisiasi pada tahun 2002 di bawah naungan Departemen Agama RI. Konsentrasi studi pada tingkat S2 ini adalah teologi kontekstual. Pada tahun 2004 jenjang S2 mendapat status Diakui  melalui SK DJ.IV/HK.00.5/96/2004.

Para pengelola sekolah ini telah berusaha untuk meningkatkan mutu dari waktu ke waktu dan hasilnya tidak terlalu jelek. Sejak diberlakukan sistem Akreditasi IFTK Ledalero selalu mendapat peringkat B.  Pada tahun 2012 dimana IFTK mendapat akreditasi B dengan score 358, kekurangan tiga nilai untuk mendapat nilai A. Penilaian terakhir dibuat pada tahun 2016.

Akreditasi Sekolah

Tahun

Penilaian

Keterangan

1998

B

 

2003

B

SK No. 19/2003 tanggal 20 Agustus 2003

2012

B

Untuk S1: SK Badan Akreditasi Nasional PT  No. 028/BAN-PT/Ak-XV/S1/X2012, tanggal 18 Oktober 2012.

Untuk S2: SK No. 005/BAN-PT/AK-x/S2/VI/2012

2016

B

SK: 0790/SK/BAN-PT/Akred/PT/VI/2016.

 

PERKEMBANGAN MAHASISWA

Pada mulanya seminari dan IFTK hanya menerima 2 kelompok mahasiswa, yakni calon imam SVD dan Keuskupan. Para calon imam keuskupan pada awalnya menetap di Ledalero, tetapi kemudian pada tahun 1955 dibangunkan hunian sendiri di sebuah tempat bernama Ritapiret, 3 KM dari Ledalero.  Sejak dibukanya STFTK, lembaga ini juga menampung kelompok  non calon imam yang merupakan mantan calon imam.

Pada tahun 1995 Carmelit mulai mengirim mahasiswanya, disusul oleh Rogationis pada tahun 2005, Vocationis pada tahun 2007, Camilian pada tahun 2010, Sticmata dan Somascan pada tahun 2012, CJD pada tahun 2014 dan Barnabit pada tahun 2015. Sejumlah biara suster mengirim juga mahasiswanya tetapi tidak secara tetap setiap tahun. Pada tahun 1985 SSpS mengirim mahasiswanya yang pertama ke lembaga ini, disusul dengan mahasiswa dari CIJ, CSV dan sejumlah biara lain. Kelompok awam yang tidak berafiliasi dengan salah satu serikat seriligius baru diterima di IFTK pada tahun 1990-an.

Dengan hadirnya pelbagai kelompok mahasiswa ini, jumlah mahasiswa terus meningkat dari waktu ke waktu.  Grafik 1 dan 2 memaparkan jumlah mahasiswa baru sebelum lembaga ini berubah menjadi sekolah tinggi yang diakui negara. Grafik 1 mengganbarkan jumlah calon yang diterima pada tahun persiapan dan perubahannya pada tahun pertama kuliah. Jumlah calon imam dari SVD dan keuskupan digabungkan. Sedangkan grafik 2 menggambarkan perkembang jumlah mahasiswa tahun pertama untuk kedua kelompok ini, yakni SVD dan Projo.

Kedua grafik ini menunjukkan bahwa total calon yang diterima pada tahun persiapan sampai dengan tahun 1968 sebanyak 531 orang, yang terdiri dari 385 orang calon SVD dan 146 calon imam keuskupan.  Dari jumlah ini, 422 orang (79.5 %) diterima sebagai mahasiswa tahun pertama, yang terdiri dari 289 orang calon imam SVD dan 133 orang calon imam keuskupan.

Grafik 3 menunjukkan perkembangan jumlah mahasiswa baru sejak IFTK dibentuk. Jumlah mahasiswa baru itu terus meningkat dari dekade ke dekade. Dalam 2 tahun pertama pada akhir tahun 1960-an jumlah mahasiswa baru yang diterima sebanyak 68 orang. Dalam dekade 1970-an jumlah mahasiswa baru yang diterima sebanyak 375 orang, rata-rata 37.5 orang per tahun.  Pada dekade 1980-an jumlah mahasiswa baru yang diterima melonjak ke 1.116 orang, rata-rata 112 per tahun.  Dalam dekade berikutnya total jumlah mahasiswa baru yang diterima meningkat menjadi 1.339 orang, rata-rata 134 orang pertahun.  Dalam dekade yang lalu, jumlah mahasiswa baru yang diterima sebanyak 1454 orang, atau rata-rata 145 orang per tahun.  Dalam 8 tahun terakhir ini total mahasiswa baru melonjak menjadi 1517 orang, atau rata-rata 190 orang per tahun. Dengan demikian, dalam 50 tahun ini mahasiswa baru yang diterima di IFTK sebanyak 5.869 orang, atau rata-rata 117 orang per tahun (lihat grafik 3).

Sampai dengan bulan Desember 2018, jumlah mahasiswa yang ada di IFTK sebanyak 1109 orang, 961 mahasiswa pada tingkat S1 dan 148 orang di S2.  Kelompok terbesar dari 961 mahasiswa S1 adalah mahasiswa calon imam keuskupan, yakni sebanyak 246 mahasiswa (25.6 %), disusul oleh SVD sebanyak  228 orang (23.7 %) dan awam sebanyak 204 orang (21.2 %).  Jumlah mahasiswa Scalabrinian, 64 orang (6.7 %) merupakan kelompok keempat terbesar, disusul oleh Carmel sebanyak 51 orang (5.3 %), Rogationis sebanyak 42 mahasiswa (4.4 %), Camilian sebanyak 35 mahasiswa (3.6 %), Somascan sebanyak 33 mahasiswa (3.4 %), Vocationis sebanyak 20 mahasiswa (2.1 %), Stigmata 16 mahasiswa (1.7 %), dan lain lain sebanyak 22 mahasiswa (2.3 %).

Kelompok calon imam keuskupan juga merupakan kelompok terbesar di tingkat S2, yakni sebanyak 44 orang (29.7 %), disusul oleh SVD sebanyak 43 mahasiswa (29.1 %), awam sebanyak 25 orang (16.9 %), Carmel 13 orang (8.8 %), Camilian sebanyak 8 orang (5.4 %), dan sisanya sebanyak 15 mahasiswa (10.1 %) berasal dari sejumlah serikat religius (Rogationis, CJD, M Ss Cc, Somascan, Vocationis, Stigmata, dan Trapist).  

Kelompok awam makin lama makin besar di lembaga pembentukan calon imam ini. Tetapi sebetulnya situasi ini disebabkan oleh bertambahnya jumlah mantan calon imam ketimbang mahasiswa yang dari awal diterima sebagai kelompok awam.  Grafik 4 memberikan perbandingan jumlah mahasiswa baru antara kelompok klerus dan awam dalam beberapa tahun terakhir ini. Jumlahnya sangat kecil, tetapi dengan berhentinya para calon imam ini dari seminari, jumlah kelompok awam pun bertambah dari waktu.

Data-data ini menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah mahasiswa di lembaga pendidikan ini sangat tergantung pada 2 hal. Pertama, jumlah seminari, baik seminari menengah maupun seminari tinggi di wilayah Nusa Tenggara.  Sampai dengan akhir tahun 1950-an, Lembaga pendidikan ini hanya bergantung dari satu seminari menengah yakni, Seminari Mataloko.  Sejak akhir tahun 1950-an sejumlah seminari menengah lain menyumbangkan tamatannya, yakni Seminari Menengah Hokeng, Lalian, Kisol, dan Tuka. Sejak pertengah tahun 1980-an dibangun sejumlah seminari menengah baru, yakni Seminari St. Rafael di Oepoi, Kupang, Seminari Sinar Buana di Weetebula, Seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo, Seminari Bunda Segala Bangsa, Maumere. Sebagian tamatan dari seminari-seminari memengah ini menjadi mahasiswa IFTK.

Di samping seminari menengah, muncul juga sejumlah seminari tinggi di sekitar kampus Ledalero. Kebanyakan seminari-seminari tinggi ini menerima anggota baru dari tamatan SMA umum. Karena itu bisa dipahami kalau ada peningkatan jumlah mahasiswa baru.

Faktor kedua adalah keengganan mantan calon imam beralih ke bidang studi lain ketika berhenti sebagai calon imam. Walaupun dari segi peluang kerja, Filsafat dan Teologi tidak memberikan peluang yang besar, tetapi para mantan calon imam ini bertekun dengan bidang studi yang sudah digeluti karena sejumlah pertimbangan lain.

Dengan konsetrasi pada pendidikan calon imam, lembaga ini tidak akan mendapat banyak mahasiswa seperti di kebanyakan sekolah tinggi lain. Jumlah mahasiswa baru yang paling tinggi sekitar 200 orang dan total mahasiswa S1 dan S2 hanya sekitar 1000 orang. Dengan jumlah seperti ini IFTK tidak bisa membiayai dirinya sendiri dan dalam jangka panjang cenderung tidak bisa dipertahankan, apa lagi kalau angka panggilan mulai menurun.

DARI FLORES UNTUK MANCA NEGARA

Sebagai lembaga pendidikan khusus untuk para calon imam dan misionaris, tamatan IFTK tidak hanya bekerja di Indonesia, tetapi di manca negara. Untuk sejumlah serikat religius pengiriman misionaris ke pelbagai belahan dunia dari serikatnya bergantung dari tamatan di Ledalero. Dari kelompok SVD, sudah ada sekitar 500 misionaris yang bekerja di luar negeri sejak awal tahun 1980-an. Boleh dikatakan bahwa IFTK merupakan sumber tenaga misionaris di pelbagai belahan dunia, IFTK menjadi sumbangan Flores untuk manca negara.

Ketika tamatan Ledalero bisa bekerja dan menjadi pemimpin di manca negara, hal ini menunjukkan bahwa mutu pendidikan di IFTK sungguh menjanjikan. Di pihak lain kenyataan ini juga menuntut agar konteks global ikut diperhitungkan dalam penyusuan rencana dan praktek pendidikan di IFTK Ledalero.